1. Pada masa-masa ketika wilayah Dataran Tinggi Tengah dilanda banjir, berbagai foto yang tersebar di media sosial membungkam jutaan rakyat Vietnam. Di bawah atap-atap yang terendam air, di bawah kerlap-kerlip lampu senter tim penyelamat yang bekerja sepanjang malam, di bawah truk-truk yang mengangkut bantuan tanpa memandang jarak... satu hal yang paling jelas terlihat: semangat solidaritas dengan sesama warga tak pernah goyah. Di masa-masa sulit, rakyat Vietnam bersatu dan saling membantu, seperti naluri yang telah ada sejak dahulu kala: selama ada manusia, di situ ada harta benda.
Kreator konten Le Phong menceritakan hari-hari ketika ia kehilangan kontak dengan kampung halamannya, Dong Hoa, Phu Yen . Perasaan melihat layar hitam "tidak dapat terhubung" membuat hatinya hancur. Di pedesaan, neneknya yang berusia 91 tahun dengan tenang mempersiapkan diri seolah-olah ia memiliki pengalaman seumur hidup dalam menghadapi air: tangga yang diikatkan ke langit-langit, kantong busa untuk mengapung, batang pisang yang dipotong terlebih dahulu untuk dijadikan pelampung. Lalu, ketika ombak berhenti, listrik padam, yang tersisa hanyalah suara air yang menghantam dinding seng. Namun dalam kegelapan itu, lampu penyelamat bersinar di sepanjang setiap atap. Tentara, polisi, dan milisi mengarungi arus deras untuk membawa orang-orang keluar dari kedalaman.
Di lingkungan itu, setiap rumah yang tidak terendam banjir langsung berubah menjadi "dapur umum". Ada yang memasak ikan, ada yang menyiapkan nasi hangat, ada yang membawa kotak-kotak makanan dan berlarian ke rumah-rumah yang terisolasi. Hujan mengguyur wajah mereka, air setinggi lutut, tetapi tak seorang pun melambat, hanya takut orang-orang akan kelaparan dan ingin makan lagi. Dan saat itu, kami mengerti bahwa: meskipun sinyal terputus, orang-orang Vietnam tetap saling menghubungi dengan kasih sayang, sesuatu yang tak pernah terputus.
Di grup "Dan Phu Yen" (lama), unggahan Ibu My Tien menyentuh hati banyak orang. Setiap ucapan terima kasih, setiap baris permintaan maaf yang tulus kepada para donatur yang menempuh ribuan kilometer menuju zona banjir, para pengemudi truk yang begadang semalaman, para paman dan bibi yang diam-diam membungkus banh chung, merebus telur, menyimpan setiap kilogram beras, sebotol air untuk dikirimkan kepada masyarakat... adalah bukti paling jelas dari semangat "daun utuh menutupi daun yang terkoyak".
Ia berkata: di beberapa tempat, saat memberi hadiah, terjadi saling dorong dan desak, dan orang-orang saling berdesakan karena takut "tidak punya apa-apa lagi". Namun, alih-alih menyalahkan, ia menundukkan kepala dan meminta maaf atas nama orang-orang: "Hidup memang begitu, setiap orang punya kepribadiannya sendiri." Saat itu, cinta sungguh cukup besar, cukup toleran untuk memahami bahwa di tengah derasnya air, semua orang hanya ingin menyimpan sedikit harapan untuk keluarga mereka.
Dan ia terharu ketika adiknya, meskipun rumahnya tidak kebanjiran, tetap membagikan hadiah yang diterimanya. Hadiah kecil namun penuh cinta. Sambil memandangi sekantong beras, bungkus mi, dan minuman, ia menulis: "Saya terharu, saya menghargai kasih sayang yang saling diberikan." Karena setiap hadiah bukan sekadar makanan, melainkan kasih sayang yang dikirimkan oleh orang-orang.
Itulah makna kompatriotisme: memberi bukan karena ingin dikenang, menerima bukan karena mengharap imbalan, melainkan karena kita orang Vietnam, yang sama asal usulnya.
2. Di akun pribadinya "Huy Nguyen" (pakar cuaca Nguyen Ngoc Huy), ia disebut oleh komunitas sebagai "orang yang mengejar badai dan banjir", dan masih rutin mengunggah peringatan pukul 1-2 dini hari. Selama 33 hari mengikuti ketinggian air, mengikuti setiap perubahan ketinggian banjir di Hue, Quang Nam (Da Nang), Binh Dinh (Gia Lai) - Phu Yen... ia hampir tidak tidur. Bukan karena ada yang memintanya, tetapi karena ia tahu: setiap peringatan yang tepat waktu dapat menyelamatkan nyawa.
Ada malam-malam di mana ia begitu gugup hingga gemetar, seperti malam 19 November, ketika Sungai Ba melepaskan banjir bersejarah dengan debit lebih dari 16.000 m³/detik. Ketika banyak tempat kehilangan daya dan sinyal, ketika ratusan pesan darurat berdatangan, ia hanya bisa menjawab: "Bor atap untuk menyelamatkan diri." Nasihat itu membuat orang merinding, tetapi terkadang itulah satu-satunya pilihan.
Teman-temannya bertanya bagaimana ia bisa tahan. Ia hanya berkata: "Ada batas tipis antara peringatan dan berita palsu." Maka ia berusaha tetap tenang meskipun kelelahan. Ada kalanya ia tidak tidur selama 48 jam, jadi ia mematikan komputernya sebentar untuk tidur, tetapi hanya beberapa jam kemudian ia terbangun memikirkan sekolah-sekolah yang rusak parah yang perlu dipugar.
Berkat koneksinya yang tak kenal lelah dengan banyak kelompok relawan lainnya, lebih dari 60 ton bantuan dari Quang Ngai , Quy Nhon, Nha Trang... telah dikirimkan kepada masyarakat Phu Yen tepat setelah banjir. Banyak tim kano, setelah empat hari mengarungi banjir, menerima ucapan terima kasihnya. Ada yang terkena flu, ada yang kembali ke kampung halaman untuk mengurus pemakaman kerabat... tetapi semuanya berusaha sebaik mungkin demi semangat yang sama: untuk sesama.
Itulah pula makna dari kawan senegara, yakni kebersamaan diam-diam antar manusia yang tidak ada hubungan darah namun memiliki darah Vietnam yang sama.
“Labu, tolong cintai labu juga”, “Jika seekor kuda sakit, seluruh kandang akan berhenti makan rumput”, atau “Sutra merah menutupi tempat cermin”, lagu-lagu rakyat lama ini mengingatkan kita: cinta tanah air dan kompatriotisme adalah akar kekuatan Vietnam.
Puluhan ribu perwira dan prajurit hadir di pusat banjir sejak jam-jam pertama, mengetuk setiap pintu, mengarungi setiap meter air, membawa setiap lansia, setiap anak ke tempat yang aman. Di tengah hujan dingin dan air berlumpur, warna-warni seragam prajurit, seragam pemuda hijau, seragam polisi... bagaikan setitik cahaya hangat. Itu bukan sekadar tugas, itu adalah kemanusiaan. Di mana pun ada orang Vietnam yang kesulitan, di situ ada tangan orang Vietnam yang siap membantu.
Ada orang tua yang membungkus sendiri tas hadiah untuk dikirim ke wilayah Tengah. Ada mahasiswa yang menyumbangkan uang sarapan untuk membantu teman-teman mereka di daerah terdampak banjir. Ada seniman dan pengusaha yang diam-diam memobilisasi donasi miliaran dong. Ada konvoi mobil yang berjalan sepanjang malam membawa beras, air, dan jaket pelampung. Setiap tindakan, besar maupun kecil, berkontribusi pada keharmonisan "solidaritas sesama warga", sebuah kekuatan yang dikagumi seluruh dunia.
Hujan dan banjir pada akhirnya akan surut. Rumah-rumah akan dibangun kembali. Ladang-ladang akan kembali hijau. Namun ikatan kasih sayang akan abadi. Di masa-masa sulit, orang-orang tidak saling bertanya berapa banyak harta yang mereka miliki, melainkan bertanya: "Masih adakah manusia?", karena ketika ada manusia, ketika ada kasih sayang, segalanya dapat dimulai kembali. Sebesar apa pun kerusakan yang ditimbulkan badai, selama masih ada manusia, kita akan bangkit kembali dengan kasih sayang sesama bangsa. Dan ketika awan gelap perlahan menghilang, langit setelah hujan akan kembali cerah, sebagai bukti bahwa kebaikan selalu menjadi cahaya terkuat yang pernah ada...
Sumber: https://baophapluat.vn/nguoi-viet-thuong-nhau.html










Komentar (0)