
Bintang-bintang naturalisasi Indonesia kesulitan mengamankan masa depan mereka - Foto: REUTERS
Mengapa suporter Indonesia tidak masuk akal?
"Mencekik, tak bernyawa" begitulah pelatih Kluivert menggambarkan situasi di ruang ganti timnas Indonesia setelah kekalahan dari Irak. Sang ahli strategi asal Belanda mungkin hanya ingin berbicara tentang kekecewaan, tetapi media dan penggemar menganggapnya lebih dari itu.
Surat kabar Bola mengangkat isu masa depan pelatih Kluivert, dan mantan pemain Belanda itu menegaskan bahwa dia "tidak tahu".
Itu bisa menjadi wawancara terakhir pelatih Kluivert, karena penggemar Indonesia mengungkapkan kemarahannya terhadap ahli strategi Belanda itu.
Di media sosial, tagar seperti "KluivertOut", atau bahkan "ErikOut" (ketua Erick Thohir) sering muncul. Dan di stadion, penonton meneriakkan nama Tuan Shin Tae Yong untuk menuntut pemecatan Kluivert.
Penggemar sepak bola terkadang bersikap tidak masuk akal, dan kasus ini pun tak terkecuali. Pelatih Kluivert menorehkan prestasi tersendiri saat memimpin tim Indonesia melewati babak kualifikasi ketiga, dan justru terjebak dalam situasi sulit di babak kualifikasi keempat.

Pelatih Kluivert (kanan) dan Presiden Thohir - Foto: Bola.com
Pada tahap ini, Indonesia harus memainkan kedua pertandingan di lapangan Arab Saudi, menjadi tim yang paling dirugikan dalam hal lokasi (dibandingkan dengan Irak - sebuah negara juga di Timur Tengah).
Mereka juga menghadapi kerugian terbesar dalam hal jadwal pertandingan, kemampuan beradaptasi, dan kebugaran pemain... Dan terakhir, Indonesia secara umum masih lebih lemah dibandingkan Arab Saudi dan Irak.
Dua kekalahan tipis melawan Arab Saudi dan Irak memang bukan hasil yang terlalu buruk. Namun, suporter Indonesia tidak bersimpati, karena janji yang sudah ada sekitar satu setengah tahun lalu, ketika Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) menerapkan kebijakan naturalisasi besar-besaran.
Zainudin Amali, Wakil Presiden PSSI saat itu, harus menjelaskan dirinya sendiri di tengah kemarahan para penggemar. Mayoritas masyarakat Indonesia masih tidak senang dengan naturalisasi besar-besaran pemain PSSI, yang hampir tidak menyisakan tempat bagi pemain lokal di tim nasional.
"Kami hanya menaturalisasi untuk tujuan jangka pendek. Masa depan sepak bola Indonesia masih bergantung pada pembinaan pemain muda, dan semoga kami tidak perlu lagi menaturalisasi," kata Bapak Amali.
Tujuan jangka pendek yang disebutkan PSSI tentu saja adalah tiket ke Piala Dunia. Indonesia telah melakukan segalanya untuk tujuan ini, dan kemudian gagal. Jadi, absurditas para penggemar masih dalam kerangka yang "bisa dimengerti".
Tidak ada masa depan bagi bintang-bintang yang dinaturalisasi
Ada dua sisi dari setiap koin, dan kebijakan naturalisasi massal jelas memiliki banyak masalah bagi tim Indonesia, selain efek kesuksesan sementara.
Pertama, kekompakan. Setelah kekalahan dari Arab Saudi, pelatih Kluivert terpaksa mencoret "pemain favoritnya", Mark Klok, dari skuad resmi.
Gelandang berusia 32 tahun itu sebelumnya dianggap sebagai salah satu alasan pemecatan pelatih Shin Tae Yong. Dalam sebuah wawancara di bulan September, Klok tak ragu menyebut Shin sebagai "diktator".

Pemain Indonesia Sulit Jaga Stabilitas di Ruang Ganti - Foto: PA
Karena konflik dengan beberapa bintang Belanda seperti Klok, pelatih Shin terpaksa hengkang. Dan kini, ketika Indonesia gagal, para penggemar tak bisa berhenti mengenang para pemain yang menyebabkan masalah internal seperti Klok.
Warna bendera, hubungan tim dari pusat pelatihan dan klub adalah faktor-faktor yang mengikat para bintang. Namun di Indonesia saat ini, sulit untuk membicarakan faktor-faktor tersebut.
17 dari 23 pemain mereka saat ini (bisa lebih dari 20 jika mereka semua ada di sana) dinaturalisasi, dan tidak ada satu pun dari mereka yang menjadi rekan setim di klub-klub Eropa.
Tak hanya itu, tim Indonesia saat ini juga memiliki perbedaan level yang jelas. Audero, Diks, Idzes, dan Verdonk telah mencapai level dunia , bermain untuk klub-klub ternama di liga-liga top Eropa.
Namun, sebagian besar pemain lainnya hanya bermain di divisi utama Eropa, atau bahkan kembali ke Indonesia. Musim panas lalu, sejumlah pemain naturalisasi seperti Jordi Amat dan Thom Haye terpaksa pergi ke Indonesia untuk bermain sepak bola karena mereka menganggur di Eropa.

Banyak bintang Indonesia seperti Idzes (kiri) yang levelnya terlalu tinggi dibanding rekan satu timnya di timnas - Foto: GS
Tidak selevel, dan mungkin bahkan tidak sejalur. Akan tiba saatnya mengenakan seragam timnas Indonesia akan menjadi beban bagi bintang-bintang seperti Diks atau Idzes.
Setiap tahun, mereka harus berkumpul untuk tim nasional 4-5 kali, sebagian besar selama musim, dengan jarak perjalanan pulang pergi hingga 30.000 km.
Bahkan para superstar Amerika Selatan pun kesulitan menjalani perjalanan seperti itu. Hampir setiap kali mereka bergabung dengan tim nasional, mereka harus melewatkan pertandingan, dan terkadang cedera.
Terlalu banyak masalah tersembunyi yang bisa memecah belah bintang-bintang naturalisasi Indonesia saat ini. Dulu, yang menyatukan mereka adalah tiket Piala Dunia, tetapi kini tujuan itu telah sirna.
"Kluivert Keluar", bahkan "Erik Keluar", slogan-slogan keras suporter Indonesia bisa membuat hati orang-orang dingin. Dan jangan heran jika dalam setahun, skuad Eropa ini akan tercerai-berai.
Source: https://tuoitre.vn/dan-sao-nhap-tich-indonesia-tan-dan-xe-nghe-20251012175205425.htm
Komentar (0)