Menyeberangi perbatasan ke Thailand, bermimpi mengubah hidupnya dan lolos dari kejahatan, tetapi di negeri asing, Nay Tri merasa kesepian dan menyadari bahwa tanah kelahirannya adalah cahaya dan harapan. Kepulangan Nay Tri disambut dengan penuh toleransi oleh penduduk desa.
Kecewa di negeri asing
Duduk di rumah panggung tradisional yang baru dibangun di Desa Ia Rnho, Tuan Nay Tri masih tak percaya bahwa kebahagiaannya saat ini nyata. Istrinya, Ny. Kpa H'Dun, duduk diam di belakangnya, bersandar di bahunya. Keduanya berlinang air mata. Mereka tak menyangka bahwa setelah masa-masa sulit, keluarga mereka dapat bersatu kembali dan hidup damai di tanah kelahiran mereka.
Bapak Nay Tri (ketiga dari kanan) didorong dan didukung oleh kepolisian dan pemerintah daerah untuk menstabilkan kehidupannya setelah kembali ke rumah. Foto: NT
Pak Nay Tri menceritakan perjalanannya melintasi perbatasan sebagai perjalanan yang kelam. Karena keterlibatannya dalam kasus deforestasi, ia selalu hidup dalam ketakutan akan tuntutan hukum. Atas desakan orang-orang jahat, ia meninggalkan istri, anak-anak, dan desanya dan bergegas menyeberangi perbatasan.
Namun, jauh dari kata-kata manis tentang "kerja mudah, gaji tinggi", ia terpaksa hidup bersembunyi di rumah kontrakan yang sempit, tanpa pekerjaan. Tak hanya itu, ia selalu dihantui rasa takut karena tak memiliki dokumen identitas di tempat asing, dan tak berbicara bahasa yang sama. Namun, ketika orang-orang jahat terus membujuknya untuk menjelek-jelekkan Partai dan Negara agar cepat mendapatkan pekerjaan, ia dengan tegas menolak.
Selama hari-hari kebingungan di negeri asing itu, ia menyadari betapa berharganya tanah air dan cintanya kepada manusia. "Setelah pergi, saya menyadari bahwa tak ada tempat yang lebih baik daripada rumah. Meskipun tanah air saya masih miskin, ada pemerintah yang melindungi saya, desa yang menaungi saya, dan kerabat yang menyambut saya kembali. Sisi lain, yang saya pikir adalah surga, tanah yang dijanjikan, ternyata adalah tempat yang paling menyedihkan, tidak seperti yang saya bayangkan," ujar Pak Tri lirih.
Polisi dan pemerintah daerah mendorong dan mendukung keluarga Bapak Nay Tri untuk menstabilkan kehidupan mereka. Foto: NT
Pada akhir Juli 2024, berkat upaya Kepolisian Distrik Krong Pa (lama) dan pemerintah Komune Dat Bang, Tuan Nay Tri kembali ke kampung halamannya. Pengadilan menjatuhkan hukuman penjara 1 tahun 6 bulan (ditangguhkan), masa percobaan 3 tahun, dan ia harus mengganti kerugian yang ditimbulkan.
Baginya, kalimat itu bukanlah akhir, melainkan awal—sebuah tonggak untuk memperbaiki kesalahan, untuk memulai kembali. Tak lagi harus melarikan diri, ia memilih untuk menghadapi segala kesulitan saat memulai kembali. Dan ia memilih untuk percaya pada buruh, pada toleransi Partai, pemerintah, dan desa.
Kebangkitan dalam kemanusiaan dan cahaya keadilan
Letnan Kolonel Ksor Tia, Kepala Kepolisian Sektor Dat Bang, mengatakan: Segera setelah Nay Tri kembali, Kepolisian Sektor dan pemerintah daerah segera mengunjunginya, menyediakan beras, menyemangatinya, dan membimbingnya dalam segala hal, mulai dari pekerjaan hingga mata pencaharian. Ia juga mengabdikan dirinya untuk bisnisnya, sehingga keluarganya, yang berasal dari keluarga yang hampir miskin, perlahan-lahan menjadi lebih sejahtera.
Momen reuni keluarga dan kebahagiaan. Foto NT
Dengan dukungan kepolisian, pemerintah komune Dat Bang telah turun tangan secara proaktif, membantu Bapak Tri mendapatkan lebih banyak dukungan untuk menstabilkan hidupnya. Bapak Ro Krik, Ketua Komite Rakyat Komune Dat Bang, mengatakan: "Pemerintah daerah dan sistem politik secara rutin mengunjungi rumahnya untuk memberikan dukungan dan sosialisasi, membantu Bapak Tri lebih memahami kebijakan, sekaligus mewaspadai godaan dan hasutan oknum-oknum jahat. Selain meningkatkan kesadaran, komune juga mempertimbangkan untuk mendukung keluarganya dengan memelihara 3 ekor sapi indukan. Berkat perawatan yang baik dari keluarga, 1 tahun kemudian, sapi tersebut melahirkan 2 anak sapi lagi."
Pasangan ini juga bekerja keras, perlahan-lahan meningkatkan penghasilan mereka. Mereka membangun rumah yang luas. "Komite Partai dan pemerintah mempercayai, berbagi, dan terus mendampingi keluarga Bapak Tri agar lebih termotivasi untuk berkembang dan berkontribusi kembali kepada masyarakat," tegas Ketua Komite Rakyat Kelurahan Dat Bang.
Keluarga Bapak Nay Tri ditopang dengan beternak sapi sebagai mata pencaharian. Foto: NT
Dalam budaya Jrai, setiap individu adalah bagian dari desa. Oleh karena itu, kepulangan seseorang yang melakukan kesalahan seperti Nay Tri tidak dijauhi, melainkan disambut dengan penuh toleransi oleh masyarakat. Ibu Rcam H'Cua (Desa Ia Rnho) berkata: "Ketika kami melihat Nay Tri kembali, semua orang gembira. Semua orang berharap ia akan ada di sana untuk minum arak beras, bertukar tenaga kerja, dan bekerja sama mencari nafkah untuk membesarkan anak-anak mereka. Kami berharap ia atau penduduk desa lainnya tidak sebodoh itu untuk menyeberangi perbatasan lagi."
Kisah Pak Tri bukan hanya sebuah pelajaran pencerahan, tetapi juga bukti nyata kebijakan kemurahan hati Partai dan Negara yang manusiawi. Ini adalah sebuah kepulangan—tidak hanya secara geografis, tetapi juga kembali ke keyakinan dan sentimen desa. "Saya dapat kembali hidup damai hari ini berkat kepedulian, dorongan, dan kesempatan dari pemerintah untuk memperbaiki kesalahan saya. Saya fokus berbisnis agar anak-anak saya dapat bersekolah dengan baik dan memiliki masa depan yang lebih cerah," ungkap Pak Tri.
Sumber: https://baogialai.com.vn/hoi-huong-trong-tinh-nguoi-va-hy-vong-post328693.html
Komentar (0)