Untuk berhasil dalam transformasi digital, agensi pers harus menghadapi banyak tantangan berbeda, mulai dari restrukturisasi organisasi, personel, dan terutama terus memperbarui dan menerapkan teknologi baru.
Namun, ada tantangan umum yang dihadapi setiap organisasi berita di kawasan ini, serta dunia secara umum, yaitu menciptakan keseimbangan dalam menghadapi tekanan platform media sosial dan teknologi yang berkembang pesat.
Para pemimpin dan delegasi yang menghadiri Konferensi Jurnalisme Internasional: “Mengelola ruang redaksi digital: Teori, praktik, dan pengalaman di kawasan ASEAN” berfoto bersama untuk menunjukkan solidaritas.
Pers ASEAN mendapat tekanan dari media sosial
Hal yang sama juga disampaikan oleh Bapak Agus Sudibyo, Ketua Dewan Pengawas Lembaga Penyiaran Publik TVRI di bawah naungan Persatuan Wartawan Indonesia. Beliau menyatakan: “Sebagaimana lazimnya di negara-negara ASEAN, jurnalisme Indonesia juga menghadapi tantangan besar di era digital. Ekonomi jurnalisme di Indonesia sedang menurun karena pendapatannya dikendalikan oleh raksasa teknologi. Menurut statistik, 76 hingga 81% berita didistribusikan melalui platform teknologi seperti Google dan Facebook. Pendapatan iklan digital di Indonesia juga dimonopoli oleh Google dan Facebook.”
Oleh karena itu, ia menyarankan: “Menghadapi kekuatan monopoli Google dan Facebook, kita tidak bisa berjalan sendiri, tetapi perlu membangun kerja sama, tidak hanya antar lembaga pers di suatu negara, tetapi juga di kawasan dan bahkan internasional.”
Secara khusus, Bapak Agus Sudibyo berpendapat bahwa salah satu cara penting untuk melindungi pers adalah dengan membangun sanksi yang memaksa jejaring sosial dan teknologi untuk mematuhi peraturan umum dalam kegiatan media dan undang-undang hak cipta, sehingga pers tidak ditindas oleh raksasa seperti Facebook dan Google, atau bahkan "mencuri" konten pers.
Menurutnya, organisasi media Indonesia bekerja sama mengembangkan proses lima langkah untuk misi ini, yang mencakup lobi kepada pemerintah, kelompok media, parlemen , dan platform media sosial itu sendiri, untuk menciptakan regulasi yang menjamin keadilan bagi pers. Rencana ini dapat dikatakan sangat mirip dengan undang-undang di Australia dan baru-baru ini di Kanada yang mewajibkan jejaring sosial dan platform teknologi lainnya untuk berbagi keuntungan dengan pers.
Tantangan platform media sosial juga dipandang sebagai isu utama yang harus diatasi di sebagian besar negara lain di Asia Tenggara, dalam berbagai aspek. Misalnya, seorang delegasi dari Filipina, jurnalis senior Maria Maralit dari The Malina Times, mengatakan bahwa liputan media massa tentang informasi di media sosial juga merupakan risiko. Selain ketergantungan yang berkelanjutan pada platform teknologi, risiko utama lainnya adalah isu "misinformasi". Ia berkata: "Beroperasi di platform media sosial juga menciptakan tantangan, terutama dalam mengendalikan misinformasi. Bahkan organisasi berita besar pun dapat terjebak dalam perangkap 'clickbait' di platform ini."
Sementara itu, Bapak Khieu Kola, Penasihat Presiden Klub Jurnalis Kamboja (CCJ), mengatakan bahwa media baru, seperti media warga, media sosial, terutama di Facebook, sedang berkembang pesat. Hal ini menjadi tantangan besar bagi organisasi pers Kamboja mengingat transformasi digital jurnalisme di negara ini masih belum berkembang pesat.
Diperlukan lebih banyak kerja sama dan kebijakan untuk melindungi pers.
Di Laos, pertumbuhan media sosial juga pesat, sehingga informasi sulit dikendalikan. Lebih lanjut, menurut Bapak Aditta Kittikhoun dari Asosiasi Jurnalis Laos dengan judul: "Dari Cetak ke Piksel: Revolusi Media Laos", hingga 62% pengguna internet di negara ini menggunakan media sosial sebagai kanal untuk bertukar berita.
Sementara itu, menurut data dalam presentasi, Laos hanya memiliki 24 surat kabar, 32 stasiun televisi, dan 44 stasiun radio. Artinya, seperti Kamboja, media sosial dan platform teknologi dapat dengan mudah "menghancurkan" saluran pers tradisional di negara ini. Seperti yang kita ketahui, bahkan negara-negara dengan pers yang kuat dan padat penduduk pun kesulitan menghadapi tekanan dari platform media sosial dan teknologi.
Foto hasil rekayasa AI dalam presentasi delegasi Asosiasi Jurnalis Laos. Foto: AI
Namun, menurut pakar Aditta Kittikhoun, pers tidak dapat menghindari kanal media sosial atau platform teknologi baru, melainkan harus melihatnya sebagai tantangan sekaligus peluang. Sebagai contoh, fakta bahwa setiap warga negara dapat menjadi reporter di era ini juga berarti bahwa pers akan memiliki banyak kanal informasi untuk dimanfaatkan.
Sementara itu, terutama dengan penggunaan Kecerdasan Buatan (AI), jurnalisme akan lebih mudah bagi negara-negara dengan sumber daya pers yang masih terbatas seperti Laos. Ia juga mencontohkan ketika ia merilis foto impresif yang dibuat oleh AI untuk menggambarkan presentasinya, dengan mengatakan bahwa foto tersebut dibuat "hanya dalam 10 detik".
Di antara rekomendasinya, Bapak Aditta Kittikhoun juga mengatakan bahwa para pembuat kebijakan di negara-negara ASEAN harus mendukung jurnalisme di era transformasi digital dengan memperkenalkan peraturan untuk mengendalikan jejaring sosial, melalui peningkatan pajak, penyensoran informasi yang salah, dan pengendalian pelanggaran hak cipta pada platform teknologi.
Akhirnya, sebagian besar pembicara, pakar dalam dan luar negeri pada Lokakarya tersebut sepakat bahwa dengan kekuatan platform teknologi global yang luar biasa, kita tidak dapat bekerja sendiri, kita perlu membangun jaringan dan kerja sama antarnegara di kawasan.
Dan Konferensi Jurnalisme Internasional: “Manajemen Ruang Redaksi Jurnalisme Digital: Teori, Praktik, Pengalaman di Kawasan ASEAN” yang baru saja berakhir siang ini tentu memberikan kontribusi yang signifikan dalam membantu membangun kerja sama yang lebih erat antar komunitas pers ASEAN di masa mendatang.
Hoang Hai
[iklan_2]
Sumber
Komentar (0)