Orang-orang duduk dan berdiri terkagum-kagum sementara hujan terus mengguyur. Setelah semalaman yang panjang, hujan telah membasahi seluruh jalan dan ladang. Air merayap masuk ke halaman, perlahan-lahan merambah, merendam segalanya dan membasahi semua barang. Jalan-jalan ditutup, pasar ditutup sementara, dan sekolah-sekolah sepi.
![]() |
| Menjemur buku dan dokumen basah di Sekolah Menengah Le Van Tam, kelurahan Phu Mo setelah badai No. 13. Foto: Ho Nhu |
Aku bagaikan burung kecil, melamun di sore yang hujan, hati yang berat memikirkan banyak hal, kakiku ingin menari, tapi kemudian terpaksa duduk berlutut menyaksikan hujan turun. Para siswa di masa banjir itu sungguh menyedihkan! Rindu akan sekolah, tempat guru dan teman-teman selalu hadir. Aku rindu jam-jam belajar yang menyenangkan bersama teman-teman tersayang; dan pengingat dari guru-guru setiap kali aku berbuat salah. Aku rindu kejahilan teman-temanku, halaman sekolah yang cerah, dan suasana istirahat yang ramai dan ceria.
Hujan telah reda, tetapi banjir masih ada, air masih belum menunjukkan tanda-tanda surut. Selama banjir, para siswa masih membaca buku di rumah, dan sesekali menelepon teman-teman yang jauh. Selama masa "isolasi" ini, kami menyadari betapa berharganya setiap hari di sekolah, bertemu guru dan teman-teman.
Hujan pun perlahan reda, dan banjir pun surut. Para siswa kembali ke sekolah dengan gembira. Namun, kegembiraan itu bercampur dengan sedikit kesedihan ketika mereka melihat beberapa siswa tidak masuk kelas, ketika mereka mendengar kabar kerabat mereka baru saja tersapu banjir, ketika mereka melihat keluarga mereka masih berjuang dan tidak bisa kembali ke sekolah.
Hari-hari pertama kembali ke sekolah, pemandangan kehancuran yang terpampang di depan mata semua orang membuat semua orang merasa sedih. Ruang kelas masih berbau lumpur, dinding-dindingnya basah oleh noda air banjir, lantainya masih licin. Meja dan kursi-kursi berlumpur, melengkung dan terdistorsi. Buku-buku pelajaran dan buku latihan teronggok di podium yang lembap, halaman-halamannya kusut, kata-katanya tercoreng...
Guru dan siswa membersihkan bersama. Tangan-tangan siswa yang masih awam memegang sapu dan ember berisi air untuk membantu guru membersihkan setiap sudut kelas. Semua orang berlumuran lumpur, tetapi tetap berusaha sebaik mungkin untuk bekerja.
Lambat laun, hari demi hari, sekolah kembali bersih dan rapi. Tawa para siswa kembali menggema di halaman sekolah. Kesulitan-kesulitan itu bagaikan pelajaran tentang solidaritas, tentang kasih sayang antara guru dan murid, tentang persahabatan, hal-hal yang tak terkikis oleh apa pun.
Setelah banjir, para siswa menjadi lebih dewasa. Kami belajar menghargai setiap hari di mana kami bisa duduk di kelas, memegang buku yang kering, dan mendengarkan suara guru. Kami memahami bahwa kehidupan siswa bukan hanya tentang buku dan pelajaran, tetapi juga tentang kenangan yang tak terlupakan, termasuk kenangan sedih musim banjir itu.
Kami sangat yakin bahwa setelah hujan, langit akan cerah, banjir akan surut, dan kami para pelajar akan terus menapaki jalan mencari ilmu. Lebih kuat dan lebih dewasa.
Sumber: https://baodaklak.vn/xa-hoi/202511/hoc-tro-ngay-lu-8332a17/







Komentar (0)