Ajax kehilangan kejuaraan dengan cara yang tidak dapat dipercaya. |
Di dunia sepak bola, terkadang keunggulan sembilan poin hanyalah ilusi keamanan. Ajax belajar dari pengalaman pahit ini, kehilangan gelar hanya dalam lima pertandingan. Bukan karena lawannya terlalu kuat, tetapi karena klub kehilangan dirinya sendiri.
Yang satu jatuh, yang satu bangkit
Kisah ini bermula pada 30 Maret, ketika Ajax mengalahkan PSV Eindhoven 2-0 di laga tandang pada pekan ke-27, memperlebar selisih poin menjadi 9. Saat itu, para ahli buru-buru menganugerahkan trofi juara kepada tim ibu kota. Namun, itulah awal dari serangkaian peristiwa tak terlupakan bagi Ajax – dan kisah kebangkitan spektakuler bagi PSV.
Tekanan adalah senjata tak kasat mata yang dapat menjatuhkan raksasa mana pun. Wim Jonk, mantan gelandang yang bermain untuk kedua tim, menunjukkan bahwa ketika Ajax mulai kehilangan poin, mereka jatuh ke dalam "kelumpuhan psikologis". Tim tidak lagi memiliki semangat sebagai penantang gelar, melainkan keputusan-keputusan yang buruk dan kurangnya kepercayaan diri.
Sebaliknya, PSV membuktikan tekad mereka yang kuat. Tim menderita kekalahan menyakitkan 1-7 dari Arsenal di Liga Champions, tetapi mereka tahu bagaimana mengesampingkan ego dan fokus pada tujuan bersama. Enam kemenangan beruntun di babak penentuan bukan hanya bukti profesionalisme mereka, tetapi juga tolok ukur semangat juang mereka.
![]() |
PSV mengalahkan Ajax untuk memenangkan gelar liga Belanda 2024/25. |
Jika kita harus memilih momen penentu musim ini, mungkin itu adalah menit ke-90+9 pertandingan PSV melawan Feyenoord. Tertinggal 0-2 di babak pertama, PSV menyamakan kedudukan 2-2 dan kemudian mencetak gol penentu di menit ke-90+9 melalui mantan pemain Ajax, Noa Lang. Momen itu tak hanya memberi PSV harapan, tetapi juga menciptakan kejutan psikologis bagi Ajax.
Ironisnya, Ajax juga punya menit 90+9 mereka sendiri - tetapi itu adalah menit ke-99 yang sial ketika mereka ditahan imbang oleh Groningen (yang bermain dengan 10 pemain). Momen naas ini tidak hanya membuat Ajax kehilangan 2 poin berharga tetapi juga menghancurkan semangat seluruh tim.
Pelajaran Taktis: Ini Bukan Sekadar Masalah Personel
Kesalahan terbesar Ajax, menurut Jonk, adalah taktik "bertahan untuk mengamankan hasil". Alih-alih terus menekan dan menekan lawan, Ajax justru mundur dan bertahan – sesuatu yang sangat bertolak belakang dengan DNA tim yang dikenal dengan gaya menyerang yang indah dan proaktif.
Di sisi lain, PSV menunjukkan keragaman pendekatan. Mereka tahu kapan harus menyerang dengan gigih, kapan harus menunggu peluang dengan sabar. Fleksibilitas inilah yang membantu mereka mengatasi tantangan terberat dalam perjalanan menuju takhta.
Namun, ada titik terang bagi Ajax musim ini. Perkembangan talenta-talenta muda seperti Jorrel Hato, Kenneth Taylor, Brian Brobbey, dan Youri Baas sangat luar biasa. Kehadiran Jordan Henderson, dengan pengalaman dan karakternya sebagai juara Eropa, telah membawa stabilitas yang sangat dibutuhkan di ruang ganti.
![]() |
Ajax kolaps karena mereka kehilangan diri mereka sendiri. |
Musim Eredivisie 2024/25 adalah bukti nyata pepatah "tidak ada yang mustahil" dalam sepak bola. Dari posisi superior dengan selisih yang lebar, Ajax membiarkan PSV menyentuh takhta berkat kerja keras mereka yang gigih dan kemampuan luar biasa mereka dalam mengatasi kesulitan.
Selisih sembilan poin tampaknya telah usai, tetapi momen-momen menentukan itulah yang mengubah segalanya. Ini adalah pengingat yang tajam bagi tim mana pun yang memimpikan gelar juara: Jangan pernah berpuas diri, jangan pernah lengah sedetik pun. Karena sepak bola, pada akhirnya, tetaplah pertarungan semangat, keberanian, dan momen-momen penentu. Ajax kehilangan jati dirinya, dan PSV menemukan kekuatan batin untuk mengukir sejarah.
Sumber: https://znews.vn/cu-say-chan-the-ky-cua-ajax-post1554197.html
Komentar (0)