
Pelajaran 1: Ketika undangan menjadi “pedang bermata dua”
Olahraga massal membantu meningkatkan kebugaran fisik dan menghubungkan masyarakat, tetapi ketika olahraga didominasi oleh mentalitas "menyamakan kedudukan dengan teman", banyak orang harus membayar harganya dengan cedera dan pelajaran kesehatan yang tak terlupakan.
Ketika undangan menjadi tekanan
Pada sore akhir pekan, taman tepi sungai di Kota Ho Chi Minh ramai dengan derap sepatu lari, suara bola yang dipukul, dan tawa. Olahraga telah menjadi ritme kehidupan urban yang tak terpisahkan. Dari gedung apartemen, kantor, hingga kedai kopi, di mana-mana terdapat sekelompok orang yang berlatih bersama, berpartisipasi dalam turnamen amatir, atau tantangan daring.
Namun, tidak semua orang datang ke olahraga dengan inisiatif atau pemahaman. Bapak Thanh Lam (26 tahun, kelurahan Thu Duc) menceritakan pengalaman yang nyaris berbahaya dalam lomba lari jarak jauh: “Ketika tinggal beberapa ratus meter lagi menuju garis finis, saya merasakan sakit yang tajam di perut dan tidak bisa bernapas. Jika saya mencoba lebih lama lagi, saya pasti sudah pingsan. Namun di sekitar saya, banyak orang masih berlari untuk 'mengejar' waktu agar bisa menyusul teman-teman mereka.”
Kisah Lam bukanlah hal yang luar biasa. Di era jejaring sosial, olahraga akar rumput bukan hanya sekadar latihan, tetapi juga erat kaitannya dengan tren "hidup sehat - hidup indah". Setiap sesi latihan, setiap lomba, setiap foto "garis finis" menjadi sebuah pencapaian yang patut dibagikan. Kegembiraan itu membantu menyebarkan semangat bergerak, tetapi juga menciptakan "tekanan tak terlihat" yang membuat banyak orang berusaha melampaui batas mereka hanya agar tidak tertinggal.
Menurut pengamatan para pelatih olahraga akar rumput, mentalitas "ikuti teman" populer di dunia perkantoran. Banyak orang mulai berolahraga bukan karena mereka menyukainya, melainkan karena "semua orang melakukannya". Ketika gerakan ini menjadi tren, tujuan "berlatih untuk kesehatan" dengan mudah tergantikan oleh "prestasi pribadi".

Bapak Tien Dat (25 tahun, distrik Binh Thanh) adalah contohnya. Ia mulai menekuni pickleball hanya karena ajakan rekan-rekannya. Dari sekadar "bermain untuk bersenang-senang", ia dengan cepat berlatih 6 sesi per minggu. Suatu kali, saat menyelamatkan bola, ia mengalami dislokasi leher dan harus cuti kerja selama seminggu. "Awalnya, saya pikir itu hanya kelelahan ringan, tetapi kemudian saya harus istirahat panjang. Sekarang saya masih menyukainya, tetapi saya mengerti bahwa saya perlu mengendalikan ritme latihan saya," kata Bapak Dat.
Sementara itu, Ibu Tu Quyen (50 tahun, kecamatan Xuan Hoa), yang telah berlari dan memanjat selama lebih dari 10 tahun, memilih pendekatan yang berbeda: “Saya tidak menetapkan tujuan berdasarkan orang lain. Ketika saya lelah, saya beristirahat. Olahraga itu untuk kesehatan, bukan untuk membuktikan diri.”
Kisah Quyen telah menuai banyak simpati dari komunitas lari. Di forum lari, banyak orang mengaku "serakah akan prestasi" yang menyebabkan nyeri otot, cedera tendon, dan bahkan rawat inap. Beberapa orang bercanda menyebut fenomena ini "sindrom FOMO olahraga", yaitu rasa takut tertinggal jika tidak bergabung dengan kelompok.
Pelatih Nguyen Tuan Khoa, yang berpengalaman bertahun-tahun membimbing gerakan lari di Kota Ho Chi Minh, berbagi: “Yang mengkhawatirkan adalah para pemula sering berlari berdasarkan emosi, bukan mengikuti rencana latihan. Mereka berpikir semakin banyak berlatih, semakin baik, padahal tubuh butuh waktu untuk beradaptasi. Itulah sebabnya banyak cedera terjadi, bahkan pada orang muda dan sehat.”
Menurut Dr. Phan Vuong Huy Dong, Ketua Asosiasi Kedokteran Olahraga Vietnam, kelompok pemain amatir merupakan "titik rawan" cedera olahraga: "Mereka sering berlatih tidak teratur, menghabiskan waktu lama, lalu berolahraga dengan intensitas tinggi. Tidak melakukan pemanasan dengan benar dan tidak melakukan pemeriksaan kesehatan rutin merupakan penyebab umum cedera dan stroke," ujar Dr. Dong.

Banyak pakar kedokteran olahraga percaya bahwa budaya olahraga massal di Vietnam berkembang lebih cepat daripada kesadaran keselamatan para pemain. Semangat saling berbagi dan berkompetisi memang positif, tetapi ketika pengetahuan dasar mereka kurang, para pemain dapat dengan mudah mengorbankan kesehatan mereka hanya demi menyelesaikan tantangan atau mendapatkan foto "check-in" yang bagus.
Gerakan booming – meningkatkan cedera
Patut dicatat, dalam beberapa tahun terakhir, olahraga baru seperti pickleball telah menjadi "demam" di dunia perkantoran. Dari beberapa ribu pemain, kini diperkirakan ada lebih dari 30.000 peserta di seluruh negeri, yang menyebabkan dibukanya ratusan lapangan baru. Seiring dengan penyebaran tersebut, cedera juga meningkat pesat.
Pada April 2025, model Ky Han, istri pemain sepak bola Mac Hong Quan, mengalami patah kaki saat bermain pickleball di Kota Ho Chi Minh. Sebelumnya, di Stadion Cau Giay ( Hanoi ), seorang pria berusia 55 tahun mengalami stroke setelah hanya bermain selama 20 menit. Kedua insiden tersebut menimbulkan kehebohan di komunitas pickleball, memaksa banyak klub untuk memperketat prosedur pemanasan mereka.

Dr. Nguyen Xuan Anh, Spesialis Trauma Ortopedi, mengatakan bahwa rumah sakit menerima semakin banyak kasus cedera pickleball, mulai dari keseleo ringan hingga robekan ligamen dan tendon Achilles. "Kesamaannya adalah keinginan untuk meraih bola, gerakan yang terburu-buru, dan kurangnya teknik. Pickleball bukanlah olahraga yang ringan seperti yang dipikirkan banyak orang, olahraga ini membutuhkan refleks yang cepat dan kekuatan lompatan, jadi jika Anda tidak melakukan pemanasan dengan benar, risikonya sangat tinggi," kata Dr. Xuan Anh.
Dr. Vo Hoa Khanh, Kepala Departemen Manajemen Mutu, Rumah Sakit Ortopedi Kota Ho Chi Minh, juga mengakui: "Banyak orang memilih lapangan dengan permukaan keras dan menjatuhkan diri untuk menyelamatkan bola, sehingga meningkatkan risiko cedera. Terutama bagi orang dengan penyakit kardiovaskular, gerakan tiba-tiba dapat dengan mudah menyebabkan insiden berbahaya."
Tak hanya pickleball, olahraga populer seperti sepak bola, lari, dan bersepeda jarak jauh juga mencatat banyak kasus cedera muskuloskeletal. Beberapa orang menganggapnya "masalah kecil", lalu mengoleskan minyak pada tubuh mereka dan terus berlatih, yang tanpa sengaja menyebabkan kerusakan kumulatif.
Menurut para dokter, akar permasalahannya bukan hanya teknik, tetapi juga kurangnya pemahaman akan batasan diri sendiri. Dalam masyarakat yang mengutamakan citra dinamis, semangat "menaklukkan" membuat banyak orang menyamakan kesehatan dengan pencapaian. "Jatuh di lintasan" terkadang dianggap sebagai bukti semangat yang kuat, sebuah konsep yang berbahaya. Dr. Dong memperingatkan: "Itu cara berpikir yang salah. Olahraga bukanlah perang, melainkan perjalanan bersama tubuh."

Bapak Doan Son, pemilik SC Pickleball Tan Binh, berkata: “Banyak orang datang ke lapangan hanya dengan raket dan langsung bermain, tanpa pemanasan, tanpa pelatih yang membimbing mereka. Agar gerakan ini berkelanjutan, para pemain harus memahami teknik dan menghargai batasan mereka sendiri.”
Dr. Le Van Thuong, Rumah Sakit Hoan My, Kota Ho Chi Minh, menekankan: "Olahraga hanya bermanfaat jika dilakukan dengan benar dan dengan kekuatan yang tepat. Jika Anda mengikuti tren dan melupakan kondisi fisik Anda, manfaat kesehatannya tidak akan berarti lagi."
Olahraga massal merupakan pertanda baik bagi masyarakat yang dinamis, tetapi agar gerakan ini benar-benar sehat, para pemain membutuhkan pengetahuan, teknik, dan kewaspadaan. Karena "ajakan" bisa dimulai dengan kegembiraan, tetapi tanpa pemahaman, bisa juga berakhir dengan cedera—baik fisik maupun kognitif.
Artikel terakhir: 'Obat yang berharga' perlu digunakan dalam dosis yang tepat
Sumber: https://baotintuc.vn/phong-su-dieu-tra/choi-the-thao-phong-trao-bai-1-khi-loi-moi-tro-thanh-con-dao-hai-luoi-20251010093147024.htm
Komentar (0)