Konfederasi Sepak Bola Brasil (CBF) secara resmi mengumumkan apa yang diketahui semua orang tetapi tidak seorang pun berani mengatakannya dengan lantang - "Carletto" akan menyerahkan kursi panas di Bernabeu untuk menjadi orang yang berani mempertaruhkan reputasinya dengan menyelamatkan tim yang memenangkan Piala Dunia 5 kali tetapi sekarang dalam krisis.
Alasan Ancelotti
Sejujurnya, ini bukan waktu yang tepat untuk meninggalkan Real Madrid. Ancelotti menjalani musim yang buruk - tersingkir dari Liga Champions oleh Arsenal, menyaksikan Barcelona tertinggal dalam perebutan gelar La Liga, dan yang paling menyakitkan, kalah di final Copa del Rey.
Pemain Italia itu pergi dengan nilai pasarnya yang berada di titik terendah dalam beberapa tahun. Apakah ini ulah seorang ahli taktik atau hanya orang tua yang tak lagi berani menghadapi badai yang akan datang?
Sementara itu, Brasil sedang mencari penyelamat. Tim kuning-hijau – yang dulunya simbol kecemerlangan dan efisiensi sepak bola – kini tampak seperti hantu, berkelana tanpa tujuan di turnamen-turnamen besar. Ironisnya, tim yang pernah mendefinisikan ulang sepak bola dunia dengan "jogo bonito"-nya kini harus memanggil seorang pria Italia berusia 65 tahun, yang dikenal karena filosofi taktisnya yang aman dan pragmatis.
Bagi Ancelotti, ia menghadapi kenyataan pahit di Real Madrid: tiga gelar Liga Champions dan dua gelar La Liga tidak lagi cukup. Meskipun memiliki rekor yang hanya bisa diimpikan oleh sebagian besar pelatih, mantan kapten AC Milan ini tetap tak lepas dari bayang-bayang kegagalan.
Real Madrid bukanlah tempat bagi mereka yang lemah atau mereka yang lelah menghadapi tekanan. Dan mungkin itulah mengapa Ancelotti memilih Brasil – tim yang bersedia menerima kekalahan asalkan mereka gagal dengan indah.
Ancelotti akan meninggalkan Real Madrid setelah musim 2024/25 berakhir. |
Apa kutukan kehebatan? Kutukan itu adalah tidak pernah dibiarkan berhenti menang. Ancelotti telah menjadi korban dari kesuksesannya sendiri. Pria yang pernah dijuluki "Raja Liga Champions" kini dipandang sebagai manajer yang tidak lagi cocok untuk klub-klub elite Eropa. Ironisnya, kegagalan di musim pertamanya telah menghapus semua kenangan akan kemenangan-kemenangan sebelumnya.
Real Madrid tak pernah meratapi kepergian mereka. Mereka menggantikan dan melanjutkan. Xabi Alonso, mantan playmaker "Los Blancos", sedang dipersiapkan untuk menggantikan Ancelotti. Ini bukan sekadar penunjukan, melainkan kepulangan. Alonso bukan hanya legenda Real Madrid, tetapi juga perwujudan filosofi sepak bola yang selalu dianut klub – cerdas, terkendali, dan tegas.
Namun, apakah Alonso siap menghadapi tekanan luar biasa di Bernabéu? Memimpin tim muda dan energik seperti Leverkusen adalah satu hal, tetapi mengendalikan tim yang dipenuhi ego besar seperti Real Madrid adalah hal yang berbeda.
Di Real Madrid, kekalahan bukanlah pilihan, dan bahkan hasil imbang pun dianggap bencana. Di sinilah, bahkan pelatih terhebat pun terkadang menangis di ruang ganti setelah pertandingan.
Bagi Ancelotti, Brasil adalah ujian terberat. Pelatih asal Italia ini, yang telah memenangkan setiap gelar klub, kini akan mencoba peruntungannya di sepak bola internasional – bidang yang belum pernah ia sentuh. Ini bukan sekadar tantangan taktis, melainkan tantangan budaya.
Mampukah Ancelotti – yang seringkali lebih suka berbicara dengan gestur halus dan keheningan yang bermakna – mengatasi kendala bahasa untuk menyampaikan filosofi sepak bolanya kepada tim yang terkenal akan kebebasan dan spontanitasnya? Namun, mungkin inilah yang dibutuhkan Brasil – seorang pelatih yang tahu cara mengelola bintang tanpa perlu berdebat, seseorang yang cukup percaya diri untuk memberikan kebebasan kepada pemain berbakat seperti Neymar, Vinicius, dan Rodrygo untuk berekspresi sambil tetap mempertahankan struktur taktis. Ancelotti bukanlah seorang revolusioner, ia adalah seorang manajer ulung – seseorang yang tahu cara memaksimalkan potensi para pemainnya tanpa memaksakan sistem yang kaku.
Apakah pengorbanan ini sepadan?
Ancelotti mempertaruhkan warisannya pada Brasil. Jika berhasil, ia akan tercatat dalam sejarah sebagai orang yang membangkitkan raksasa yang sedang tidur.
Jika gagal, mantan pelatih AC Milan itu bisa menjadi catatan kaki dalam sejarah sepak bola Brasil – sebuah eksperimen yang gagal dan mudah dilupakan. Namun, mungkin itulah yang Ancelotti pilih untuk tinggalkan: kesempatan untuk membuktikan bahwa ia bukan sekadar produk sistem Real Madrid, melainkan seorang pelatih yang bisa sukses di mana pun, dengan tim mana pun.
Tujuan baru Ancelotti adalah tim Brasil. |
Bagi Real Madrid, kepergian Ancelotti bisa menjadi berkah tersembunyi. Klub membutuhkan angin segar, visi baru untuk membangun kembali tim setelah musim yang mengecewakan. Xabi Alonso, dengan perpaduan sempurna antara warisan Madrid dan filosofi modern, bisa menjadi sosok yang akan membawa "Los Blancos" kembali ke puncak Eropa.
Perjalanan Ancelotti dari Madrid ke Brasil bukanlah perpisahan, melainkan babak baru dalam kisah salah satu pelatih terhebat sepanjang masa. Pria yang menaklukkan Eropa dengan senyum misterius dan alis yang ekspresif kini akan menjajal Amerika Selatan – benua di mana sepak bola bukan sekadar olahraga , melainkan agama.
Sementara itu, Real Madrid terus melakukan yang terbaik: beradaptasi, berevolusi, dan menaklukkan. Dalam diri Xabi Alonso, tim ini memiliki lebih dari sekadar pelatih baru; mereka memiliki seorang ikon, seseorang yang memahami DNA klub dan siap melanjutkan kisah legendaris mereka.
Satu babak berakhir, babak lain dimulai. Namun dalam sepak bola, tak ada yang abadi – cinta, kesetiaan, apalagi janji. Pada akhirnya, satu-satunya yang tersisa adalah warisan. Dan baik Ancelotti maupun Real Madrid mempertaruhkan warisan mereka pada keputusan-keputusan berani ini.
Sumber: https://znews.vn/cuoc-danh-doi-tao-bao-cua-ancelotti-post1552983.html
Komentar (0)