Budaya maritim adalah jiwa pertahanan negara: Pelajaran 1 - Di atas ombak yang tak pernah tenang
Kuil Paus, juga dikenal sebagai Kuil Paus, adalah gambaran yang familiar. Di mata masyarakat pesisir, Paus bukan hanya dewa penyelamat di tengah angin kencang dan ombak, tetapi juga perwujudan kesakralan, yang melindungi setiap pelayaran.
Kerangka paus tersebut pernah memecahkan rekor sebagai yang terbesar di Vietnam - simbol spiritual suci yang dikaitkan dengan kepercayaan para nelayan di wilayah Tengah yang memuja "Tuan" - dewa penjaga laut.
Banyak kuil dibangun di tepi laut, sederhana tetapi bermakna: dari Kuil Paus di desa Thuan An (Hue), Kuil Lang Ong di desa Nam O ( Da Nang ), hingga Kuil Am Hon yang berbentuk seperti kapal di Duc Loi (Quang Ngai).
Di mana memori menjadi sakral
Setiap tahun, di awal musim semi atau pertengahan tahun, desa-desa nelayan mengadakan festival memancing, sebuah ritual rakyat unik yang berkaitan dengan pemujaan Paus. Festival ini merupakan kesempatan bagi seluruh desa untuk berkumpul, mempersembahkan kurban, melakukan pertunjukan, dan berdoa memohon laut yang tenang, musim penangkapan ikan yang melimpah, dan kepulangan yang aman.
Di Hue , festival memancing di desa Thai Duong Ha (Huong Tra) telah ditetapkan sebagai warisan takbenda nasional. Upacara ini berlangsung selama berhari-hari dengan seluruh rangkaian festival: membawa prasasti roh paus, mempersembahkan kurban, menampilkan lagu daerah, menyanyikan lagu perahu, dan mensimulasikan adegan nelayan melaut.
Ritual spiritual menghubungkan masyarakat pesisir
Lagu-lagu yang bergema di laut dan langit tampaknya menggemakan kenangan, mengingatkan generasi-generasi manusia yang jatuh ke lautan untuk melindungi laut tanah air mereka.
Di Da Nang, festival memancing di desa Nam O juga memiliki identitas lokal yang kuat, terkait dengan tradisi menangkap ikan teri dan membuat saus ikan. Orang-orang mendirikan kios, membakar dupa, dan melakukan ritual tepat di atas gundukan pasir, lalu mengorganisir nyanyian dan tarian para pemuda yang menggambarkan pekerjaan di atas perahu.
Lirik dan gerakan tersebut bukan hanya seni, tetapi juga hubungan antara masa kini dan nenek moyang kita.
Tradisi menjaga laut dilestarikan dan disebarluaskan dari generasi ke generasi.
Ruang kuil-kuil itu juga merupakan museum hidup desa nelayan. Di sana, setiap papan berpernis horizontal, setiap kalimat paralel, setiap perahu ibadah memiliki kisahnya sendiri.
Ada tempat yang mengawetkan kerangka paus yang panjangnya puluhan meter; ada tempat yang mendirikan tugu peringatan untuk para nelayan yang meninggal dalam badai atau saat memancing jauh dari pantai.
Di Quang Ngai , Kuil Am Hon di komune Duc Loi menonjol dengan arsitekturnya yang menyerupai kapal raksasa, melambangkan perjalanan laut yang berat. Di dalam kuil terdapat tempat untuk memuja mereka yang gugur di laut.
Upacara peringatan di sini tidak riuh melainkan hening, bagaikan bisikan ombak, kenangan sakral yang dilestarikan lintas generasi.
Melestarikan budaya, melestarikan kedaulatan
Warisan budaya laut tak hanya hadir dalam ritual, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari, dalam lagu pengantar tidur, lagu daerah, lagu menumbuk padi, lagu mai nhi, dan lagu ba trao. Lirik-lirik sederhana itu, yang terkristalisasi dari kerja keras, keyakinan, dan semangat laut, perlahan-lahan dihidupkan kembali dan disebarkan.
Tradisi menjaga laut dilestarikan dan disebarluaskan dari generasi ke generasi.
Di Kota Hue, proyek digitalisasi Ho Mai Nhi dan Ho Hue Tinh dilaksanakan oleh sekelompok mahasiswa dan pengrajin dari desa nelayan Phu Thuan dengan dukungan para peneliti budaya. Rekaman, video, dan narasinya diunggah ke platform daring, membantu kaum muda lebih dekat dengan warisan tersebut.
Di Da Nang (dulunya Quang Nam), klub bai choi dan hat sac bua di sekolah telah memasukkan konten tentang laut dan kepulauan, yang dikaitkan dengan peristiwa sejarah tentang Hoang Sa dan Truong Sa. Budaya tidak lagi terbatas pada kuil, tetapi telah memasuki kehidupan nyata, memasuki ruang kelas, dan menyebar di jejaring sosial.
Melestarikan kerangka bukan saja merupakan peninggalan alam yang sangat berharga, tetapi juga merupakan simbol suci, yang menunjukkan keimanan dan rasa syukur terhadap lautan, tempat bertahan hidup, tempat kedaulatan, tempat di mana budaya diwariskan dari generasi ke generasi.
Banyak orang percaya bahwa melestarikan budaya bahari juga merupakan cara untuk melestarikan laut. Karena hanya ketika para nelayan masih pergi ke kuil Ong, masih menyanyikan Ba Trao, masih menganggap laut sebagai darah dan daging, barulah laut menjadi bagian yang hidup, bukan sekadar sumber daya.
Sejak saat itu, banyak daerah mulai mengevaluasi kembali peran ruang budaya dan keagamaan, bukan sebagai peninggalan mati, melainkan sebagai entitas hidup. Pemugaran candi, pemugaran festival, pengajaran lagu daerah, menghubungkan warisan budaya dengan pendidikan sekolah atau wisata komunitas… adalah cara-cara untuk memperluas kehidupan budaya daerah pesisir.
Memandang dari laut ke tepi pantai, kita tak hanya melihat atap-atap dan pohon kelapa, tetapi juga candi-candi sederhana yang masih mengepulkan asap dupa. Diterpa angin laut, lagu-lagu rakyat pedesaan yang dijiwai cinta dan kebanggaan masih bergema.
Itulah budaya, identitas, jiwa suci pegunungan dan sungai. Dan dari nilai-nilai inilah masyarakat Wilayah Tengah, dari generasi ke generasi, telah melestarikan laut, bukan hanya dengan kapal, tetapi juga dengan hati mereka terhadap Tanah Air.
Sumber: https://baovanhoa.vn/van-hoa/bai-2-mieu-tho-va-nhung-loi-ho-noi-van-hoa-bien-neo-dau-151754.html






Komentar (0)