Rumah saya tidak memiliki pohon kelapa sebanyak rumah-rumah lain di desa. Di bukit pasir di belakang rumah, kakek saya hanya menanam dua pohon kelapa, satu kelapa api dan satu kelapa hijau. Di sisa bukit pasir tersebut, bambu dan semak-semak lainnya tumbuh liar.
Entah karena faktor tanah atau bukan, dua pohon kelapa saya dan deretan pohon kelapa di desa semuanya memiliki kepala buah yang besar, dan setiap tandannya memiliki buah yang menggantung. Hari-hari musim panas ini adalah saat kelapa sedang dalam kondisi terbaiknya. Daging kelapanya tidak terlalu keras dan air kelapanya cukup manis, tidak terlalu asam atau terlalu hambar. Biasanya, kelapa muda lebih manis daripada kelapa muda. Namun bagi keluarga saya saat itu, setiap kelapa sangat berharga karena pohon kelapa membutuhkan waktu 12 bulan untuk menghasilkan buah.
Ayah saya harus dengan cermat memilin dan menganyam puluhan daun pisang kering untuk membuat pelana yang memuaskan. Dengan hati-hati menguji kekokohannya, dengan parang tajam yang diikatkan di ikat pinggangnya, ia dengan cepat melilitkan pelana itu di kakinya dan dengan lincah memanjat pohon kelapa yang tinggi.
Di bawah, kami menjulurkan leher hingga pusing. Kami hanya bisa melihat ayah kami memotong daun kelapa, lalu pelepah kelapa. Ia menjatuhkan setiap potongan ke tanah, dan di ujung pendakian yang berat itu, buah kelapa yang sarat buah pun dipetik. Ayah kami membelah daun kelapa menjadi dua dan menganyamnya dengan indah untuk dijadikan atap gubuk tempat ia mengawasi melon. Ayah kami merendam pelepah kelapa yang kuat dan lentur itu dalam air, lalu memotongnya tipis-tipis untuk menggantungkan tali tembakau. Dan tentu saja, kelapa yang paling manis adalah milik kami.
Kelapa pertama musim ini memiliki kulit hijau mengkilap dan batang segar. Air kelapanya agak keruh, manis, dan terkadang sedikit asam. Daging kelapanya tidak terlalu keras, cukup dikerok dengan sendok, seperti makan jeli. Jadi, saya dan saudara-saudara saya menghabiskan semuanya, tetapi karena saya yang paling lapar, saya diberi dua buah kelapa.
Di desa saya, kelapa jarang dijual dalam bentuk tandan atau masih dengan batoknya. Kebanyakan orang mengupasnya menggunakan parang tajam untuk mengupas batok terluarnya, hanya menyisakan batok kelapa dan batang ramping yang menyerupai bunga di atasnya. Tandan kelapa dikupas bersih, dan ketika dibawa ke pasar, mereka akan ditempatkan bersama semangka segar, masih dengan lapisan tepungnya.
Kini ayah saya sudah sangat tua, kesehatannya tak lagi memadai untuk bisa memetik kelapa dengan lincah. Bahkan kereta luncur daun pisang pun sudah ketinggalan zaman sejak ditemukannya alat pemanjat kelapa yang aman dan praktis. Namun, setiap musim panas ketika saya berkunjung ke desa, saya kerap melihat kelapa-kelapa yang telah dikupas dengan hati-hati, batangnya segar bagai bunga, masih ada di pojok pasar. Ternyata, entah bagaimana, kenangan indah musim kelapa itu masih ada dalam diri saya. Sekadar melihat kelapa-kelapa yang familiar saja sudah cukup untuk membangkitkan kembali seisi langit masa kecil. Dan di depan mata saya muncullah gambaran ayah saya yang lincah menggendong kereta luncur di kakinya untuk memanjat dan memetik kelapa, pohon-pohon kelapa yang ditanam kokoh oleh kakek saya, bersorak riang di bawah langit musim panas yang biru cerah.
[iklan_2]
Sumber






Komentar (0)