Sebuah rumah kecil yang terletak sederhana di jantung kota Hanoi kuno bergema dengan suara merdu seorang seniman tua yang telah menginjak usia delapan puluh. Tuan Nguyen Kim Ke (lahir tahun 1945), bertubuh ramping, berambut perak, dan bermata cerah, seakan menyimpan segenap nostalgia masa keemasan panggung. Hanya sedikit orang yang tahu bahwa, tersembunyi di balik sosok yang tenang itu, tersimpan kehidupan yang tak pernah tenang, seorang seniman, seorang prajurit, seorang saksi bisu masa-masa seni tradisional Tuong yang perlahan terlupakan.

Sebuah kehidupan yang memilih jalan tanpa kemuliaan

Kami mengunjungi seniman Nguyen Kim Ke pada suatu sore yang cerah di Hanoi. Di sebuah ruangan kecil seluas lebih dari 10 meter persegi (No. 50, Jalan Dao Duy Tu, Kota Hanoi), dinding-dindingnya dihiasi dengan banyak topeng Tuong. Inilah karya-karya dari lubuk hatinya yang dengan tekun ia kumpulkan dan lestarikan selama masa pensiunnya, menikmati hidup yang santai dan damai dengan kenikmatan masa tua yang elegan.

 

Ia dengan lembut memperkenalkan kami pada topeng-topeng itu, masing-masing tertata rapi, berwarna cerah namun ternoda seiring waktu. Setiap topeng adalah sebuah karakter, sebuah kisah, sepotong jiwa panggung yang ia hargai dan hargai. “Sekarang setelah saya tua dan kesehatan saya memburuk, saya tidak lagi melukis topeng Tuong seperti dulu. Sebelumnya, saya masih membuat dan menjual banyak topeng kepada orang asing, terutama sebelum pandemi Covid-19. Saat itu, banyak orang asing datang ke Vietnam, dan komunikasi mudah, jadi saya bisa berjualan. Namun sejak Covid, pengunjung asing berkurang, komunikasi terbatas, jadi saya tidak bisa berjualan sebanyak dulu lagi,” akunya.

Melihat topeng-topeng yang ia rawat dengan cermat, kami merasakan napas masa lalu gemilang yang ia jalani, masa lalu yang sepenuhnya terikat dengan seni. Ia lahir dalam keluarga dengan tradisi seni yang kental, baik ayah maupun ibunya adalah seniman tuong berbakat, "pohon tua" panggung teater Lac Viet (kini No. 50, Jalan Dao Duy Tu, Kota Hanoi). Di sinilah suara genderang dan tarian terukir kuat dalam jiwa muda Kim Ke, yang menyalakan gairahnya sejak langkah pertama kehidupannya.

Sejak kecil, ia mengikuti orang tuanya ke mana-mana, tumbuh besar dalam sorotan lampu, suara drum, dan riasan warna-warni. Pada usia 12 tahun, ia resmi menjadi aktor di Teater Lac Viet, menandai awal perjalanan seninya yang berlangsung lebih dari setengah abad. Namun, kehidupan seninya segera berubah arah ketika, pada usia 20 tahun, negara itu memasuki masa perang yang sengit. Dengan membawa patriotisme seorang pemuda dari Hanoi, ia mengajukan diri untuk pergi ke Selatan untuk bertempur. Pada 17 April 1965, ia resmi mendaftar menjadi tentara. Kurang dari tiga bulan kemudian, pada 9 Juli 1965, ia berangkat ke medan perang Tenggara, dan ditugaskan ke Resimen 1, Divisi 9, unit utama Tentara Pembebasan Vietnam Selatan.

Selama masa perang, mantan seniman panggung ini menjadi prajurit pemberani di tengah gempuran bom dan peluru. Ia berpartisipasi dalam banyak pertempuran besar, meraih prestasi, dianugerahi banyak medali, dan gelar "Penghancur Amerika yang Berani", sebuah gelar yang pantas untuk keberaniannya di medan perang yang berapi-api. Pada tahun 1968, ia terluka parah dan terpaksa mundur ke garis belakang. Dua tahun kemudian, ia dikirim ke Utara untuk bekerja di Pabrik Mekanik Long Bien. Tak hanya pekerja keras, ia juga seorang komandan peleton milisi, yang secara langsung terlibat dalam memimpin pertempuran melawan pesawat-pesawat Amerika selama 12 hari dan malam bersejarah melindungi langit Hanoi pada tahun 1972.

Setelah perang, ketika negara bersatu, Teater Vietnam Tuong mengundangnya untuk kembali menjadi aktor. Seolah takdir telah memanggilnya kembali ke dunia panggung, tempat hatinya seharusnya berada. Ia bekerja di sana hingga pensiun, tanpa pernah absen satu kali pun dari latihan atau pementasan. Selama bertahun-tahun berkarier, ia menerima banyak sekali sertifikat penghargaan, penghargaan, dan gelar pejuang emulasi di semua tingkatan, tetapi masih belum ada gelar resmi untuk seniman veteran ini. Ia hanya tersenyum pelan: "Asalkan aku tidak malu pada diriku sendiri, itu sudah cukup."

Ucapan sederhana itu seakan merangkum segalanya, hidup penuh dedikasi tanpa menuntut pengakuan, tanpa butuh kejayaan. Saat masih di atas panggung, ia menghargai setiap perannya, peran-peran jahat seperti Gubernur To Dinh digambarkan bukan lewat teknik atau dialog, melainkan lewat sikap, lewat emosi batin sang tokoh. "Memainkan sebuah drama itu sangat sulit, harus berlatih dengan teliti, harus berlatih keras. Ada orang yang langsung ingin menyerah ketika kepala dan dahinya pecah," katanya, suaranya lirih seolah terpatri dalam ingatan profesionalnya.

Di bawah sorotan lampu panggung, tuong tak hanya muncul sebagai bentuk seni pertunjukan, tetapi juga sebagai dunia yang terpisah, tempat seniman sepenuhnya mengubah jiwa dan raga. Seniman Nguyen Kim Ke berbagi bahwa, untuk melangkah ke dunia itu, seorang aktor tidak bisa hanya memiliki bakat alami. Mereka harus melalui perjalanan panjang yang penuh kerja keras, ketekunan, dan semangat.

Ia mengakui bahwa tuong bukanlah hal yang mudah bagi para seniman. Mereka tidak hanya menghayati emosi batin mereka, tetapi harus menyampaikan emosi tersebut melalui setiap gerakan tubuh, setiap tatapan, setiap langkah, setiap gerakan jungkir balik yang tampak sederhana namun membutuhkan teknik dan daya tahan. Jika cheo atau cai luong dapat menyentuh hati orang hanya dengan nyanyian dan lirik, tuong membutuhkan lebih dari itu, yaitu harmoni antara suara dan warna, antara tubuh dan jiwa, antara kekuatan dan kecanggihan. Setiap peran adalah transformasi yang utuh, adalah keringat, adalah hasil kerja keras bertahun-tahun di lapangan latihan, adalah seluruh hidup seniman yang didedikasikan untuk setiap momen singkat di atas panggung.

Selama kariernya, ia memiliki banyak prestasi di ketentaraan...

Ia perlahan mengenang masa mudanya, ketika setiap peran merupakan sebuah komitmen, dimulai dari lantai latihan yang berkeringat. Baginya, panggung Tuong bukanlah tempat untuk improvisasi, seseorang tidak bisa begitu saja melangkah ke atas panggung dan tampil. Setiap peran, terutama peran aksi dan bela diri, tidak dapat dilakukan hanya dengan menghafal dialog, melainkan harus menghabiskan waktu berhari-hari dan berjam-jam berlatih setiap gerakan bela diri dan setiap gerakan akrobatik. Teknik-teknik ini membutuhkan presisi tinggi, dan kesalahan sekecil apa pun dapat dengan mudah menyebabkan cedera.

"Pada masa itu, kelompok Tuong sangat serius dalam latihan, karena satu langkah yang salah tidak hanya dapat merusak peran, tetapi juga membahayakan sang pemain sendiri." Kisahnya, meskipun sederhana, tetap meninggalkan kekaguman yang mendalam bagi pendengarnya. Tuong bukan untuk orang yang malas atau tidak sabaran. Ia adalah hasil dari latihan keras seumur hidup, dedikasi yang tak terhitung, dan hasrat yang melampaui batas fisik.

Kesedihan dari drama lama memudar

Orang-orang mengenalnya bukan hanya sebagai penampil berbakat, tetapi juga sebagai guru tanpa podium bagi banyak generasi aktor, aktor film, dan seniman drama. Beberapa muridnya telah menjadi bintang, beberapa kini memegang posisi kunci di kelompok seni besar. "Saya berkesempatan berlatih dengan sebagian besar seniman muda di teater hari ini, dan mewariskan sedikit dari apa yang telah saya kumpulkan," ujarnya bangga, matanya berbinar-binar dengan kegembiraan yang langka.

Dengan mata berbinar, ia bercerita tentang seorang mahasiswi istimewa, seniman Australia Eleanor Claphan. Ia mengatakan bahwa Claphan tidak hanya membiayai kuliahnya, tetapi juga secara proaktif memilih Vietnam sebagai tujuan magangnya, dalam kerangka program studi luar negerinya. Semua biaya, mulai dari kuliah hingga biaya hidup, ditanggungnya sendiri, dan yang terpenting, Eleanor pergi ke rumah Pak Ke dengan keinginan sederhana namun teguh untuk belajar akting dari seniman berpengalaman ini. "Semuanya membutuhkan ketekunan," katanya, tatapannya kosong seolah teringat akan pelajaran penuh semangat dari muridnya yang jauh di sana bertahun-tahun lalu.

Di samping foto-foto yang sudah usang, seniman Nguyen Kim Ke memperkenalkan keluarganya, tempat yang telah menyalakan hasratnya untuk melestarikan seni.

Namun, sorot matanya langsung berubah sendu ketika ia menyinggung masa kini, seraya berkata: "Sekarang, tak ada lagi yang mengikuti Tuong. Kalau diminta tampil, mereka akan bertanya apakah mereka punya uang? Untuk siapa mereka tampil?". Pertanyaan-pertanyaan ini bagai pisau yang menusuk jantung seniman tua itu. Pertunjukan Tuong yang menuntut tarian rumit, daya ekspresif, dan gaya unik kini dianggap sebagai "hidangan tradisional yang sulit ditelan" dalam pesta budaya modern.

Bahkan di keluarganya sendiri, seni Tuong terancam terlupakan. Keluarganya memiliki dua putra, salah satunya pernah menekuni karier menyanyi tetapi tidak tahan dengan keterbatasan seni tradisional, sementara yang lain asyik mencari nafkah, sibuk dengan hiruk pikuk mencari nafkah. Tak satu pun dari mereka memilih untuk mengikuti jejaknya. "Putra sulung berbakat, dia punya sisi artistik," katanya perlahan, lalu mendesah: "Tapi dia bilang tidak akan bergabung dengan grup, sangat sulit mencari nafkah dari Tuong saat ini."

Kenangan, lakon, dan topeng yang dikenakan selama bertahun-tahun bagaikan saksi bisu cinta yang mendalam dan dedikasinya yang diam-diam. Di dunia yang berubah dengan cepat, seniman tua itu masih diam-diam menabur benih-benih seni tradisional, berharap suatu hari nanti Tuong akan menemukan tempatnya yang semestinya lagi dan diterima serta dilanjutkan oleh jiwa-jiwa muda. Dengan demikian, api teater tradisional takkan pernah padam.

Artikel dan foto: BAO NGOC

    Sumber: https://www.qdnd.vn/phong-su-dieu-tra/phong-su/chuyen-ve-nguoi-giu-lua-san-khau-tuong-truyen-thong-832906