Hujan atau air mata ibu sangatlah luas
Katak di bawah tempat tidur terus menangis ke surga.
Menggertakkan gigi atau menggeretakkan usus lebih menyakitkan.
Ladang desa terendam banjir
Lagu pengantar tidur ibu yang basah karena angin
Kura-kura membawa batu di kuil
Punggung induk basah, punggung kura-kura kering.
Dia duduk diam berdoa Nam Mo
Saya berharap airnya surut sehingga kandang ayam bisa kering.
Lagu pengantar tidur seperti tangisan di ladang yang jauh
Ibu menidurkan badai atau menidurkan anak
Cahaya di angin berkedip-kedip
Bayangan ibu kabur, tipis karena khawatir.
Dia tidak bisa menghentikan batuknya.
Tetap serahkan baju yang robek ke saringan
Dia menjahit dua baris air mata
Gantinya kamu, tolong tambal jiwa desa dan besarkan aku.
Badai selama beberapa dekade
Orang-orang mengikuti asap dupa ke tempat yang tenang
Lagu rakyat lama yang kupegang
Lagu pengantar tidur Ibu kembali bersemi di tanganku
Lagu pengantar tidur untuk tanaman padi yang hijau
Saya berdiri di sini, di bawah sinar matahari keemasan sore ini, tenggelam dalam pikiran...
Dia melemparkan dirinya ke ladang desa.
Siapa yang akan menjahit bajuku sekarang?
Le Dinh Tien
![]() |
| Ilustrasi: HH |
Komentar:
Belum pernah sebelumnya negara kita harus menanggung begitu banyak badai beruntun yang baru-baru ini menghantam daratan berbentuk S, yang oleh seorang penyair diibaratkan sebagai "tanggul di semenanjung". Sebuah negara agraris murni dengan peradaban padi yang telah lama berdiri, menghadapi banjir dan badai yang menyebabkan begitu banyak kerusakan, membanjiri ladang, rumah, desa, dan meninggalkan begitu banyak kenangan akibat banjir dan badai.
Penyair Le Dinh Tien, putra sederhana dari desa miskin, adalah penyair handal yang menulis enam hingga delapan syair. Baru-baru ini, penulis tersebut memenangkan hadiah utama dalam kontes puisi "Puisi dan Asal Usul". Puisinya berawal dari sumber-sumber rakyat pedesaan, menghantui pikiran dengan penemuan-penemuan detail yang begitu halus dan hidup, menciptakan jiwa dan semangat desa melalui kehadiran kerabat. Dalam puisi "Ru bao", terdapat gambaran ibu, nenek, dan kakek - para petani yang telah menambatkan pedesaan dengan seluruh hidup dan jiwa mereka melewati berbagai badai dan banjir di bumi dan langit.
Ketika membaca puisi tentang badai, saya selalu membayangkan angin dan hujan yang berhembus, serta kebencian manusia terhadap alam yang keras. Namun tidak, di sini penyair "menenangkan badai", menidurkannya dengan tenang, menidurkan segala kesulitan dan kelelahan, meregangkan diri, dan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk melawan badai. Ini juga merupakan cara untuk memposisikan diri dengan tenang dan percaya diri guna mengatasi kekejaman dan kehancuran badai. Ini juga merupakan cara berperilaku yang lembut namun memiliki daya sebar, arah kebaikan, tekad yang tak tergoyahkan.
Puisi-puisi Le Dinh Tien sering menggunakan peribahasa rakyat untuk menyampaikan pesan-pesan baru: "Di bawah tempat tidur, kodok terus menangis ke langit/Menggertakkan gigi atau menggerus ususnya dengan lebih menyakitkan" berawal dari idiom: "Kodok adalah paman langit". Atau: "Kura-kura membawa batu di pagoda/Punggung ibu basah, punggung kura-kura masih kering" berawal dari legenda budaya rakyat. Inilah yang membuat puisi-puisinya terkait dengan kesadaran desa, dengan jiwa desa. Budaya desa adalah kekuatan tak terbatas, membantu kita menyadari nilai kemanusiaan dari keindahan jiwa, kesederhanaan, namun juga sangat abadi dan mendalam.
“Lullaby of the Storm” diawali dengan gambaran hujan dan ibu: “Hujan atau air mata ibu?” dan: “Ladang-ladang desa tergenang/Lagu nina bobo ibu basah tertiup angin.” “Lagu nina bobo badai” ibu juga merupakan harapan agar bencana alam cepat berlalu, sebuah bujukan: “Tidurlah, badai di ujung ladang.” Bait ini memancarkan welas asih dan toleransi, penghiburan yang tulus dan keberanian menerima segala tantangan dengan kelembutan namun teguh. Bait ini juga merupakan cara menyampaikan pesan: “Lagu nina bobo bagaikan tangisan di ladang yang jauh/Ibu menidurkan badai atau menidurkan anaknya.” Gambaran ibu dalam cahaya redup bagaikan percikan dengan banyak kilatan cahaya, dengan banyak bagian: “Cahaya dalam angin berkelap-kelip/Bayangan ibu kabur dan usang karena khawatir.” Bagi kakek dan nenek, kekhawatirannya sangat spesifik, sesuai dengan psikologi orang tua: “Nenek duduk diam berdoa Namo/Semoga air segera surut dan mengeringkan kandang ayam”; dan bagi kakek: “Ia tak kuasa menahan batuk/Dan membiarkan bajunya yang robek tersaring.”
Saya sangat menyukai detail-detail kecil namun "bercahaya" dalam puisi-puisi Le Dinh Tien. Ini adalah pengamatan dan penemuan yang halus dan mendalam, sebuah pengakuan jiwa yang menembus jiwa, bisikan hati, yang dijiwai oleh kehidupan banyak orang. Sangat menarik bahwa ada karakter yang tampak tak bernyawa namun menghantui pembaca, yaitu gambaran saringan yang telah menyaring banyak butir beras, hujan lebat, dan angin badai. Saringan adalah alat pertanian kecil yang erat kaitannya dengan petani. Saya juga menulis syair: "Ibu menuai ladang atau ladang menyaring ibu".
Puisi “Lullaby of the Storm” menceritakan kisah mengharukan tentang seorang kakek yang menjemur bajunya yang robek: “Dia menjahit dua baris air mata/Untuknya, memperbaiki jiwa desa yang membesarkanku” sebuah syair yang sungguh indah, menyentuh, mengharukan, menghantui, dan berbakat.
Ibu "Nyanyian pengantar tidur badai" untuk mengatasi: "Nyanyian pengantar tidur Ibu bersemi kembali di tangannya/Nyanyian pengantar tidur untuk tanaman padi yang hijau". Tunas kehidupan bersemi dari badai, sebuah tekad yang teguh. Itu juga hasrat untuk hidup, sebuah penutup tentang cinta hidup, cinta sesama, cinta ladang—cinta yang sangat spesifik yang telah menjelma, menyertai, dan meyakinkan. Nada puisi di akhir jatuh pada akhir yang manusiawi ketika: "Ia menceburkan diri ke ladang desa/Sekarang siapa yang akan menjahit pakaian untuk saringan, saringan?". Itu juga merupakan kebangkitan, perenungan diri untuk membantu kita hidup lebih baik, lebih jujur, untuk mengatasi badai kita sendiri.
Nguyen Ngoc Phu
Sumber: https://baoquangtri.vn/van-hoa/202510/den-voi-bai-tho-hay-ru-bao-f86374c/







Komentar (0)