Vietnam.vn - Nền tảng quảng bá Việt Nam

Selalu suka dapur

Betapa banyak musim panas telah berlalu sejak aku meninggalkan pedesaan yang damai itu untuk berkelana, bolak-balik melewati tahun-tahun. Aku telah melewati banyak suka duka, badai... Aku telah menghabiskan sore-sore dengan membenamkan wajah di telapak tanganku yang kesepian untuk menyesap rasa asin kesunyian, merindukan sesuatu yang tak diketahui. Di tengah kekosongan dan ketidakpastian itu, mengorek-orek kenangan yang jauh... Aku terkejut mencium bau asap yang menyengat, bau abu yang terkubur di sekam padi di dapur sederhana ibuku.

Báo Quảng TrịBáo Quảng Trị20/06/2025

Selalu suka dapur

Ilustrasi: LE NGOC DUY

Mungkin, bagi mereka yang masa kecilnya erat dengan pedesaan, dapur selalu memberi kita nuansa nyaman dan damai di sore hari, ketika asap dapur memenuhi ruangan, hidangan sederhana nan sederhana dipenuhi tawa anak-anak. Dapur Ibu membangkitkan banyak kenangan damai tentang hari-hari yang takkan pernah terulang. Semangkuk nasi ketan yang harum dan sepanci ikan bakar dengan acar asin di hari yang berbadai, angin yang berhembus dari segala arah, dinginnya... Semangkuk ubi jalar masih berasap, api menjilati sekeliling panci, berkelap-kelip, membangkitkan dan menyimpan kehangatan.

Dapur ibuku sederhana, dengan jelaga menutupi pintu dan api menyala tiga kali sehari. Itulah dunia masa kecilku yang tersembunyi di sudut kecil. Sebuah tripod hitam, beberapa panci aluminium tua tergantung di sisi lemari kayu cokelat... Aku ingat betul, di sudut dapur itu ada kandang ayam. Seekor ayam sedang mengerami beberapa telur merah muda dengan tenang di bawah perutnya, menunggu hari ketika anak-anaknya akan menetas. Sebuah toples keramik berisi air, dan sebuah centong batok kelapa tertata rapi di atasnya.

Jauh di lubuk ingatan saya, dapur yang malang itu menyimpan segudang kenangan. Setiap bulan, ibu saya bersepeda ke toko bahan makanan untuk membeli beras dan makanan. Sepanjang tahun, beras dicampur dengan singkong dan ubi jalar. Sejak kecil, saya belajar memasak dan mengasuh adik-adik saya. Saat hari-hari gerimis dan berangin, untuk memasak sepanci nasi dan sepanci air, saya sampai meneteskan air mata karena asap. Sepanci nasi yang dikukus dengan ubi jalar dalam ingatan saya adalah kenangan yang menghantui. Berkali-kali api tak cukup untuk memasak nasi, saya dimarahi ibu saya...

Ada bulan-bulan tanpa nasi, anak-anakku hanya makan mi instan. Sudut dapur itu menjadi saksi bisu ketika aku menangis tersedu-sedu karena mi instannya tak kunjung matang... Adik bungsuku menangis dalam pelukanku. Ada musim-musim ketika kami harus menanam kentang dan kecambah untuk menyelamatkan yang kelaparan, ibuku dan aku memberikan nasi kami kepada kedua adikku... Sudut dapur itu juga menjadi temanku berkali-kali ketika aku tak puas dengan sesuatu. Aneh sekali! Waktu kecil dulu, dari mana semua air mataku berasal? Ketika aku merindukan ayahku, aku berdiri di sudut dapur dan menangis.

Ibu memarahi, menundukkan kepala hingga berlutut, memegang sumpit dan mengaduk-aduk bara api merah, menangis! Marah pada kedua adik laki-lakinya, ia menyendok nasi diam-diam dan menangis! Kini, ketika melewati pedesaan yang damai, melihat asap dari dapur seseorang mengepul di bawah sinar matahari sore yang mulai memudar, hatiku terasa sakit karena rindu akan dapur itu. Betapa banyak orang yang lahir, tumbuh, dan dewasa dari nampan makanan yang terbuat dari dapur yang dulunya keras dan sulit. Kini, di pedesaan, rumah-rumah beratap jerami dan dapur-dapur tua semakin sedikit. Era dapur modern mungkin juga semakin jarang dipenuhi kisah-kisah bahagia dan sedih di sekitar api unggun dengan sepanci banh tet di Malam Tahun Baru...

Dapur Ibu adalah tempat kita perlahan tumbuh dewasa. Agar semua orang tahu bahwa, dari tempat yang sederhana dan biasa, hari-hari terindah telah tiba. Kota yang ramai dan mewah hampir tak pernah membuat kita melupakan makan malam, asap biru mengepul di atap jerami dan melayang di bawah sinar matahari terbenam yang perlahan menyelimuti.

Bagaimana mungkin aku melupakan bau asap yang menyengat, karena berhari-hari kemudian bau itu masih melekat di rambut dan bajuku. Seiring berlalunya waktu, ketika rambutku berubah warna menjadi senja, dan usiaku yang bak peri kini hanya tinggal kenangan, aku berbisik bahwa itu adalah aroma nostalgia. Aroma nostalgia itu terpatri kuat di alam bawah sadarku. Di tengah segala kemewahan dan keglamoran, ada kalanya aku merasa sedih dan patah hati. Aku takut suatu hari nanti hal-hal sederhana yang familier akan mudah terlupakan.

Rumah tua itu kini hanya tinggal aku. Tungku kayunya sudah tidak ada... Adik laki-lakiku membawa bau asap yang menyengat hingga jauh. Rambutku lebih banyak helai peraknya. Ayahku juga pergi jauh. Karena merindukannya, aku tak lagi punya dapur untuk bersembunyi dan menangis. Teras belakang sudah kosong selama hampir sepuluh tahun...

Sore perlahan berlalu. Tiba-tiba, angin sepoi-sepoi meniupkan aroma damai asap dapur ke dalam hatiku, membangkitkan kenangan masa lalu yang indah. Di suatu tempat di kedalaman, ada api yang berkelap-kelip, tungku arang merah membara yang menyalakan kebahagiaan sederhana nan manis.

Thien Lam

Sumber: https://baoquangtri.vn/thuong-hoai-chai-bep-194464.htm


Komentar (0)

No data
No data

Dalam topik yang sama

Dalam kategori yang sama

Anak muda pergi ke Barat Laut untuk melihat musim padi terindah tahun ini
Di musim 'berburu' rumput alang-alang di Binh Lieu
Di tengah hutan bakau Can Gio
Nelayan Quang Ngai kantongi jutaan dong setiap hari setelah menang jackpot udang

Dari penulis yang sama

Warisan

Angka

Bisnis

Com lang Vong - rasa musim gugur di Hanoi

Peristiwa terkini

Sistem Politik

Lokal

Produk