Kekalahan 0-4 dari PSG menyingkap banyaknya masalah Real Madrid. |
Para bintang penyerang yang dulu digembar-gemborkan, nama-nama yang dulu melambangkan ambisi dan kemenangan, kini telah menjadi masalah terbesar tim. "Mbappe dan Vinicius harus terus menekan, mereka harus melakukannya secara konsisten," tulis Marca dalam komentarnya setelah "Los Blancos" kalah 0-4 dari PSG di semifinal Piala Dunia Antarklub FIFA 2025™ pada 10 Juli.
Siapa yang pergi, siapa yang tinggal?
Dewan direksi Real Madrid menyadari bahwa mereka tidak lagi punya waktu untuk menunggu perubahan alami. Pembersihan personel bukan hanya tentang faktor profesional, tetapi juga harus dimulai dengan kejujuran dan tanggung jawab pribadi.
Percakapan langsung akan terjadi di waktu mendatang - di mana para pemain harus menjawab dengan jelas: apakah mereka masih ingin bermain untuk Real Madrid, apa yang mereka inginkan, dan yang paling penting, apakah mereka berani mendahulukan ego kolektif di atas ego individu mereka?
Real Madrid kurang konsisten dalam permainan mereka. |
Kekalahan dari PSG bukan sekadar kesalahan skor. Kekalahan ini merupakan tanda nyata perpecahan di dalam tim Kerajaan Spanyol.
Segera setelah kesalahan Raul Asencio yang berujung pada gol tersebut, reaksi negatif mulai menyebar: tatapan penuh kebencian, gestur kekecewaan, dan rekan satu tim yang saling membelakangi. Seiring pertandingan semakin sulit, semangat juang kolektif—identitas yang membuat Real Madrid hebat—tiba-tiba lenyap tanpa jejak.
Vinicius, yang dulunya simbol ledakan dan antusiasme, kini menjadi pusat keraguan. Ia bermain buruk, kurang determinasi, dan yang terpenting, ia tidak lagi menjadi dirinya sendiri.
Negosiasi perpanjangan kontrak yang tampaknya hampir selesai kini tak berarti jika Vinicius tidak mau berterus terang. Real Madrid tak membutuhkan kontrak baru jika orang yang menandatanganinya sudah tak lagi mencintai sang pemain.
Sedangkan untuk Rodrygo Goes, situasinya lebih jelas. Ia tidak masuk dalam rencana jangka panjang Xabi Alonso, dan mencari tujuan baru hanyalah masalah waktu.
Namun, kekhawatiran yang lebih besar mungkin adalah Kylian Mbappe – yang diharapkan menjadi pemimpin baru di lini serang. Namun, melawan PSG, tim lamanya, Mbappe tidak hanya bermain di bawah kemampuannya, tetapi juga menunjukkan pertahanan yang dangkal.
Xabi Alonso menuntut setiap pemain untuk bertahan, berlari, dan berjuang bersama. Namun, Mbappe tampaknya masih hidup dalam ilusi privilese bintang.
Baik Vinicius maupun Mbappe—dua nama yang seharusnya menjadi pilar penyerang—bermain seperti individu yang terisolasi, berjuang di dunia mereka sendiri. Ini bukan masalah teknik atau taktik, melainkan masalah semangat tim. Ketika masing-masing pemain menarik tim ke arah yang berbeda, hasilnya hanya keruntuhan.
Mbappe tampil kurang bersemangat pada hari ketika Real Madrid menderita kekalahan telak melawan PSG. |
Sekarang saatnya bagi Xabi Alonso untuk bergerak.
Kabar baiknya, dewan direksi Real Madrid telah menyadari hal ini. Mereka telah memberikan wewenang penuh kepada Xabi Alonso—penerus spiritual seorang pejuang Madrid—untuk menangani masalah ini dari akarnya.
Tak ada zona terlarang, tak ada hak istimewa. Yang dituntut Alonso bukanlah keajaiban, melainkan komitmen minimum dari setiap pemain yang mengenakan seragam putih: semangat tim.
Carlo Ancelotti telah memperingatkan tentang sikap sebelumnya. Kini Alonso mengikuti narasi itu, tetapi dengan tindakan yang lebih tegas. Kata-kata saja sudah cukup. Real Madrid butuh tindakan.
Musim panas masih panjang. Jendela transfer masih terbuka lebar. Tapi pertanyaannya bukan lagi "siapa yang datang", melainkan "siapa yang pantas bertahan".
Real Madrid berada di persimpangan bersejarah. Singkirkan ego dan terlahir kembali, atau teruslah hidup dalam ilusi dan hancurkan diri sendiri. Ini bukan lagi soal taktik, melainkan soal harga diri, komitmen, dan yang terpenting, kehormatan sebuah klub besar.
Sumber: https://znews.vn/real-madrid-vo-vun-vi-nhung-cai-toi-khong-chiu-chay-post1567629.html
Komentar (0)