Artikel ini ditulis oleh Do Giang Long di platform Toutiao (China).
Saat masih muda, saya merasa lebih unggul dari tetangga saya dalam segala hal.
Tetangga saya, Pak Truong, dan saya seumur; kami sudah saling kenal sejak pindah ke lingkungan yang sama. Entah mengapa, saya selalu suka membandingkan diri saya dengan beliau, meskipun kami tetap berteman baik. Sejujurnya, dalam hal pendidikan dan karier, Pak Truong sedikit tertinggal dari saya; putra saya bersekolah di SMA bergengsi, sedangkan putra tetangga saya bersekolah di sekolah kejuruan.

Saat berbicara dengan Pak Truong, saya bercerita tentang betapa bagusnya guru dan lingkungan di sekolah menengah bergengsi itu, dan bagaimana prestasi akademik putra saya telah meningkat. Setelah lulus, putra saya diterima di universitas ternama seperti yang diinginkannya, sementara putra Pak Truong sedang mempersiapkan magang di sebuah pabrik. Sejak saat itu, saya berhenti membandingkan kedua anak itu karena saya merasa mereka berada di dua jalan yang sama sekali berbeda. Meskipun demikian, Pak Truong tetap puas dengan hidupnya dan selalu mendorong putranya untuk terus berusaha.
Anak saya meraih gelar Master dan kemudian pergi ke luar negeri untuk bekerja. Para tetangga dengan senang hati mengucapkan selamat kepadanya, membuat saya sangat bangga. Dia berjanji bahwa ketika dia menghasilkan banyak uang, dia akan mengajak saya berlibur ke luar negeri dan kami bisa menikmati masa pensiun tanpa khawatir. Janji ini membuat saya merasa seperti "pemenang" dibandingkan dengan teman-teman sebaya saya. Tetapi semuanya berubah setelah saya berusia 60 tahun.
Di usia tua, seseorang belajar bahwa kebahagiaan bukanlah tentang "menang atau kalah."
Kegembiraan menjadi seorang "pemenang" mulai memudar ketika saya menyadari bahwa setelah pensiun, saya tidak sebahagia Bapak Truong. Seiring bertambahnya usia, keinginan untuk menang atau berkompetisi tidak lagi sekuat sebelumnya; sebaliknya, setiap orang mendambakan perhatian dan kasih sayang dari anak dan cucu mereka.
Putra Pak Truong menjadi supervisor di pabrik; gajinya tidak terlalu tinggi, tetapi ia mengunjungi ayahnya setiap minggu. Ia selalu membeli hadiah untuk orang tuanya, dan kemudian seluruh keluarga akan makan bersama dengan sangat bahagia. Sementara itu, putra saya, yang tinggal di luar negeri, hanya mengunjungi rumah sekali atau dua kali setahun, meninggalkan saya dan istri saya sendirian di rumah kami yang sepi. Pak Truong mulai memiliki cucu, dan suasana di keluarga dipenuhi dengan kebahagiaan. Saya mencoba menyarankan agar ia pulang untuk memulai karier, tetapi putra saya bersikeras ingin mengembangkan kariernya di luar negeri dan belum siap untuk menikah.

Tiga tahun lalu, istri saya sakit parah dan meninggal dunia. Anak saya, khawatir saya akan sendirian dan kesepian, segera memutuskan untuk menempatkan saya di panti jompo. Saya dengan berat hati setuju karena saya tidak yakin bisa mengurus diri sendiri, tetapi lingkungan panti jompo justru membuat saya semakin lelah. Setelah dua tahun, saya kembali ke rumah lama saya untuk mengunjungi teman-teman guna meredakan kesedihan saya.
Begitu saya memasuki lingkungan itu, saya melihat Pak Zhang berjalan bersama cucunya yang berusia 5 tahun. Tetangga saya menyapa saya dengan riang, mengatakan bahwa jika saya tidak bertemu dengannya hari ini, saya tidak tahu kapan saya akan bertemu dengannya lagi. Saya mengungkapkan keterkejutan saya, dan Pak Zhang menjelaskan bahwa dia akan pindah ke kota bersama putranya, sehingga keluarga dapat bersatu kembali dan cucunya akan memiliki seseorang untuk mengasuhnya.

Saya dan teman lama saya bermain catur beberapa kali sebelum berpamitan. Saya dengan tulus mengucapkan selamat kepada Bapak Truong, meskipun keadaan saya saat ini tidak lagi sebanding dengan keadaannya. Sendirian di rumah lama saya, saya menyadari bahwa hidup itu tidak dapat diprediksi; kita tidak dapat mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan. Oleh karena itu, orang tidak seharusnya menjadi sombong hanya karena merasa lebih unggul dari orang lain untuk sesaat. Kebahagiaan sejati bukanlah tentang membandingkan hal-hal seperti pendidikan atau harta benda, tetapi tentang belajar untuk merasa puas dengan apa yang kita miliki.
Sumber






Komentar (0)