AS untuk sementara terhindar dari risiko gagal bayar, tetapi ketentuan yang memaksa pemerintah membatasi pengeluaran dapat mendorong ekonomi AS semakin dekat ke resesi.
Pada tanggal 27 Mei, Presiden AS Joe Biden dan Ketua DPR AS dari Partai Republik Kevin McCarthy mencapai kesepakatan awal untuk menaikkan pagu utang publik, menghindari mendorong negara tersebut ke arah gagal bayar pada awal Juni.
Kesepakatan awal, yang masih perlu disetujui Kongres AS dalam beberapa hari ke depan, akan membantu AS menghindari skenario terburuk, yaitu gagal bayar utang dan memicu bencana keuangan. Namun, kesepakatan ini juga akan mendorong ekonomi terbesar di dunia tersebut semakin dekat ke resesi, menurut Bloomberg .
Salah satu isi kesepakatan adalah pemerintah harus membatasi pengeluaran selama 2 tahun ke depan. Hal ini akan menjadi tantangan baru bagi perekonomian AS, yang sedang tertekan oleh suku bunga tinggi dan terbatasnya akses kredit.
Belanja pemerintah telah menopang pertumbuhan ekonomi dalam beberapa kuartal terakhir di tengah tantangan seperti perlambatan pembangunan rumah, sehingga kesepakatan plafon utang dapat menghambat momentum tersebut. Dua minggu sebelum kesepakatan tercapai, para ekonom yang disurvei Bloomberg memperkirakan peluang resesi tahun depan sebesar 65 persen.
Warga Amerika berbelanja di sebuah supermarket di New York. Foto: Bloomberg
Bagi Federal Reserve AS (Fed), pembatasan pengeluaran pemerintah akan menjadi faktor baru yang perlu dipertimbangkan ketika menilai prospek pertumbuhan dan menyesuaikan suku bunga. Hingga akhir pekan lalu, pasar masih memperkirakan The Fed akan mempertahankan suku bunga pada pertemuan pertengahan bulan depan. Setelah itu, mereka dapat menaikkannya untuk terakhir kalinya sebesar 25 basis poin (0,25%) pada bulan Juli.
"Perjanjian ini berarti sedikit pengetatan fiskal, mengingat kebijakan moneter sudah mengetat. Hal itu akan memberikan efek sinergis," kata Diane Swonk, kepala ekonom di KPMG.
Saham berjangka AS masih menguat pagi ini. Kontrak berjangka S&P 500 naik 0,4%. Perdagangan obligasi ditutup hari ini. Namun, di pasar berjangka, imbal hasil obligasi pemerintah AS 10 tahun naik tipis menjadi 4,46%.
Pembatasan belanja diperkirakan akan berlaku mulai tahun fiskal baru, yang dimulai pada 1 Oktober. Namun, dampak yang lebih kecil kemungkinan akan muncul sebelum itu, seperti pengurangan dukungan Covid-19 atau pinjaman mahasiswa, yang kemungkinan besar tidak akan terlihat dalam angka PDB.
Namun, pembatasan pengeluaran untuk tahun fiskal mendatang bisa saja terjadi ketika ekonomi AS sedang berkontraksi. Ekonom yang disurvei Bloomberg memperkirakan PDB akan turun 0,5% masing-masing pada kuartal ketiga dan keempat.
"Jika ekonomi AS melambat, pengurangan belanja fiskal akan berdampak lebih besar pada PDB dan pasar kerja," kata Michael Feroli, kepala ekonom di JPMorgan Chase.
Di tengah perlambatan ekonomi AS, kebijakan fiskal dapat mendukung kebijakan moneter untuk mengendalikan inflasi. Menurut laporan terbaru, inflasi AS masih jauh di atas target 2% The Fed.
"Ini perkembangan yang signifikan. Setelah lebih dari satu dekade, kebijakan fiskal dan moneter bergerak ke arah yang sama. Mungkin pengetatan fiskal akan menjadi faktor yang menambah tekanan inflasi," kata Jack Ablin, kepala investasi di Cresset Capital Management.
Sejak Maret 2022, The Fed telah menaikkan suku bunga 10 kali, dengan total 5%. Ini merupakan strategi pengetatan moneter paling agresif sejak awal 1980-an. Namun, ekonomi AS tetap cukup tangguh dan belum jatuh ke dalam resesi seperti yang dikhawatirkan banyak analis.
Tingkat pengangguran kini berada pada level terendah dalam lebih dari 50 tahun, yaitu 3,4%. Perekrutan juga mencapai rekor tertinggi. Konsumen juga memiliki lebih banyak tabungan setelah pandemi.
Namun, kas Departemen Keuangan telah menyusut drastis sejak mencapai batas utang $31,4 triliun pada bulan Januari. Karena batas utang untuk sementara tidak mungkin tercapai, Departemen Keuangan akan meningkatkan penerbitan obligasi untuk mengisi kembali kasnya.
Gelombang obligasi dapat menguras likuiditas pasar keuangan, tetapi dampak pastinya sulit diukur. Pejabat Kementerian Keuangan juga dapat menerbitkan obligasi dalam jumlah yang lebih kecil untuk mengurangi volatilitas.
Dalam jangka panjang, pengetatan fiskal semacam ini tentu akan berdampak pada utang publik AS. Pekan lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan bahwa AS perlu mengetatkan anggaran utamanya (tidak termasuk pembayaran bunga) sebesar 5% dari PDB "agar utang publik turun secara bertahap pada akhir dekade ini."
Jadi, mempertahankan pengeluaran pada level tahun 2023 akan mempersulit mereka untuk melakukan hal itu. "Pengeluaran kemungkinan akan tetap stabil, mengurangi risiko fiskal terhadap perekonomian sekaligus sedikit mengurangi defisit," simpul Marcus.
Ha Thu (menurut Bloomberg)
[iklan_2]
Tautan sumber
Komentar (0)