![]() |
MU berangsur-angsur bangkit kembali. |
Ruben Amorim tiba di Old Trafford pada 1 November 2024, membawa filosofi 3-4-2-1 yang berbeda dan senyum seorang pria yang tahu ia akan menghadapi badai. Setahun kemudian, senyum itu masih ada. Bukan karena semuanya berjalan mulus, tetapi karena ia telah memilih untuk hidup santai di tengah tekanan terberat dalam dunia sepak bola.
Bagaimana Amorim mengubah MU?
Sejak awal, para penggemar Manchester United skeptis. Tim kalah telak, sistem taktiknya kurang familiar, dan para pemain kebingungan. Banyak yang mengira Amorim hanya bicara tanpa tindakan. Namun, ketika ia berkata, "Badai akan datang," itu bukan keluhan. Melainkan persiapan. Ia tahu badai adalah bagian tak terpisahkan dari proses perubahan. Dan kini, setahun kemudian, langit di atas Old Trafford berbeda.
Amorim bukanlah tipe pelatih yang keras dan tegas seperti Sir Alex Ferguson. Ia suka tertawa, bahkan ketika kalah. Ketika teleponnya berdering saat konferensi pers di Kuala Lumpur (Malaysia) sebelum pertandingan persahabatan di bulan Mei, ia tertawa terbahak-bahak.
Ketika ditanya apakah Paus sanggup mengubah formasi, beliau tertawa. Bahkan di saat-saat terburuk Desember lalu, beliau tersenyum dan berkata: "Badai akan datang." Senyum itu tidak palsu, melainkan cara beliau bertahan dari krisis.
Amorim lebih memahami nilai manusia daripada taktik. Ia tidak membangun tembok pemisah antara dirinya dan para pemainnya. Ia menghadiri pesta ulang tahun Patrick Dorgu, menandatangani ratusan tanda tangan di tengah hujan, dan meminta para pemain untuk menyapa para penggemar ketika mereka tiba di stadion. Di Old Trafford, jabat tangan dan senyum Amorim mengubah suasana suram yang telah ada selama bertahun-tahun setelah Ole Gunnar Solskjaer.
![]() |
Ruben Amorim secara bertahap menghidupkan kembali MU. |
Cara hidup Amorim juga mencerminkan cara ia melatih. Teliti, jelas, tanpa basa-basi. Pada sesi latihan pertama, Amorim berhenti sejenak untuk mengoreksi setiap langkah Kobbie Mainoo, setiap sudut pembukaannya. Ia menciptakan situasi simulasi agar para pemain memahami posisi dan gerakan dalam skemanya. Ia mempersiapkan segalanya hingga detail terkecil, dan secara bertahap, Manchester United mulai memahami apa yang diinginkannya.
Semuanya berbeda
Setahun yang lalu, Amorim menghadapi statistik yang pahit: 21 kekalahan, tepat di atas Tottenham di zona degradasi. Namun sejak Oktober, segalanya berubah. Tiga kemenangan beruntun telah membawa klub ke puncak. Untuk pertama kalinya dalam empat tahun, mereka berada di posisi kedua Liga Primer, meski hanya beberapa jam. Bagi para penggemar, itu adalah pertanda kehidupan. Bagi Amorim, itu adalah hasil dari kesabaran.
Amorim tidak membicarakan kejuaraan, juga tidak melukiskan masa depan yang cerah. "Segalanya bisa berubah," kata Amorim, "tapi saya tidak akan mengubah cara hidup saya." Pernyataannya sederhana, tetapi mencerminkan kegigihan seorang pelatih yang pernah duduk di depan spreadsheet Excel bersama istrinya, menghitung apakah ia punya cukup uang untuk menghidupi anak-anaknya setelah cedera yang memaksanya pensiun. Seorang pria yang telah melewati masa itu, tidak lagi takut akan kegagalan.
Amorim tidak hanya membangun tim, ia juga membangun kembali budaya Manchester United – sebuah nilai yang telah hilang sejak kepergian Sir Alex. Amorim tidak membutuhkan kekuasaan untuk dihormati. Ia menggunakan kebaikan dan tanggung jawab untuk membangun kepercayaan. Ketika kalah, Amorim berjalan bersama para pemain menuju tribun. Ketika menang, ia mundur untuk membiarkan para pemainnya menikmati kegembiraan. "Sangat baik, sangat tulus," kata seseorang di klub tentangnya.
Pada hari-hari awal, Ruben Amorim menghadapi banyak kesulitan. |
Dulu orang-orang mengkritik Amorim karena hanya berakting di konferensi pers. Namun, sebenarnya, ia paling membenci bagian itu. Amorim tidak mempersiapkan diri, tidak menulis dialognya. Semua pernyataannya hanyalah refleks belaka. Di lapangan latihan, ia serius sampai-sampai dingin, tetapi di luar lapangan, ia adalah orang pertama yang tersenyum, orang pertama yang berjabat tangan. Kepribadian yang kontras itu menciptakan pribadi yang kompleks namun nyata.
Kekalahan seperti melawan Grimsby dan Brentford memang terjadi, tetapi itu pengecualian. Dengan jadwal yang lebih padat, sesi latihan Amorim menjadi lebih efektif. Para pemain memahami peran mereka, sistem berjalan lebih lancar, dan yang terpenting, moral tim tidak lagi terpuruk.
Sir Jim Ratcliffe pernah berkata bahwa ia membutuhkan waktu tiga tahun untuk membangun kembali Manchester United. Jika memang itu jangka waktunya, maka Amorim berada di jalur yang tepat. Setelah satu tahun, ia telah mengatasi hal tersulit: tidak kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri.
"Ada kalanya saya bertanya-tanya apakah tempat ini bukan untuk saya," kata Amorim. "Tapi hari ini, saya tahu pasti bahwa itu adalah keputusan terbaik dalam hidup saya. Saya ingin tetap di sini."
Setahun kemudian, Amorim memang tidak menjadikan Manchester United tim terkuat, tetapi ia mengembalikan sesuatu yang lebih penting: harapan. Dan di Old Trafford, setelah sekian banyak malam yang kelam, harapan adalah hal yang paling berharga.
Untuk Manchester, sekaranglah saatnya untuk menikmatinya!
Sumber: https://znews.vn/mu-gio-la-de-thuong-thuc-post1598913.html








Komentar (0)