"Survei tentang Status Pendidikan Bahasa Inggris" telah dilakukan setiap tahun oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Sains, dan Teknologi Jepang (MEXT) sejak tahun 2013 untuk menilai situasi terkini dan mengusulkan langkah-langkah untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris.

Survei tersebut menargetkan dewan pendidikan di setiap prefektur dan kota, serta semua sekolah dasar negeri (18.560 sekolah), sekolah menengah pertama (9.165 sekolah), dan sekolah menengah atas (3.256 sekolah), Japan Times melaporkan.

Pendidikan Jepang.png
Survei terkini yang dilakukan Kementerian Pendidikan Jepang menunjukkan bahwa kemampuan bahasa Inggris siswa SMP dan SMA negeri meningkat.

Hasil survei tahun 2023 menunjukkan bahwa 50% siswa SMP mencapai kecakapan bahasa Inggris setara dengan CEFR level A1 (disingkat A1) atau lebih tinggi, dan 50,6% siswa SMA mencapai level A2 atau lebih tinggi. Ini adalah pertama kalinya siswa Jepang di kedua level ini mencapai atau melampaui 50%. Angkanya tahun lalu masing-masing adalah 49,2% dan 48,7%.

Sementara itu, persentase siswa yang mencapai tingkat B1 atau lebih tinggi adalah 19,8%, turun 1,4% dibandingkan tahun lalu. Selain itu, masih terdapat banyak kesenjangan kemampuan bahasa Inggris antarprovinsi dan kota.

Tujuan pemerintah Jepang, sebagaimana tercantum dalam "Rencana Dasar Keempat untuk Promosi Pendidikan 2023-2027", adalah memastikan setidaknya 60% siswa SMP dan SMA mencapai tingkat A1 atau lebih tinggi pada akhir SMP dan tingkat A2 atau lebih tinggi pada akhir SMA.

Kemahiran bahasa Inggris guru bahasa Inggris Jepang juga meningkat. Persentase guru bahasa Inggris dengan tingkat kemahiran B2 adalah 44,8% di SMP dan 80,7% di SMA. Semua angka ini terus meningkat dan merupakan yang tertinggi sejak survei dimulai. Namun, persentase guru bahasa Inggris SMA dengan tingkat kemahiran C1 atau lebih tinggi adalah 21,8%, turun 0,7% dari tahun sebelumnya.

Masalah sistemik

Pendidikan bahasa Inggris di Jepang dimulai pada pertengahan abad ke-19, menurut Gymboree Global . Selama periode Meiji (1868-1912), hanya sekelompok kecil siswa elit yang belajar bahasa Inggris di sekolah menengah pertama dan atas.

Pada periode Taishō (1912-1926), pendidikan bahasa Inggris telah menyebar ke seluruh negeri. Namun, perkembangan ini terhenti selama Perang Dunia II akibat konflik dengan Inggris dan Amerika Serikat. Setelah Perang Dunia II, pendidikan bahasa Inggris dipulihkan, terutama di bawah pengaruh Amerika. Pada masa ini, fokusnya adalah pengembangan keterampilan membaca dan menulis, dengan tujuan menghasilkan tenaga kerja Jepang yang mampu memahami dan menulis dokumen untuk negara asing.

Pendidikan bahasa Inggris di Jepang menghadapi banyak masalah sistemik. Meskipun siswa mempelajari bahasa Inggris dari sekolah menengah pertama hingga universitas, banyak yang kesulitan menggunakannya untuk komunikasi, terutama karena fokusnya pada membaca, menulis, dan tata bahasa, ditambah dengan pendidikan yang berorientasi pada ujian.

Pendidikan bahasa asing di Jepang juga seringkali kurang melibatkan kegiatan mendengarkan dan berbicara yang diperlukan. Siswa mungkin membaca bahasa Inggris dengan lantang di kelas, tetapi hanya ada sedikit kesempatan untuk mendapatkan instruksi pengucapan yang benar dan pembelajaran yang dipersonalisasi, serta untuk menggunakan bahasa Inggris di luar kelas, sehingga mengakibatkan kurangnya latihan dalam konteks dunia nyata.

Banyak kelas bahasa Inggris diajarkan oleh guru Jepang dan menggunakan bahasa Jepang alih-alih bahasa Inggris, sehingga menghambat kemampuan siswa untuk mengembangkan keterampilan mendengarkan dan berbicara.

Strategi investasi dalam gaji guru

Investasi dalam gaji dan peningkatan kualifikasi guru bahasa Inggris diharapkan dapat meningkatkan penggunaan bahasa di Jepang secara signifikan.

Menurut Organisasi TEFL, guru bahasa Inggris di Jepang umumnya mendapatkan gaji 200.000-600.000 yen per bulan (sekitar 34,4-103,4 juta VND). Gaji ini bervariasi tergantung lokasi geografis, dan lebih tinggi di daerah perkotaan, terutama Tokyo, karena tingginya biaya hidup.

Pendidikan Jepang1.png
Menurut para ahli, mempromosikan reformasi pendidikan bahasa Inggris di Jepang memerlukan visi jangka panjang.

Program JET (Pertukaran dan Pengajaran Jepang) adalah inisiatif pemerintah untuk mendatangkan warga negara asing ke Jepang untuk bekerja sebagai asisten guru bahasa (ALT) di sekolah negeri atau sebagai koordinator hubungan internasional (CIR) di kantor-kantor pemerintah daerah. Guru dalam program JET ini memulai dengan gaji 280.000 yen/bulan (sekitar 48,2 juta VND) dan gaji tahunan berkisar antara 2,8-3,9 juta yen (sekitar 482 juta-672 juta VND).

Guru pendukung bahasa (ALT) mendapatkan gaji antara 200.000 hingga 250.000 yen per bulan (sekitar 34,4 juta hingga 43,1 juta VND), tergantung pengalaman. Ukuran kelas seringkali lebih besar, dengan lebih dari 30 siswa. Meskipun gajinya mungkin tidak terlalu tinggi, ini merupakan titik awal yang baik bagi guru baru.

Guru di Eikaiwas (sekolah bahasa Inggris swasta) dapat memperoleh penghasilan sekitar 250.000 Yen/bulan (sekitar 43,1 juta VND). Mereka biasanya bekerja 5-8 jam/hari dengan kelas-kelas kecil berisi 10 hingga 15 siswa.

Mengajar di universitas memberikan gaji yang lebih tinggi, berkisar antara 300.000-600.000 Yen/bulan (sekitar 51,7 juta-103,4 juta VND). Jabatan di universitas seringkali membutuhkan jam kerja yang lebih sedikit, sekitar 10-15 jam/minggu, dan memiliki masa liburan yang panjang.

Banyak guru yang berpengalaman mengajar di sekolah internasional mendapatkan gaji berkisar antara 250.000 hingga 600.000 yen per bulan (sekitar 43,1 juta hingga 103,4 juta VND). Sekolah-sekolah ini sering menyediakan subsidi perumahan, tetapi sebagian besar berlokasi di daerah perkotaan, terutama Tokyo.

Secara keseluruhan, mengajar bahasa Inggris di Jepang menawarkan gaji yang kompetitif dan banyak kesempatan, yang memungkinkan guru untuk hidup nyaman, terutama di daerah pedesaan.

Namun, jalan menuju peningkatan kemampuan berbahasa asing di negeri sakura ini secara signifikan masih panjang dan penuh tantangan. Tingkat peningkatan menurut survei MEXT memang luar biasa, tetapi belum signifikan.

Survei tahun 2023 oleh perusahaan pendidikan internasional Swiss, EF Education First, yang mengukur kecakapan bahasa Inggris penduduk di 113 negara dan wilayah non-bahasa Inggris, menemukan bahwa Jepang berada di peringkat ke-87 secara keseluruhan dan ke-15 di antara 23 negara dan wilayah Asia. Negara ini mendapat skor 4 dari 5, yang setara dengan "kecakapan rendah" (64-90).

Profesor Barry O'Sullivan (British Council) berkomentar bahwa mendorong reformasi pendidikan bahasa Inggris di Jepang membutuhkan visi jangka panjang karena perubahan yang berarti seringkali membutuhkan waktu satu generasi untuk diselesaikan. Keberhasilan reformasi bergantung pada penyatuan tiga komponen utama: kurikulum nasional, metode pengajaran, dan metode penilaian - yang secara kolektif dikenal sebagai Sistem Pembelajaran Komprehensif.

Para pembuat kebijakan perlu memastikan bahwa guru diperlengkapi untuk memenuhi tujuan pendidikan baru; penerbit harus mengembangkan buku teks yang selaras dengan tujuan ini; dan sistem penilaian perlu mencakup keempat keterampilan berbahasa, menurut Profesor Barry.

Meskipun prosesnya rumit dan memakan waktu, pengalaman dari negara-negara seperti Spanyol menunjukkan bahwa, jika dilaksanakan secara komprehensif, reformasi dapat menghasilkan perbaikan yang signifikan dari waktu ke waktu.

Negara dengan 80% penduduknya multibahasa, 95% anak mudanya fasih berbahasa Inggris. KROASIA - Terletak di persimpangan Eropa Tengah dan Mediterania, Kroasia telah menerapkan strategi bahasa untuk menegaskan posisinya sebagai negara terdepan dalam kemahiran bahasa Inggris.