Pertanyaannya adalah: Akankah Pep Guardiola tahu kapan harus pergi, atau akankah ia membuat kesalahan yang sama seperti banyak legenda sebelumnya?
Gema Masa Lalu
Sir Alex Ferguson meninggalkan sepak bola di puncak kariernya di tempat yang paling indah. Trofi Liga Primer di tangan, anak-anak bermain di halaman Old Trafford, dan kedamaian batin Manchester United setelah badai yang menimpa Wayne Rooney. Di seberang kota, Roberto Mancini, pemimpin Manchester City saat itu, dipecat. Ferguson pergi dengan penuh kemenangan, seolah ia telah menulis akhir yang sempurna untuk dirinya sendiri.
Di sisi lain, Arsene Wenger bertahan terlalu lama. Ia mengabaikan semua tanda peringatan, berusaha mempertahankan nilai-nilai Arsenal yang sedang terpuruk. Johan Cruyff, inspirasi terbesar Guardiola, bahkan tidak punya waktu untuk memilih pergi. Ia dipecat oleh presiden Josep Lluis Nunez di pertengahan musim 1995/96 setelah perdebatan sengit. Sedangkan Jürgen Klopp, ia pergi setelah membawa Liverpool kembali ke puncak. Pelatih asal Jerman itu masih ingin memimpin, tetapi kesuksesannya di masa lalu membuat meninggalkan dunia sepak bola semakin sulit.
Guardiola kini berada di persimpangan jalan. Ia telah menangani pertandingan ke-1.000-nya, lebih dari separuhnya bersama Manchester City. Di usia 54 tahun, ia masih cukup muda untuk mengucapkan selamat tinggal, tetapi ia telah melewati cukup banyak puncak kariernya untuk menyadari bahwa tak ada seorang pun yang menang selamanya.
Man City masih memainkan sepak bola yang diinginkannya. Namun, di balik itu, muncul pertanyaan: akankah Guardiola tahu kapan harus berhenti?
Pep adalah warisan Man City. |
Bagi orang-orang seperti Pep, berhenti bukan sekadar keputusan karier. Ini adalah pertarungan batin. Untuk berhenti, Guardiola harus membongkar mesin yang digerakkan oleh energi, ambisi, haus kemenangan, dan ego yang besar. Kualitas-kualitas itulah yang membantunya mendominasi sepak bola Eropa selama dua dekade, tetapi juga membuatnya hampir mustahil untuk melepaskannya.
Bob Paisley berhasil. Ia mengumumkan pengunduran dirinya setahun lebih awal, tetapi tetap memenangkan liga dan Piala Liga pada musim 1982/83. Liverpool juga memenangkan Piala Eropa pada musim berikutnya. Ada yang mengatakan Paisley pergi terlalu dini, tetapi setidaknya ia memilih ketika kejayaan masih dalam jangkauan.
Bagaimana masa depan Man City jika Pep pergi?
Apa yang bisa dipelajari Guardiola dari hal itu? Ia telah berada di City selama hampir satu dekade, lebih lama daripada periode lain dalam kariernya. Segalanya berputar di sekelilingnya. Dari struktur klub, sistem rekrutmen, filosofi pelatihan, hingga setiap detail kecil dalam pelatihan. City dibangun untuk melayani Guardiola. Tidak ada tempat lain di dunia yang dapat menawarkan kekuatan absolut seperti itu.
Tidak di Barcelona, tidak juga di Bayern Munich. Di sana, ia hanyalah pewaris warisan yang lebih besar dari dirinya sendiri. Di Man City, ia adalah warisannya.
Namun, karena itu, masalah suksesi menjadi lebih rumit dari sebelumnya. Klub harus mempersiapkan diri untuk masa depan, tetapi juga memahami bahwa pelatih hebat berhak memilih jalannya sendiri untuk pergi. Setiap kali Guardiola memberi isyarat, para petinggi klub harus membahas penggantinya, dan ini selalu menjadi topik yang sensitif.
Mikel Arteta pernah dianggap sebagai pewaris alami Pep. |
Mikel Arteta pernah dianggap sebagai penerus alami. Namun, kini setelah Arteta menjadi ikon di Arsenal, hal itu tampaknya mustahil. Sulit membayangkannya meninggalkan Emirates dan pindah ke Etihad, terutama jika Arsenal memenangkan gelar musim ini.
Dan yang terpenting, gugatan Liga Primer terhadap Man City, dengan 130 dakwaan terhadapnya, semakin besar. Guardiola telah menyatakan akan bertahan hingga putusan akhir tercapai. Namun seiring berjalannya waktu, ia pasti bertanya pada diri sendiri: bisakah ia menunggu? Haruskah ia melindungi warisannya dari dunia luar, sebelum kontroversi mencoreng citra yang telah ia bangun dengan susah payah?
Guardiola bisa saja akhirnya melatih tim nasional, seperti yang telah diisyaratkannya. Namun, sulit membayangkan seorang perfeksionis seperti dirinya menunggu pemain kembali dari klub mereka, atau terkekang oleh batas kekuasaannya. Ia juga bisa mengikuti jejak Ferguson: mundur sepenuhnya, diam, dan membiarkan warisannya berbicara sendiri.
Cruyff dipecat pada usia 50 tahun, tetapi apa yang ia tinggalkan untuk sepak bola Barcelona dan dunia tetap abadi. Setelah meninggalkan Nou Camp, ia tetap menjadi "guru ide", dan masih dimintai nasihat oleh para presiden Barca dari generasi ke generasi. Guardiola dapat mengikuti jejak itu, sebagai orang luar, tetapi pengaruhnya masih menyebar.
Kisah Guardiola juga menjadi pengingat betapa mahalnya biaya kepelatihan modern. Tekanan, jadwal pertandingan, media sosial, media, hak cipta, kewajiban komersial, semuanya membuat pelatih lebih cepat lelah. Tak seorang pun bisa melakukannya selamanya, bahkan seorang jenius sekalipun.
Jadi, ketika Guardiola mencapai 1.000 pertandingan, pertanyaannya bukan lagi "akankah dia menang lagi?" melainkan "bagaimana dia akan keluar?" Karier yang hebat tidak diukur dari jumlah gelar yang diraih, melainkan dari bagaimana seseorang meninggalkan panggung. Ferguson pergi dengan kemenangan. Wenger pergi dengan rasa tak percaya. Cruyff terpaksa keluar karena konflik.
Jalan mana yang akan dipilih Guardiola?
Mungkin dia belum siap. Man City masih kuat, masih lapar. Tapi entah dia pergi cepat atau lambat, satu hal yang pasti: ketika Pep meninggalkan Etihad, dia bukan hanya akan meninggalkan sebuah klub, tetapi menutup perjalanan 1.000 pertandingan, sebuah babak besar dalam sepak bola kontemporer.
Dan jika ia tidak memilih waktu yang tepat, ia bisa kehilangan apa yang paling ditakuti oleh setiap pelatih hebat, yakni pergi saat dunia sudah mulai terbiasa tidak membutuhkannya lagi.
Sumber: https://znews.vn/da-den-luc-pep-guardiola-nghi-den-hoi-ket-post1601371.html






Komentar (0)