Menurut CNN , sejak awal tahun 2024, setidaknya 85 ilmuwan yang sedang naik daun atau telah membangun karier mereka di AS telah kembali bekerja penuh waktu di lembaga penelitian Tiongkok, lebih dari setengahnya pada tahun 2025. Para ahli mengatakan tren ini dapat berlanjut, dalam konteks Washington yang memangkas anggaran penelitian, memperketat pengawasan terhadap talenta asing, sementara Beijing meningkatkan investasi dalam inovasi.
Fenomena "reverse brain drain" menimbulkan pertanyaan tentang kemampuan Amerika untuk mempertahankan posisi terdepannya di bidang sains dan teknologi, yang telah menguat sejak Perang Dunia II. Hal ini juga merupakan faktor yang dapat secara langsung memengaruhi persaingan AS-Tiongkok di industri-industri masa depan seperti kecerdasan buatan (AI), komputasi kuantum, semikonduktor, bioteknologi, dan peralatan militer pintar.
Tiongkok memanfaatkan "hadiah dari Amerika"
Selama bertahun-tahun, Beijing telah berupaya menarik bakat global, terutama ilmuwan Tiongkok yang belajar dan bekerja di luar negeri, banyak di antaranya telah menjadi andalan sains Amerika.

Perubahan kebijakan Washington, dari pemotongan anggaran, peningkatan pengawasan, peningkatan biaya visa H1-B hingga penggunaan dana untuk menekan universitas, secara tidak sengaja telah menciptakan lebih banyak peluang bagi China.
"Universitas-universitas Tiongkok melihat ini sebagai 'hadiah dari Amerika' untuk merekrut talenta," komentar Profesor Yu Xie (Universitas Princeton, AS). Ia yakin bahwa di tahun-tahun mendatang, Tiongkok akan menyaksikan ledakan program penelitian dan pelatihan inovatif di berbagai bidang.
Lu Wuyuan, seorang ahli kimia protein yang pernah menjadi profesor di Universitas Maryland sebelum pindah ke Universitas Fudan (Shanghai, Tiongkok) pada tahun 2020, juga mencatat tren ini: "Aplikasi dari peneliti asing telah meningkat secara signifikan. Ini adalah arus balik yang kuat dan sulit untuk dibalik."
Rekrutmen publik, perlakuan istimewa
Beberapa universitas di Tiongkok telah secara terbuka mencari talenta. Universitas Wuhan pernah memasang iklan rekrutmen di media sosial, menjanjikan gaji yang menarik dan anggaran penelitian hingga 3 juta yuan (lebih dari 10 miliar VND), dengan memprioritaskan bidang robotika, kecerdasan buatan, dan keamanan siber.
Pemerintah Tiongkok juga meluncurkan kebijakan tambahan: Program Qiming untuk mendatangkan ilmuwan terkemuka ke sektor teknologi komersial, dengan fokus pada chip dan semikonduktor; dan jenis visa baru "visa K" untuk talenta muda di bidang sains dan teknologi , yang berlaku mulai 1 Oktober 2025.
Bukan tantangan kecil
Namun, seiring dengan kebijakannya dalam menarik bakat, Tiongkok juga menghadapi banyak keraguan tentang kemampuannya untuk mempertahankan lingkungan penelitian yang terbuka dan inovatif.
Banyak ilmuwan percaya bahwa lingkungan penelitian di Tiongkok masih berbeda dengan di AS, mulai dari mekanisme pendanaan hingga evaluasi proyek.
"Jika meninggalkan AS hanya sekadar keinginan untuk 'melarikan diri' tanpa benar-benar melihat Tiongkok sebagai peluang pembangunan, maka saya tidak akan mendorong mereka untuk memilih datang ke sini," kata Bapak Yu Hongtao, Dekan Sekolah Ilmu Hayati, Universitas Westlake (Tiongkok).
Menurut para ahli, prioritas utama bagi para ilmuwan tetaplah tempat dengan kondisi penelitian yang kondusif dan sumber pendanaan yang stabil. "Jika AS mempertahankan tingkat pendanaannya saat ini, Tiongkok akan membutuhkan waktu lama untuk mengejar ketertinggalan," ujar matematikawan ternama Yau Shing-Tung.
Upaya Tiongkok selama bertahun-tahun telah membuahkan hasil: mulai dari program luar angkasa, energi terbarukan, hingga teknologi militer seperti rudal hipersonik. Menurut Nature Index , ilmuwan Tiongkok kini menerbitkan lebih banyak penelitian di jurnal bergengsi daripada AS, dan lebih banyak sekolah Tiongkok yang masuk dalam 50 besar dunia.
Namun, untuk menjadi negara adikuasa ilmiah, Tiongkok masih harus mengatasi banyak tantangan: lingkungan politik yang dikontrol ketat, kendala bahasa dan kualitas hidup - faktor yang membuat banyak peneliti internasional ragu-ragu.
Sumber: https://vietnamnet.vn/chay-mau-chat-xam-nguoc-vi-sao-gan-100-nha-khoa-hoc-roi-my-ve-trung-quoc-2448506.html
Komentar (0)