Diplomasi segitiga di era baru persaingan kekuatan besar
Banyak yang berpendapat bahwa pemikiran geopolitik Presiden Donald Trump masih mencerminkan pendekatan klasik: memandang hubungan internasional sebagai persaingan antarnegara adidaya, alih-alih menaruh kepercayaan pada lembaga multilateral. Dalam konteks tersebut, dorongannya untuk menormalisasi hubungan dengan Rusia, melalui pertemuan puncak di Alaska pada pertengahan Agustus 2025, dan pertemuan-pertemuan yang direncanakan di masa mendatang, dipandang sebagai upaya untuk memulihkan keseimbangan. Tujuannya adalah untuk menghindari konfrontasi dengan Moskow dan Beijing secara bersamaan, sekaligus memulihkan fleksibilitas "diplomasi segitiga" yang digagas Henry Kissinger setengah abad yang lalu.
Faktanya, saluran komunikasi antara Washington dan Moskow sedang disesuaikan ke arah yang lebih fleksibel. Kedua belah pihak telah melanjutkan sejumlah dialog tertutup mengenai keamanan strategis, pengendalian senjata, dan isu-isu regional. Meskipun belum ada terobosan signifikan, dimulainya kembali pertukaran diplomatik setelah jeda panjang menunjukkan bahwa baik AS maupun Rusia menyadari batas-batas konfrontasi langsung. Dalam konteks konflik Ukraina yang memasuki fase "jenuh", mempertahankan saluran dialog yang efektif telah menjadi persyaratan strategis, terutama ketika Presiden Trump telah menyatakan keinginannya untuk membentuk kembali kebijakan luar negeri berdasarkan "prioritas kepentingan nasional" alih-alih keterlibatan global.

Ekonomi dan teknologi menjadi fokus dalam membentuk keseimbangan baru
Namun, meskipun tren fleksibilitas telah muncul di Rusia, Tiongkok tetap menjadi tantangan utama dalam perhitungan Presiden Trump. Kebijakan tarif yang ketat dari pemerintahan Trump mencerminkan eskalasi yang jelas dalam persaingan strategis AS-Tiongkok. Washington menuduh Beijing memanipulasi perdagangan, sementara Tiongkok merespons dengan memperketat kontrol ekspor tanah jarang – sumber daya yang menyumbang 70% dari produksi global. Ini merupakan bukti tren yang semakin umum: ekonomi dan teknologi memainkan peran yang semakin penting; negara-negara menggunakan kekuatan ekonomi dan teknologi untuk menekan, mengisolasi lawan, memajukan kepentingan, dan membentuk tatanan dunia tanpa konflik militer langsung.
Tarif sebelumnya telah menyebabkan penurunan tajam dalam perdagangan bilateral, mengganggu rantai pasokan global. Namun, kedua belah pihak telah berupaya beradaptasi: Tiongkok telah memperluas pasar domestiknya, sementara AS telah mempromosikan kebijakan "reindustrialisasi" dan "reshoring". Oleh karena itu, tarif baru ini tidak hanya bertujuan untuk membendung ekonomi Tiongkok, tetapi juga melayani tujuan politik domestik Presiden Trump, karena ia ingin menunjukkan kemampuannya untuk melindungi lapangan kerja dan pekerja Amerika.
Namun, sejarah dan praktik saat ini menunjukkan bahwa penggunaan leverage ekonomi sebagai alat politik sangat berisiko. Hubungan ekonomi AS-Tiongkok telah terjalin erat: saling ketergantungan antara kedua negara lebih tinggi daripada periode konfrontasi mana pun di abad ke-20. Ketika AS menekan melalui tarif, pembatasan teknologi, atau hambatan perdagangan, Beijing juga mampu merespons dengan kebijakan "kemandirian teknologi", meningkatkan produksi domestik, dan mendiversifikasi rantai pasokan. Dan faktanya, Tiongkok saat ini sedang mempromosikan strategi "kemandirian" dalam sains dan teknologi, yang berorientasi pada produksi industri berteknologi tinggi dan mengurangi ketergantungan pada sumber daya eksternal.
Di pihak AS, kebijakan tarif yang ketat mungkin memberikan manfaat jangka pendek tetapi juga memberikan tekanan pada pasar keuangan. Indeks saham dan mata uang kripto langsung anjlok setelah pengumuman tersebut, mencerminkan sensitivitas ekonomi AS, di mana sektor keuangan menyumbang 70% PDB. Washington menghadapi pilihan yang sulit: mempertahankan posisi dolar yang kuat untuk memastikan kekuatan global, atau menerima penyesuaian untuk melakukan reindustrialisasi ekonomi.
Pertanyaannya adalah apakah Presiden Trump mengincar strategi persaingan yang komprehensif dengan Tiongkok, atau sedang mencari periode "peredaan sementara" untuk menstabilkan lingkungan luar negeri. Beberapa pakar berpendapat bahwa pendekatannya bersifat taktis, yang bertujuan untuk memberi ruang bagi AS memulihkan kapasitas produksi, merestrukturisasi pasar, dan mengonsolidasikan posisinya sebelum memasuki siklus persaingan baru.
Sementara itu, Tiongkok terus memperkuat posisinya di sektor teknologi inti dan energi baru, sementara Rusia memainkan peran "moderator" dalam segitiga strategis tersebut, menjaga hubungan dengan Beijing sekaligus membuka pintu dialog dengan Washington. Munculnya informasi mengenai KTT Rusia-AS yang akan datang dapat menjadi sinyal bahwa segitiga kekuatan tersebut sedang mencari stabilitas relatif, setidaknya dalam jangka pendek.
Sumber: https://congluan.vn/ban-co-the-gioi-va-tam-giac-chien-luoc-dang-doi-hinh-10318510.html






Komentar (0)