
Selamat tinggal Leicester, tempat di mana keajaiban abadi ditulis
Mei lalu, ketika peluit akhir pertandingan final Liga Premier musim 2024/25 berbunyi, seluruh Stadion King Power berdiri dan memberikan standing ovation kepada Jamie Vardy. Ini bukan sekadar ucapan selamat tinggal kepada sang striker, melainkan penghormatan kepada ikon Leicester yang masih hidup.
Selama 13 tahun di Foxes, Vardy meninggalkan warisan yang tak tertandingi: lebih dari 200 gol dalam 500 penampilan, menjadikannya pencetak gol terbanyak sepanjang masa klub di Liga Primer. Pencapaian terbesarnya, tentu saja, adalah musim 2015/16 yang ajaib, tahun di mana Leicester, di bawah kepemimpinan Claudio Ranieri, mengejutkan dunia dengan menjuarai Liga Primer.
Vardy adalah jantung dan jiwa tim. 24 golnya tak hanya menghasilkan poin penting, tetapi juga menginspirasi rekan satu tim dan penggemarnya bahwa keajaiban memang terjadi. Seorang striker yang bermain sepak bola semi-profesional dan bekerja sebagai buruh pabrik, melejit menjadi juara Inggris - kisahnya telah menjadi legenda.
"Leicester telah menjadi keluarga saya, seluruh hidup saya, selama lebih dari satu dekade. Tapi saya tahu saya masih punya cukup energi untuk melanjutkan perjalanan berikutnya," ungkap Vardy sambil berlinang air mata di hari perpisahannya.
Dan perjalanan baru itu, secara mengejutkan, dimulai di Italia.


Cremonese - tempat Vardy membuktikan 'usia hanyalah angka'
Pada awal September, Jamie Vardy resmi menandatangani kontrak gratis dengan Cremonese, seorang pemain muda Serie A. Pilihan ini mengejutkan banyak orang: mengapa seorang pemain yang baru berusia 38 tahun, yang baru saja mengakhiri karier gemilang di Inggris, memutuskan untuk bergabung dengan salah satu lingkungan sepak bola paling keras di Eropa?
Jawabannya terletak pada karakter Vardy: ia tidak mudah menyerah, ia tidak mau mengambil jalan pintas. Ia datang ke Italia untuk menantang dirinya sendiri, untuk terus berjuang, dan untuk membuktikan bahwa ia masih berharga di lapangan.
Ketika ditanya apakah motivasinya dan motivasi para veteran lainnya seperti Kevin De Bruyne dan Luka Modric, yang juga memilih Serie A musim panas ini, masih cukup kuat, Vardy menjawab dengan tegas:
"Mungkin kau salah satu orang yang meragukanku. Dan kaulah yang ingin kubuktikan bahwa aku masih berharga. Usia hanyalah angka. Selama kakiku masih kuat, jiwaku masih segar, aku akan terus berkontribusi."

Musim lalu, Vardy masih mencetak 10 gol untuk Leicester, termasuk 9 di Liga Premier, yang dengan jelas membuktikan bahwa ia masih mempertahankan naluri pembunuhnya.
Di Cremonese, ia bergabung dengan tim yang baru saja kembali ke Serie A setelah bertahun-tahun absen, dengan tujuan yang jelas untuk tetap berada di divisi teratas. Namun di babak pertama, Cremonese menciptakan kejutan besar dengan mengalahkan AC Milan 2-1, lalu melanjutkan dengan mengalahkan Sassuolo 3-2.
Suasana optimisme menyelimuti Cremona, dan kedatangan Vardy hanya menambah keyakinan itu.
"Sama seperti ketika saya di Leicester, tugas nomor satu adalah bertahan di liga. Tidak perlu bermimpi terlalu jauh, fokus saja pada setiap pertandingan, berikan yang terbaik, dan hasilnya akan datang," tegas Vardy.
Selain aspek profesional, Vardy juga menghadapi tantangan besar: bahasa dan budaya. Ia sudah mulai belajar bahasa Italia, tetapi dengan humornya yang biasa, Vardy berkata: "Tidak apa-apa, sepak bola punya bahasanya sendiri - bola."
Sambutan dari penggemar Cremonese sungguh di luar dugaan, media Italia bahkan membandingkan debut Vardy dengan kedatangan Cristiano Ronaldo ke Juventus, suatu peristiwa yang menunjukkan daya tarik mantan penyerang Leicester tersebut tidak berkurang.
Jamie Vardy lebih dari sekadar penyerang terkenal. Ia adalah simbol tekad yang luar biasa, dari seorang pemain sepak bola semi-profesional hingga bintang Liga Primer, dan kini menjadi "pejuang abadi" yang masih haus akan tantangan. Di Italia, belum diketahui bagaimana perjalanannya akan berakhir. Namun saat ini, di usia 38 tahun, fakta bahwa Vardy masih di lapangan, berjuang dengan semangat membara, sudah cukup untuk menjadikannya inspirasi, tidak hanya bagi para pesepak bola, tetapi juga bagi siapa pun yang percaya bahwa usia bukanlah batas.

Prediksi Leicester City vs Liverpool, 20 April 2020 pukul 22.30: Puncak dan jurang

Prediksi Leicester City vs Newcastle, 02:00 8 April: The Foxes Runtuh

Prediksi Man City vs Leicester, 01:45 3 April: Tidak ada kejutan

MU menang 3-0, melewati periode sublimasi sementara Ruben Amorim

Prediksi Leicester City vs MU, 02:00 17 Maret: Melanjutkan Keseruan
Sumber: https://tienphong.vn/jamie-vardy-khi-tuoi-tac-chi-la-con-so-va-hanh-trinh-moi-tren-dat-italy-post1777525.tpo






Komentar (0)