
Jiwa laut, jiwa jaring
Sejak awal berdirinya sebagai desa nelayan kecil di kaki Gunung Son Tra, Tan Thai telah dikaitkan dengan kerajinan anyaman jaring sebagai bagian penting dari kehidupan. Untuk mengenang Bapak Huynh Van Muoi (Kelurahan Son Tra), setiap pagi, para lelaki di daerah itu berlayar dengan perahu mereka ke laut.
Di dalam rumah-rumah beratap jerami yang rendah, suara-suara memintal, mengikat simpul, dan tawa riang para ibu serta saudara perempuan bergema dengan santai, teratur, dan terus-menerus bagaikan irama laut yang abadi.
Pada masa itu, tak seorang pun menyebut menenun jaring sebagai sebuah profesi. Bagi para nelayan Desa Tan Thai, membuat alat tangkap ikan dan industri alami yang mengalir dalam darah mereka yang lahir dan besar di tepi laut adalah suatu keharusan.
Dari anak-anak hingga lansia, semua orang hafal setiap mata jaring dan simpulnya. Di tangan-tangan yang kapalan itu, tersimpan jejak-jejak bertahun-tahun mencari nafkah, musim-musim penangkapan ikan yang sibuk, dan malam-malam yang ganas ketika laut harus begadang semalaman untuk memperbaiki jaring agar bisa berlayar pagi.
Pak Muoi mengatakan bahwa jaring pada masa itu tidak sekilap senar pancing atau sehalus benang nilon seperti sekarang. Karena jaring tersebut dipintal dari rami, tanaman liar berduri tajam di batangnya, tetapi di dalamnya menghasilkan serat yang kuat dan tahan lama seperti daya tahan orang-orang di laut.
Setiap hari, penduduk di sini memetik rami, membawanya pulang, mengupasnya, merendamnya dalam air, menjemurnya, lalu menggosoknya hingga lunak. Di bawah tangan terampil para pria dan wanita desa nelayan, serat-serat rami kasar tersebut secara bertahap disatukan, dipintal menjadi benang-benang panjang berkilau, digulung menjadi gulungan-gulungan besar dan kecil untuk menenun jaring. Begitulah, "tirai rami" dan "jaring rami" lahir, menjadi nama-nama yang dikaitkan dengan masa-masa awal penangkapan ikan para nelayan.
Jaring rami terlihat sederhana, tetapi tahan lama saat memancing. Setiap mata jaringnya rata dan kokoh. Setelah setiap perjalanan memancing, orang-orang mengocok jaring dan mengeringkannya di gundukan pasir di bawah sinar matahari. Kemudian, ketika material baru muncul, jaring rami perlahan-lahan memudar menjadi masa lalu, dan tetap berada dalam ingatan para nelayan veteran,” ujar Bapak Muoi.

Foto: VAN HOANG
…berangsur-angsur memudar dalam ingatan
Setelah era jaring berduri, jaring berbahan baru perlahan muncul dalam kehidupan nelayan di Desa Tan Thai. Namun, teknik menenun jaring tidak berubah.
Setelah bertahun-tahun tinggal di desa nelayan Tan Thai, "nelayan tua" Nguyen Dang Hiep (desa Son Tra) mendemonstrasikan gerakan-gerakan menenun jaring untuk kami amati. Pak Hiep mengatakan bahwa untuk menenun jaring dengan tangan, nelayan harus tahu cara memegang "pasak" dan menggunakan "nay" (juga dikenal sebagai "cu").
Ini adalah peralatan yang sangat penting, di antaranya "pin" adalah kok kecil yang terbuat dari bambu atau kayu, diserut tipis, yang digunakan untuk mengikat benang. Dan "nay" adalah penggaris datar yang digunakan untuk mengukur ukuran mata jaring, besar atau kecil, tergantung metode penangkapan ikan.
Namun yang terpenting, penenun harus benar-benar memahami langkah-langkahnya: simpul atas, simpul bawah, memasukkan benang ke jaring, "menjepit" (mengikat) tali... Begitu saja, satu tangan memegang "peniti", satu tangan memasukkan benang ke peniti, gerakan memasukkan benang - mengencangkan - mengikat simpul... semua berlangsung sesuai ritme penenun sendiri.
"Tali pancing itu, secara kebetulan, seolah memiliki jiwa di tangan saya, bergerak cepat bak menenun setiap irama samudra. Dari gulungan tali pancing, jaring muncul tanpa saya sadari. Namun, apa pun yang saya lakukan, pekerja harus sabar, mengencangkan mata jaring, dan mengingat prinsip "di atas pelampung" - "di bawah timah" untuk menciptakan jaring yang standar dan indah," kata Pak Hiep.
Pekerja terampil membutuhkan waktu berjam-jam untuk menyelesaikan satu jaring. Oleh karena itu, jaring tenun tangan sangat berharga, mulai dari 10 juta hingga puluhan juta.
Sementara jaring pukat (digunakan untuk menangkap ikan di dekat pantai) dengan jaring yang ditenun dengan mesin, pekerja hanya memasang pelampung dan pemberat... hanya sekitar 3,5-4 juta VND/jaring. Oleh karena itu, nilai jaring buatan tangan tertinggal oleh pasar dan teknologi, dan hanya sedikit orang yang tertarik.

Menurut Bapak Hiep, dibandingkan dengan banyak daerah lain, profesi anyaman jaring di Son Tra tampaknya mulai terlupakan. Tangan-tangan yang dulunya sabar dan terampil kini hanya mengerjakan hal-hal kecil dari kerajinan yang dulunya merupakan industri, seperti membelah timah dan memasang pelampung.
Di bawah sinar matahari terbenam yang keemasan, suara ombak masih berirama, tetapi gemerisik anyaman jaring hanya bergema dalam ingatan para lansia. Sesekali, ketika seseorang memanggil untuk memperbaiki jaring, kenangan akan profesi pelaut dan tangan terampil para leluhur kita kembali muncul.
Bagi Bapak Hiep, Bapak Muoi, dan para lansia lainnya di Son Tra, setiap mata jaring, setiap simpul adalah bukti nyata ketekunan, kecerdikan, dan kecintaan lautan manusia. Namun kini, semua itu hanya ada dalam cerita dan di mata mereka yang masih mengenangnya...
Budaya akan hilang jika kita tidak tahu cara melestarikannya. Generasi muda tidak akan bisa membayangkan bagaimana nenek moyang kita menggantungkan hidup mereka pada laut. Karena itu, saya selalu bersemangat untuk menyampaikan kisah budaya laut kepada semua orang. Saya berharap kota ini segera memiliki museum budaya laut untuk melestarikan jiwa desa di tengah kota.
Tuan Huynh Van Muoi, bangsal Son Tra, kota Da Nang
Sumber: https://baodanang.vn/ve-tan-thai-nghe-chuyen-luoi-bien-3312645.html










Komentar (0)