Siapa pun yang pernah tinggal di pedesaan atau memiliki masa kecil yang miskin pasti akan mengingat makan malam yang penuh emosi itu.
Dahulu kala, pedesaan tidak memiliki listrik, bahkan lampu minyak pun tidak dinyalakan pagi-pagi. Saat senja, ketika matahari telah terbenam dan halaman gelap, makan malam akhirnya disajikan. Hanya berupa tikar tua yang dihamparkan di tanah. Jika sebuah keluarga hanya terdiri dari dua atau tiga orang, mereka tidak akan menghamparkan tikar di tanah tetapi akan duduk di beranda di depan rumah, memanfaatkan lampu yang tergantung di balok atap, yang menerangi bagian dalam dan luar rumah.
![]() |
| Foto: Internet. |
Dahulu kala, makan malam khas di pedesaan hanya terdiri dari sepanci kentang yang dicampur dengan sayuran lain. Hidangan gurih meliputi sepiring udang goreng asin, semangkuk ikan rebus dengan kecap atau dengan buah plum liar, dan sepiring daun ubi jalar dan kangkung yang dicelupkan ke dalam pasta kepiting atau pasta kedelai fermentasi. Selama musim kerang, akan ada semangkuk sup kerang dengan tomat, atau beberapa ikan kecil yang ditangkap dan dimasak dengan buah-buahan asam seperti belimbing dan pisang raja.
Makan malam menandai berakhirnya kerja keras seharian di ladang dan lereng bukit. Makanan itu sebagian besar disiapkan oleh nenek, ibu, atau saudara perempuan yang bergegas ke dapur reyot untuk menyalakan api. Dari dapur, asap tebal berwarna abu-abu dari jerami kering mengepul, memenuhi halaman dan rumah. Banyak makanan dimasak dengan tergesa-gesa, dengan beberapa kompor menyala secara bersamaan, menciptakan awan asap yang tebal. Saya masih ingat ketika masih kecil saya biasa merangkak ke sudut dapur untuk memasak dengan jerami kering atau jarum pinus; itu bukanlah gambaran romantis dan puitis tentang perapian yang menyala. Orang yang memasak dengan jerami harus duduk di dekat kompor selama berjam-jam, terus-menerus menarik jerami menjadi bundel dan menggunakan garpu untuk mendorongnya ke dalam api. Sudut dapur yang gelap dan berasap ini selalu suram, bahkan lebih gelap setelah gelap. Cahaya tidak berasal dari lampu minyak, tetapi dari cahaya api. Karena asapnya, mata semua orang akan perih dan terbakar.
Dahulu kala, nenek, ibu, dan bibi memasak nasi dalam panci tanah liat dengan sangat hati-hati karena sedikit saja kesalahan bisa membuatnya pecah. Mereka menggunakan api sedang, dan ketika nasi hampir matang, mereka akan menggulirkannya ke sudut dapur dan meletakkannya di abu jerami untuk menyelesaikan proses memasak. Memasak sup, merebus sayuran, atau merebus ikan juga harus dilakukan dengan cepat; saat mereka mengeluarkannya, hari sudah gelap. Saat membuka tutup panci nasi, mereka harus terampil menggunakan sumpit untuk menyingkirkan abu yang menempel pada nasi agar anjing dan kucing bisa memakannya. Di banyak keluarga miskin, menantu perempuan akan makan dari mangkuknya sendiri, memberikan nasi putih dan ubi jalar lembut kepada ayah, ibu, atau kakeknya… Bahkan dalam kegelapan, makan malam selalu meriah. Sebelum makan, anak-anak akan bergiliran mengundang kakek-nenek, orang tua, dan kakak-kakak mereka. Yang lebih muda akan mengundang yang lebih tua. Makanannya sendiri tidak mewah, tetapi segala hal dari ladang, desa, dan tetangga dibicarakan dengan penuh semangat.
Dahulu kala, duduk bersama di meja makan adalah hal penting; jarang sekali ada yang makan sebelum atau sesudah yang lain. Oleh karena itu, makan malam selalu menjadi simbol reuni keluarga di rumah-rumah beratap jerami. Makan malam meringankan kesulitan dan kegembiraan hidup. Sebelumnya, ketika saya pergi ke Selatan, saya melihat banyak keluarga memberikan semangkuk nasi kepada anak-anak mereka, tanpa mempedulikan siapa yang makan lebih dulu atau terakhir. Mungkin itu karena kebiasaan dan adat istiadat. Namun, saat ini, banyak keluarga, sekeras apa pun mereka berusaha, jarang makan malam bersama. Oleh karena itu, banyak penduduk kota, setelah kembali ke kampung halaman mereka, seringkali lebih memilih untuk menggelar tikar di halaman untuk makan. Sambil memegang semangkuk nasi, memandang pohon pisang dan rumpun bambu yang bergoyang tertiup angin, di tengah asap senja yang masih tersisa, orang-orang terkadang merasakan kesedihan mengingat orang-orang terkasih yang pernah duduk di sana, kini jauh di sana.
Makan malam di halaman pedesaan kuno adalah pengalaman tak terlupakan bagi mereka yang pernah mengalaminya, dan akan selalu mereka ingat.
DUONG MY ANH
Sumber







Komentar (0)