BAGIAN I:
JIWA HUTAN
Sejak zaman ketika pegunungan dan hutan masih menjadi wilayah roh-roh kuno, orang-orang telah mewariskan kisah-kisah tentang makhluk aneh – yang lahir dari bulan darah dan desahan hutan agung. Makhluk itu adalah Monyet – seekor monyet berjamur yang membawa pertanda akan terjadinya perubahan besar di pegunungan dan hutan.
Monyet berbeda dari monyet lainnya. Bulunya berwarna kuning pucat, berkilau keperakan saat terkena sinar matahari, seolah dilapisi debu bintang dari langit. Lengannya panjang dan kuat, mampu mematahkan dahan pohon tua hanya dengan satu sentakan. Dan yang paling istimewa adalah jambul bulu di atas kepalanya, yang menyebar dalam dua helai simetris – seperti mahkota monyet dalam mitologi kuno.
Ia lahir di bawah pohon suci K'Thu, di samping Sungai Da Ru—sungai suci yang konon katanya tercipta dari air mata peri hutan kecil. Leluhur Monyet pernah berkata: "Kau adalah anak bulan hutan. Pada malam bulan merah, takdirmu akan berubah."
Masa kecil Monyet dihabiskan di tengah kicauan burung dan aroma madu hutan, tempat semua makhluk hidup hidup rukun sebagai bagian dari semangat agung hutan tua. Ia nakal, cerdas, tetapi juga baik hati. Berkali-kali, Monyet mematahkan dahan dan menariknya ke bawah agar anak-anak monyet dapat memetik buah, dan melindungi anak-anak tupai dari hujan. Karena itu, semua makhluk di hutan mencintai dan menghormatinya sebagai "raja kecil".
BAGIAN II:
BAYANGAN MANUSIA DI HUTAN
Lalu suatu hari, di tengah musim bunga sakura—ketika seluruh lembah bermandikan warna-warni—tiga sosok muncul untuk pertama kalinya. Mereka berkemah tepat di bawah Pohon Malas yang suci—tempat para leluhur Monyet biasa menari setiap malam bulan purnama untuk berdoa memohon panen yang baik. Para monyet panik dan lari menaiki lereng. Namun, si Monyet berbeda, ia merasa... penasaran.
Setiap hari, ia mengintip dari atas pohon dan melihat orang-orang menyalakan api, memasak, dan berbicara dengan suara-suara aneh. Seorang pria beruban sering meninggalkan buah di atas batu besar. Suatu kali, ia meninggalkan pisang di atas batu lalu mundur. Si Monyet mendekat dengan hati-hati. Ia mengambil pisang itu—dan dalam sekejap—menghilang di balik dedaunan.
Sejak saat itu, ada sesuatu yang berubah. Pertemuan-pertemuan menjadi lebih sering, lebih ramah. Orang-orang membawa beras, jagung, buah naga – hal-hal yang belum pernah dikenal Monyet sebelumnya. Dengan indra penciuman dan perasanya yang tajam, Monyet tahu dengan jelas: ini adalah dunia yang penuh keajaiban. Makanan dari tangan manusia terasa berbeda – seperti campuran sinar matahari dan garam laut.
Monyet bercerita kepada Nut De – seekor monyet betina anggun dengan rambut dahi berwarna kastanye dan mata bulat berkilau bagai tetesan embun – tentang dunia luar. Keduanya sering meninggalkan kelompok, berkelana di lereng gunung yang tinggi, mempelajari kehidupan baru. Monyet mulai memimpikan masa depan yang harmonis – di mana monyet dan manusia hidup bersama sebagai sahabat.
Tetapi ia tidak tahu bahwa cahaya apa pun yang bersinar ke dalam hutan juga meninggalkan bayangan.
BAGIAN III:
KETIKA TOPENGNYA JATUH
Di suatu pagi yang damai seperti biasanya, ketika embun masih membasahi rerumputan dan anak-anak monyet masih bermain di bawah pohon Bodhi, si Monyet merasakan sesuatu yang aneh di hatinya – seperti firasat dari darah dagingnya. Hari itu, manusia kembali membawa makanan. Jagung matang manis dan buah naga merah terhampar di tepi hutan. Monyet-monyet berceloteh dan berdatangan seperti anak-anak yang menerima hadiah. Tawa dan tarian menggema di seluruh hutan.
Tiba-tiba, “KRAK!” – suara tajam bagaikan pisau yang merobek langit.
Sebelum siapa pun sempat memahami apa yang terjadi, sebuah jaring raksasa dilepaskan dari langit, menutupi seluruh kawanan monyet. Dari tepi hutan, tiga sosok muncul – bukan lagi sosok yang membawa jagung dan buah naga, melainkan sosok-sosok asing berwajah sedingin batu, memegang batang besi, dan bermata tajam bagai binatang buas.
Suara tongkat berayun. Jeritan menyayat hati. Monyet-monyet berjuang sia-sia. Darah dan air mata bercampur di tanah yang dulu dianggap suci.
Monyet dan Chestnut, yang sedang bermain di puncak pohon, mendengar jeritan itu. Mereka berdua melompat turun, tetapi sudah terlambat. Mereka semua diikat dan dimasukkan ke dalam karung. Monyet berdiri di sana, tercengang. Matanya terbelalak lebar, seolah tak percaya bahwa orang-orang yang memberinya pisang kini menjadi orang-orang yang telah merampok keluarganya.
Chestnut gemetar, berpegangan erat pada Monyet. Kedua penyintas itu diam-diam mundur ke dalam hutan, meninggalkan jejak darah merah di dedaunan kering – seperti sayatan pertama di jantung Monyet yang masih muda.
BAGIAN IV:
MELOLONG DI LANGIT
Sejak hari itu, Monyet tak lagi menjadi dirinya sendiri. Tak ada lagi sore-sore berbaring di atas batu, tak ada lagi tawa riang saat bermain dengan Nut De. Matanya dalam dan sunyi bagai dua lubang bara api yang menyala di malam hari. Ia mengembara menyusuri hutan tua, mencari jejak monyet-monyet kesayangannya. Hanya ada suara angin, dan gema dari jurang yang dalam seolah hutan itu menangis bersamanya. Namun, rasa sakitnya tak berhenti di situ.
Suatu pagi, langit diguyur hujan muram bak pemakaman surga, dan Chestnut terjebak. Sebuah dahan pohon mencuat, menarik kawat baja yang mengikat erat kaki belakangnya. Jeritan panik Chestnut menembus hujan lebat, bergema hingga ke ngarai. Si Monyet bergegas menghampiri. Pasangannya tergantung di udara, mengerang lemah, matanya merah karena air mata, memohon pertolongan. Darah menetes dari kakinya bagai air suci dari luka alami.
Monyet menjerit, melompat, menarik tali, mematahkan dahan... sia-sia. Cakar monyet tak mampu melepaskan tali perangkap manusia.
Malam itu, hujan turun deras. Chestnut tergantung semalaman, setiap kali ia mengerang pelan seolah berkata: "Aku masih hidup... jangan pergi..." Si Monyet hanya bisa duduk di sana, memegangi kepalanya, hatinya hancur.
Pada pagi hari ketiga, dua pria datang untuk melepas perangkap. Mereka membawa Chestnut pergi, selembut barang pecah belah. Monyet bersembunyi di pohon, tangannya mengepal hingga berdarah. Tak ada lagi air mata. Hanya amarah.
Sejak hari itu, Monkey menghilang.
BAGIAN V:
HANTU BALAS DENDAM
Sejak Hat De dibawa pergi, Si Monyet tampak telah berubah menjadi entitas yang berbeda – ia bukan lagi monyet berjamur yang mencintai kehidupan, melainkan menjadi hantu pendendam, muncul dan menghilang dalam kabut Gunung Ong. Para petani saling bercerita: "Ada seekor monyet bermata semerah api, berdiri di atas bukit dan melolong setiap sore – siapa pun yang mendengarnya akan merinding."
Awalnya, hanya jagung yang ditelanjangi dan dilempar ke sana kemari. Lalu ubi jalar dicabut, singkong diremukkan. Perangkap hewan tiba-tiba dibengkokkan, beberapa bahkan dibongkar seolah-olah ada yang tahu cara kerjanya. Setiap malam, lolongan Monyet terdengar panjang dan menyayat hati, seperti seseorang berteriak dari kedalaman hutan.
"Itu bukan lagi monyet," kata mereka. "Itu roh gunung, iblis yang telah kita bangunkan."
Para pemburu berpengalaman pun direkrut. Mereka memasang perangkap di mana-mana, jerat, perangkap berkait, bahkan perangkap berumpan pisang dan buah naga. Namun anehnya, tak satu pun perangkap jatuh menimpa Monyet. Sebaliknya, suatu hari orang-orang menemukan perangkapnya rusak, umpannya hilang, dan hanya ranting pohon yang berdiri tegak – bagaikan tantangan dari seorang intelektual yang sedang mengejek.
Monyet tidak membunuh atau menyakiti manusia, tetapi ia menanamkan rasa takut yang tak terdefinisi dalam diri mereka. Kemunculannya merupakan pertanda – badai yang mendekat, tanda kematian yang sunyi. Bahkan penebang kayu paling berpengalaman pun tak berani tinggal setelah senja.
Namun di balik dendam itu, ada hati yang hancur.
Setiap sore, Monyet akan kembali ke batu di tepi Sungai Da Ru, tempat ia dan Hat De biasa bermain ikan. Ia akan duduk di sana berjam-jam, tangannya menepuk-nepuk air dengan lembut, matanya menatap ke arah hutan lebat, seolah menunggu sosok yang dikenalnya kembali. Namun, tak ada seorang pun. Hanya ada suara gemericik sungai, dan capung-capung merah yang melayang-layang di atas air bagaikan arwah mimpi-mimpi yang telah mati.
BAGIAN VI:
PERPISAHAN DI HUJAN PELURU
Suatu pagi yang berkabut, teriakan nyaring seekor musang menggema dari tepi ladang. Si Monyet segera berlari menghampirinya. Itu adalah jebakan kuno – tali yang diikatkan di kaki belakangnya, persis seperti tali yang digunakan untuk merenggut Nut De. Si musang meronta, matanya melotot meminta tolong.
Si Monyet mencoba segalanya – mencabut dahan, menggigit sulur, mendorong tanah – tetapi sia-sia. Di saat-saat tak berdaya itu, masa lalu kembali berhamburan bagai air terjun. Bayangan Chestnut, tetesan darah, tangisan masa lalu yang samar… semuanya seakan menusuk hatinya lagi.
Terdengar suara tembakan.
Rasa sakit, dingin, menusuk – bagai sambaran petir yang menyambar langsung ke dada. Monyet terhuyung. Dari kejauhan, seorang pria mendekat, pistol di tangan, wajahnya sedingin batu.
Darah mengalir di bulunya yang berwarna kuning pucat. Monyet itu pun roboh. Sebelum matanya terpejam, ia melihat sesuatu yang aneh…
Dari kejauhan, Chestnut berdiri di bawah pohon, tersenyum, tangannya terulur ke pohon itu. Di belakangnya tampak para monyet—wajah-wajah yang familier, mata yang lembut, tangan yang terentang menyambut. Tak ada lagi rasa sakit. Tak ada lagi rasa dendam.
Si Monyet merasa dirinya melayang, seringan asap. Pegunungan dan hutan di bawah perlahan menghilang… hanya suara angin dan nyanyian pengantar tidur pegunungan dan hutan yang tersisa.
BAGIAN VII: LEGENDA
MASIH HIDUP
Jasad monyet itu tidak ditemukan. Hanya bercak darah yang tersisa di batu, dan selembar daun kering dengan jejak tangan monyet yang terukir darah.
Sejak saat itu, setiap kali bulan baru terbit di pegunungan, orang-orang mendengar lolongan itu – tidak marah, tidak pula memilukan, melainkan seperti panggilan yang jauh, damai dan penuh nostalgia. Para tetua desa berkata: "Monyet itu tidak mati. Ia menjadi roh penjaga hutan, sebuah peringatan terakhir: Jangan hina kehidupan."
Anak-anak di desa diajari: "Jika kalian melihat monyet berbulu kuning pucat dan bermata sedih, tundukkan kepala. Karena ia bukan monyet – ia adalah Raja Hutan."
Sumber: https://baobinhthuan.com.vn/monkey-huyen-thoai-cua-nui-ong-130989.html
Komentar (0)