Vietnam.vn - Nền tảng quảng bá Việt Nam

Berpegang Teguh pada Tanah yang Belum Tenggelam - Cerita Pendek oleh Mai Thi Nhu Y

Angin dari Sungai Ganh Hao bertiup melewati pepohonan kelapa yang rimbun, berdesir seperti gesekan lembut baju seseorang. Nhu Y sudah terbiasa mendengar suara angin itu sehingga setiap kali ia membalikkan badan dalam tidurnya, ia merasa seolah-olah seseorang berbisik agar ia kembali.

Báo Thanh niênBáo Thanh niên22/09/2025

Air hari ini lebih keruh dari biasanya, membawa serpihan akar, potongan kulit kayu yang hanyut, dan gumpalan kecemasan tak bernama yang bergulung-gulung di kaki desa. Tepi tanah di depan beranda telah runtuh menjadi parit, lapisan tanah keemasan tersingkap seperti perut ikan mati.

Ia berdiri di tangga, lengannya memegang ketel aluminium yang masih hangat karena uap, matanya menjelajahi pepohonan bakau yang melengkung seperti bulu mata yang membentuk bayangan di sungai. Cuaca tidak cerah maupun hujan, tetapi ada lapisan kabut tipis yang menggantung, membuat hatinya sekabur pemandangan.

"Ini longsor lagi." Katanya, suaranya lambat seperti buah bakau yang pecah di air.

Ia membungkuk dan memandangi kaki telanjangnya yang terbenam dalam pasir berlumpur yang dingin. Lumpur meresap ke setiap celah, membuat luka lamanya memerah, seolah-olah tanah di bawah kakinya berdarah. Namun, rasa sakit di bawah kulitnya tak sebanding dengan rasa tercekik di hatinya saat matanya berhenti diam-diam di sisi lain.

Itu rumah Nyonya Sau, yang dulunya hanya diterangi lampu minyak tanah yang berkedip-kedip setiap malam. Kini, yang tersisa hanyalah beberapa pilar kayu yang terbakar matahari, bergoyang diterpa badai. Jas hujan yang sudah pudar masih tergantung longgar di teralis labu yang roboh, bergoyang-goyang tertiup angin bagai tangan yang melambai tanpa henti, tanpa disadari. Memandang pemandangan itu dalam waktu yang lama, membuat seseorang merasa seolah-olah kenangan itu sendiri terkikis oleh setiap helai tanah yang berlalu.

Như Ý terdiam cukup lama, matanya masih menatap tanah longsor di tempat rumah Nyonya Sau dulu berada. Ada sesuatu dalam dirinya yang terasa seperti terkoyak. Kampung halamannya, tempat hutan bakau dulu menghijau dan suara jala ikan bergema setiap pagi, kini teronggok berantakan bagai tubuh yang hancur, setiap bagiannya hanyut.

"Saya akan belajar untuk menjaga setiap jengkal tanah air saya yang tersisa."

***

Setelah beberapa tahun kuliah, Nhu Y kembali. Jalan tanah merah tua kini telah diaspal semen, tetapi barisan pohon bakau di kedua sisinya tampak jarang dan membingungkan. Di bawah terik matahari siang, gumpalan tanah bergeser dari tepian ke dalam kanal, memperlihatkan akar-akar pohon yang telanjang menggeliat dan menempel. Ketinggian air semakin tinggi setiap hari, sementara tepian sungai semakin dalam dan dalam menusuk hati penduduk setiap tahun.

Semasa kecil, ia mengira tanah longsor adalah kejadian alami, akibat tak terelakkan dari angin kencang dan tingginya permukaan air. Ia percaya demikian karena sejak kecil ia terbiasa menyaksikan tanah longsor setiap hari, dan terbiasa mendengar orang dewasa mengeluh: "Ya Tuhan, apa yang bisa kita lakukan...". Keyakinan itu membantunya merasa lebih tenang karena jika itu kesalahan alam, tak seorang pun akan bertanggung jawab, tak seorang pun akan merasa bersalah.

Namun, semakin tua usianya, hatinya semakin bimbang. Di balik longsor itu, tersimpan konsekuensi dari ulah manusia. Suara mesin penyedot pasir berdengung di kegelapan malam, seperti seseorang sedang mengeruk sumsum sungai tanpa pisau bedah. Sebuah proyek kawasan industri yang baru saja dimulai beberapa bulan lalu dengan tenang meletakkan fondasinya sendiri. Resor-resor yang dibangun berdekatan di atas tanah aluvial yang dulunya merupakan tempat migrasi burung kini berkilau terang di malam hari, bagai lipstik di wajah tanah air yang usang.

Ia terdiam ketika melihat peta aliran dan data hidrologi yang telah dipelajarinya di kelas. Titik-titik yang dilingkari merah itu cocok dengan longsor di kota asalnya. Kapal-kapal besar berlalu-lalang, meninggalkan ombak besar yang menerjang bak pisau ke pohon bakau dan gaharu. Pohon-pohon bakau ditebang, tak lagi memiliki akar untuk menopang tanah. Dan lapisan aluvial yang dulunya merupakan darah daging delta kini dipenuhi hal-hal aneh.

Malam itu, di ruangan sempit itu, di bawah cahaya kuning pucat dan desiran angin yang menembus jendela seolah-olah seseorang sedang menangis di luar, ia mulai menulis baris-baris pertama proyek regenerasi bakau. Setiap kata jatuh ke halaman bagaikan daun yang gugur dari pohon yang lapuk. Setiap angka, setiap rencana, setiap gambar yang muncul bukanlah sebuah ide, melainkan doa hening yang dipanjatkan ke bumi.

"Sungai tidak marah pada siapa pun. Bagaimana kita hidup, sungai membalasnya."

Berpegang pada tanah yang belum tenggelam - Cerita pendek oleh Mai Thi Nhu Y - Foto 1.

ILUSTRASI: AI

Như Ý memulai perjalanannya dengan diam-diam namun gigih, bak akar bakau yang menggali dalam-dalam ke dalam lumpur. Ia tak lagi hanya berdiri di tepi pantai menyaksikan air merendam, melainkan mulai menyusuri setiap cabang, setiap kanal yang bersilangan bagai pembuluh darah yang membentang di tubuh Barat untuk menemukan cara melestarikan kulit aluvial tanah air.

Ia pergi ke Tra Vinh , mengarungi sisa-sisa hutan bakau yang jarang, dan mempelajari bagaimana orang Khmer menanam hutan lindung menggunakan model "tiga lapis": lapisan terluar bakau, lapisan tengah bakau, dan lapisan terdalam bakau. Sebuah model yang terdengar sederhana, tetapi merupakan pelindung alami yang paling tahan lama bagi bank tanah. Ia membawa model tersebut kembali ke Ca Mau, menyempurnakannya sesuai kondisi medan, dan mengajak masyarakat untuk melakukan tumpang sari, baik untuk melestarikan lahan maupun untuk beternak ikan dan kepiting secara ekologis. Hutan berangsur-angsur menghijau, dan bank tanah tidak lagi longsor.

Ia pergi jauh-jauh ke An Giang untuk mempelajari teknik tanggul lunak menggunakan material lokal, tiang bambu, karung tanah, dan jaring kelapa, alih-alih menuangkan beton. Awalnya, orang-orang skeptis, tetapi mereka terkejut ketika, tiga bulan kemudian, tanahnya tidak hanya tidak longsor, tetapi juga terdapat halaman kecil, tempat anak-anak bisa bermain lumpur dan menerbangkan layang-layang. Ia menyelenggarakan sesi berbagi kecil di pasar, rumah-rumah komunal, dan sekolah dasar. Ia tidak mengajarkan teori tingkat tinggi, tetapi hanya bercerita tentang sungai, pohon, dan akar, bahasa yang dipahami semua orang di Barat. Ia mencetak peta longsor di kertas besar, menempelkannya di dinding rumah-rumah komunal, dan menandai setiap area berbahaya.

Secara bertahap, para lansia yang buta huruf juga belajar menggunakan ponsel dan mengirim foto. Anak-anak sekolah dasar juga belajar mengumpulkan botol plastik untuk membuat eco-brick. Para lelaki yang dulu mengeruk pasir dengan perahu kini beralih menanam tanaman air payau, berkat model mata pencaharian baru yang ia usulkan: "Memelihara tepian sungai - melestarikan lahan - hidup berkelanjutan".

Nhu Y menulis laporan kepada provinsi, berisi bukti, hasil lapangan, dan suara dari tanah, sungai, serta masyarakat. Ia menganjurkan agar pendidikan lingkungan hidup di sekolah-sekolah diterapkan agar anak-anak dapat tumbuh dengan kesadaran untuk melindungi tanah air mereka, seperti pohon bakau muda yang tumbuh dengan mengetahui cara berpegangan pada tanah tanpa diajarkan oleh siapa pun.

Awalnya dikatakan:

- Anak-anak belajar karakter Barat untuk berbicara di awan.

- Menanam hutan untuk mencegah longsor? Bisakah beberapa pohon bakau muda, seperti batang bawang, menghentikan derasnya air?

- Gadis kecil itu, melihatnya berkubang di lumpur seharian, dia terlihat seperti orang gila...

Suara gumaman itu seperti angin yang bertiup di rerumputan, pelan namun terus bersiul di telinga. Beberapa orang menggelengkan kepala dan pergi ketika ia mengetuk pintu meminta kerja sama. Beberapa orang menyela pertemuan dengan suara datar:

- Bisakah kamu melakukan sesuatu yang berbeda dari kelompok lain yang membagikan selebaran? Lakukan saja untuk bersenang-senang, lalu pergi!

Ia mendengar semuanya. Ada tawa. Ada keheningan. Namun hatinya perih bagai air asin yang menggerogoti akar bakau.

Hingga suatu hari, hujan deras turun selama tiga hari tiga malam. Air dari hulu mengalir deras, membawa pohon-pohon lapuk, sampah yang mengapung, dan rakit-rakit eceng gondok yang pecah. Kanal di belakang desa tergenang hingga ke tepi ladang. Tanggul yang runtuh sehari sebelumnya kini terus retak seperti mulut ikan yang menganga.

Terdengar teriakan dari rumah Tuan Muoi, rumah di tepi sungai, pondasinya amblas semeter:

Tolong! Tolong, rumahnya runtuh, Bu Muoi terjebak di kamar!

Sementara orang-orang masih panik mencari tali dan perahu, Nhu Y sudah terjun ke air berlumpur. Lumpur setinggi dada. Sepotong kayu apung tersangkut di kakinya. Arus bawah airnya kuat. Namun ia tetap berenang. Masih mengarungi air. Masih berpegangan pada dahan-dahan bakau untuk melewati bagian yang runtuh. Ia mendobrak pintu, memanjat dinding belakang, mencungkil papan yang patah, dan menarik Nyonya Muoi keluar dari rumah yang berguncang bagai pisang diterjang badai.

Seluruh tubuhnya robek, darah bercampur lumpur. Tangannya bengkak karena menggaruk sepotong seng.

Setelah hari itu, orang-orang mulai memanggil namanya dengan suara menggoda:

- Nona Y, biar saya bantu menanam pohon.

- Izinkan saya ikut dengan Anda saat kita melakukan survei hari ini.

Anak-anak melihatnya dan tersenyum, lalu berlari menghampirinya untuk pamer: "Aku menanam tiga pohon bakau lagi!" Para lelaki yang sedang duduk minum teh pagi berdiskusi tentang anti-erosi seolah-olah itu urusan keluarga mereka sendiri.

Seminggu kemudian, Như Ý tak lagi sendirian. Sekitar dua belas penduduk desa mengarungi lumpur bersamanya, menanam kembali setiap pohon bakau muda. Setiap pohon ditancapkan sebatang bambu kecil, ditulis dengan tinta ungu anak sekolah: "Hoa Kelas Tiga", "Pak Bay Jual Banh Bo", "Nyonya Tiket Lotere"... Nama-nama itu sederhana namun hangat bagaikan tunggul, bagaikan jerami yang dihangatkan api unggun.

Kemudian ia menunjukkan cara membuat eco-brick, mengisi botol dengan sampah plastik, memadatkannya, menumpuknya untuk membentuk dinding, dan membuat tanggul. Kasar namun kokoh. Sekelompok anak muda lainnya mengikutinya untuk belajar melaporkan tanah longsor dengan mengirimkan foto melalui aplikasi ponsel sederhana, menggambar antarmuka mereka sendiri dengan goresan kasar, tetapi setiap titik merah pada peta merupakan peringatan yang tidak boleh diabaikan.

Di bulan Agustus, badai datang tanpa suara bagai ular yang merayap di sela-sela alang-alang. Angin laut menerjang, bersiul bagai panggilan dari kejauhan di hutan. Hujan mengguyur sungai, memecah menjadi lapisan-lapisan buih. Ia dan teman-teman mudanya begadang semalaman, membawa karung pasir, mengencangkan tali bambu, menopang tanggul, mengikat setiap panel pagar, dan mengikat setiap akar bakau.

Di tengah angin hutan yang kencang, ia berkata, seolah berbicara pada dirinya sendiri: "Sungai adalah ibuku. Jika bukan aku yang menjaga ibuku, siapa lagi yang akan menjagaku?"

Keesokan paginya, langit cerah dengan seberkas sinar matahari tipis. Tak ada yang tersapu. Rumah-rumah masih utuh. Hutan bakau masih tegak berdiri. Hanya satu pohon yang tumbang, tetapi tunas-tunas hijau telah tumbuh dari akarnya.

Sebulan kemudian, Nhu Y kembali ke tepi sungai tua, berdiri di tengah hutan setinggi dada. Lumpurnya halus dan harum dengan aroma lumut yang baru saja surut, menampakkan setiap jejak kaki manusia dan setiap tunas yang baru tumbuh. Tidak sombong, tidak cemerlang, tetapi melekat pada tanah, melekat pada air, seteguh hati orang-orang Ca Mau yang berakar pada musim hujan.

Daun-daun bakau bergoyang. Angin sungai berbisik bagai desahan lembut. Ia tersenyum. Bukan karena ia telah mencapai sesuatu yang hebat. Melainkan karena, di tengah air, masih banyak hal yang diam-diam berakar.

Kontes Menulis Hidup Sejahtera yang kelima diselenggarakan untuk mendorong orang-orang menulis tentang tindakan-tindakan mulia yang telah membantu individu atau komunitas. Tahun ini, kontes berfokus pada pemberian pujian kepada individu atau kelompok yang telah melakukan tindakan kebaikan, membawa harapan bagi mereka yang berada dalam situasi sulit.

Sorotan utama adalah kategori penghargaan lingkungan baru, yang memberikan penghargaan kepada karya-karya yang menginspirasi dan mendorong aksi untuk lingkungan hidup yang hijau dan bersih. Melalui penghargaan ini, Panitia Penyelenggara berharap dapat meningkatkan kesadaran publik dalam melindungi planet ini untuk generasi mendatang.

Kontes ini memiliki beragam kategori dan struktur hadiah, termasuk:

Kategori artikel: Jurnalisme, reportase, catatan atau cerita pendek, tidak lebih dari 1.600 kata untuk artikel dan 2.500 kata untuk cerita pendek.

Artikel, laporan, catatan:

- 1 hadiah pertama: 30.000.000 VND

- 2 hadiah kedua: 15.000.000 VND

- 3 hadiah ketiga: 10.000.000 VND

- 5 hadiah hiburan: 3.000.000 VND

Cerpen:

- 1 hadiah pertama: 30.000.000 VND

- 1 hadiah kedua: 20.000.000 VND

- 2 hadiah ketiga: 10.000.000 VND

- 4 hadiah hiburan: 5.000.000 VND

Kategori foto: Kirimkan rangkaian foto minimal 5 foto yang terkait dengan kegiatan sukarela atau perlindungan lingkungan, beserta nama rangkaian foto dan deskripsi singkat.

- 1 hadiah pertama: 10.000.000 VND

- 1 hadiah kedua: 5.000.000 VND

- 1 hadiah ketiga: 3.000.000 VND

- 5 hadiah hiburan: 2.000.000 VND

Hadiah Terpopuler: 5.000.000 VND

Hadiah untuk Esai Luar Biasa tentang Topik Lingkungan: 5.000.000 VND

Penghargaan Karakter Terhormat: 30.000.000 VND

Batas waktu pengiriman karya adalah 16 Oktober 2025. Karya akan dievaluasi melalui babak penyisihan dan final dengan partisipasi juri yang terdiri dari nama-nama ternama. Panitia penyelenggara akan mengumumkan daftar pemenang di halaman "Beautiful Life". Lihat ketentuan selengkapnya di thanhnien.vn .

Panitia Penyelenggara Kontes Hidup Indah

Berpegang pada tanah yang belum tenggelam - Cerita pendek oleh Mai Thi Nhu Y - Foto 2.

Source: https://thanhnien.vn/giu-lay-phan-dat-chua-kip-chim-truyen-ngan-du-thi-cua-mai-thi-nhu-y-185250914100611088.htm


Komentar (0)

No data
No data

Dalam topik yang sama

Dalam kategori yang sama

Temukan satu-satunya desa di Vietnam yang masuk dalam 50 desa terindah di dunia
Mengapa lentera bendera merah dengan bintang kuning populer tahun ini?
Vietnam menangkan kompetisi musik Intervision 2025
Kemacetan Mu Cang Chai hingga malam, wisatawan berbondong-bondong berburu nasi matang musim ini

Dari penulis yang sama

Warisan

Angka

Bisnis

No videos available

Berita

Sistem Politik

Lokal

Produk