AI telah menyusup ke setiap halaman catatan kuliah, setiap latihan, dan setiap saran belajar bagi mahasiswa. Dan dari sini, muncul pertanyaan besar: Bagaimana AI akan mengubah pendidikan ? Di mana peran guru nantinya?
Hampir 2.400 tahun yang lalu, filsuf Plato mendirikan Akademi, sekolah pertama di dunia , di Athena. Di sana, para guru tidak hanya mengajarkan pengetahuan tetapi juga cara hidup, cara menjadi manusia, dan cara memimpin.

Di dalam kelas, yang berharga bukan hanya pengetahuan, tetapi juga interaksi manusia.
FOTO: NHAT THINH
Di antara para murid tersebut terdapat Aristoteles, yang kemudian menjadi guru kemanusiaan. Dari Konfusius di Timur hingga Einstein di Barat, meskipun pengetahuan mereka berbeda, mereka semua memiliki kesamaan: menjadikan cinta kasih terhadap kemanusiaan sebagai akar ajaran mereka.
N PINTU BARU YANG DIBUKA AI UNTUK PENDIDIKAN
AI dapat membuat rencana pembelajaran hanya dalam beberapa menit, menyarankan ilustrasi, studi kasus, dan bahkan membuat simulasi virtual untuk dicoba siswa. Sebelumnya, seorang guru membutuhkan waktu berjam-jam untuk merancang pembelajaran, tetapi kini dengan AI, pekerjaan itu jauh lebih mudah.
AI juga memiliki kemampuan untuk mempersonalisasi alur pembelajaran: setiap siswa dengan kekuatan dan kelemahan yang berbeda akan disarankan konten yang sesuai. Siswa yang pandai matematika dapat berkembang lebih cepat, sementara mereka yang lambat dalam tata bahasa Inggris akan mendapatkan sistem yang secara otomatis melengkapi latihan mereka. Apa yang sulit dilakukan secara menyeluruh di kelas tradisional kini menjadi mungkin. Berkat AI, guru memiliki alat yang lebih canggih untuk mengubah kelas menjadi pengalaman yang beragam, hidup, dan personal, alih-alih model pembelajaran yang seragam.
Namun, setiap teknologi memiliki kekurangannya masing-masing. Jika kita terlalu bergantung pada AI, guru bisa menjadi "juru bicara" bagi mesin, tanpa kedalaman, kreativitas, dan emosi pribadi. Rencana pembelajaran yang indah namun hambar, kuliah yang lancar namun tanpa mendengarkan dan berbagi secara nyata dari guru—hal-hal tersebut bisa berisiko.
Lebih lanjut, AI dapat membuat siswa "takut berpikir", cepat-cepat mencari dan mendapatkan jawaban, alih-alih mencari tahu sendiri. Di dalam kelas, yang berharga bukan hanya pengetahuan, tetapi juga interaksi manusia – tatapan menyemangati, anggukan, atau dengan sabar mendengarkan jawaban yang ragu-ragu. Hal ini tidak dapat digantikan oleh algoritma apa pun.
Oleh karena itu, tantangan bagi guru saat ini bukan hanya "mengenal AI", tetapi juga memahami batasannya. Menggunakan AI tidak hanya menghemat waktu persiapan, mendorong kreativitas, tetapi juga harus menguasai ruang kelas, menguasai emosi, dan membangkitkan semangat belajar siswa.

Sejauh mana pun teknologi berkembang, ia tidak akan pernah bisa menggantikan guru.
FOTO: DAO NGOC THACH
R OBOT - GURU YANG TAK PERNAH LELAH
Kini, dunia telah memasuki era AI, di mana "profesor robot" dapat mengajar siswa dalam 23 bahasa, tanpa lelah, tanpa bosan, dan tanpa terlambat. Di Jepang, robot mengajar bahasa Inggris; di Finlandia, "Profesor Elias" mengobrol ramah layaknya manusia sungguhan; di AS, Einstein versi AI mengajar fisika dengan senyum sabar yang tak henti-hentinya. Dan orang-orang mulai bertanya: "Akankah profesor robot menggantikan guru sungguhan suatu hari nanti?"
Jawabannya tidak, jika guru masih menjaga hatinya. Robot bisa mengajarkan ilmu, tetapi hanya guru yang bisa mengajarkan karakter. Robot bisa mensimulasikan emosi, tetapi hanya guru yang bisa membangkitkan jiwa. Robot bisa berbicara tentang rasa syukur, tetapi hanya guru yang bisa membuat murid menangis ketika mengucapkan terima kasih.
SISWA TIDAK TERATUR DARI GURU
Profesor robot - asisten pengajar umat manusia yang tekun, tetapi tidak akan pernah bisa menggantikan hati seorang guru.
Guru di era baru
Agar tidak hanya bertahan tetapi juga memimpin dan menginspirasi, guru di era digital perlu senantiasa mempraktikkan 3 kompetensi inti: Kapasitas belajar sepanjang hayat - senantiasa memperbarui pengetahuan, teknologi, dan metode pengajaran baru. Guru masa kini harus menjadi guru sekaligus pembelajar, dan senantiasa dapat belajar dari siswanya.
Yang kedua adalah kemampuan untuk terhubung dan berkreasi - mengetahui cara menggabungkan pengetahuan manusia dan perangkat AI; mengetahui cara menciptakan ruang belajar yang beresonansi di mana siswa dapat berpartisipasi, menjelajah , dan berkreasi bersama guru.
Terakhir, kompetensi emosional dan kepemimpinan manusia—memahami cara membangkitkan emosi positif, menanamkan rasa percaya diri, dan mendampingi siswa di saat-saat terlemah mereka. Ketika AI menjadi cerdas, emosi guru akan menjadi "perbedaan yang tak tergantikan".
Selain kompetensi, ada tiga kualitas yang menjadi fondasi nilai abadi seorang guru. Pertama, kejujuran. Kejujuran terhadap ilmu pengetahuan, terhadap siswa, dan terhadap diri sendiri. Seorang guru yang jujur tidak hanya mengajar dengan benar, tetapi juga hidup dengan jujur, sehingga setiap kata menjadi pelajaran moral yang tersirat.
Berikutnya adalah kepercayaan diri. Keyakinan akan nilai profesi dan misinya. Guru yang percaya diri tidak takut digantikan oleh teknologi, karena mereka tahu bahwa teknologi hanyalah penunjang, dan manusia adalah pusatnya.
Dan yang ketiga adalah rasa syukur. Rasa syukur atas kehidupan, siswa, dan guru-guru yang telah mendahului kita. Rasa syukur membantu guru menjadi rendah hati, baik hati, dan mewariskan energi positif kepada generasi berikutnya. Seperti yang pernah dikatakan Cicero: "Rasa syukur adalah kebajikan terbesar, dan akar dari semua kebajikan lainnya." Dan mungkin, itulah yang tak dapat diprogram oleh sebaris kode AI mana pun.
Namun, tidak peduli seberapa jauh kemajuan teknologi, akan selalu ada hari di tahun saat kita mempersembahkan bunga kepada guru sejati dalam wujud manusia - mereka yang mengajarkan kita bukan hanya cara untuk mengetahui, tetapi juga cara untuk menjadi manusia.
AI dapat memberikan informasi, menyarankan metode, menganalisis data… tetapi AI tidak dapat mencintai. Ia tidak dapat menyentuh hati siswa dengan mengatakan: "Saya yakin kamu bisa melakukannya". Ia tidak dapat menginspirasi dari pengalaman, kegagalan, dan ketekunan manusia.
Guru, dari masa lalu hingga masa kini, tidak hanya mengajarkan kata-kata, tetapi juga mengajarkan bagaimana menjadi manusia. Di era AI, peran tersebut semakin nyata: Guru adalah pemandu, agar siswa tidak tersesat di lautan informasi. Gurulah yang menjaga api tetap menyala, sehingga setiap pelajaran bukan sekadar rumus atau data, melainkan sebuah perjalanan penemuan jati diri. Guru adalah penggeraknya, dan AI hanyalah kendaraannya – sebuah alat untuk mempercepat dan memperlancar perjalanan pembelajaran. Ingat: AI dapat mengubah ruang kelas, tetapi tidak dapat menggantikan hati seorang guru. Teknologi dapat menjadi "perpanjangan tangan" guru, tetapi yang membimbing, menginspirasi, dan menanamkan rasa percaya diri pada generasi muda hanyalah guru – "tukang perahu" yang berdedikasi dan manusiawi. Di era AI, lebih dari sebelumnya, kita melihat kebenaran dengan lebih jelas: AI adalah sebuah alat. Gurulah yang memimpin pengetahuan.
Sumber: https://thanhnien.vn/ai-va-nguoi-thay-trong-ky-nguyen-giao-duc-moi-185251114183517193.htm






Komentar (0)