Saya pernah baca di suatu buku lagu rakyat “Januari adalah bulan berpesta”, tapi sepertinya ucapan ibu saya “Januari adalah bulan makan dan bermain” lebih terpatri dalam ingatan saya.
Kala itu, bertani terasa santai, tetapi hati para petani tak tenang. Saat sawah bermekaran, setiap keluarga yang masih punya cukup beras untuk dimakan akan sangat bahagia, menanti musim panen tiba. Tak ada lagi kebahagiaan ketika beras di kamar berkurang sedikit demi sedikit setiap hari dan perlahan mencapai titik terendah. Musim panen masih jauh, artinya kekhawatiran akan terus berlanjut sementara kami, anak-anak, berlomba-lomba makan bak "ulat sutra melahap sisa makanan", perut kami seperti tong tanpa dasar, tak tahu rasanya kenyang.
Bukan kebetulan pagi ini saya teringat masa-masa sulit di masa lampau. Tetangga saya mengeluh karena ia makan sangat sedikit akhir-akhir ini, sampai-sampai ia tak pernah bisa menghabiskan sekantong beras yang dibeli dari supermarket. Ia sepertinya bosan dengan beras putih yang dipoles sempurna dan berharap masalah itu segera hilang agar ia bisa beralih ke beras yang tidak dipoles, dengan kulitnya yang masih utuh.
Saya dengar beras jenis itu masih mengandung banyak nutrisi yang bermanfaat bagi kesehatan. Beras putih bukan lagi satu-satunya pilihan, beras merah yang hanya dibuang kulitnya juga merupakan jenis yang dipilih banyak orang. Tiba-tiba saya merasa sangat beruntung karena hidup telah berubah hari ini, makanan dan sandang bagi banyak orang bukan lagi sekadar kekhawatiran.
Kisah yang diceritakan tetangga saya pagi ini mengingatkan saya pada penggilingan padi yang berat di dapur saya yang berasap. Menggiling padi itu pekerjaan yang berat, butuh banyak tenaga dan kesabaran untuk menghasilkan semangkuk nasi putih yang lembut.
Pikiran bahwa orang-orang zaman dulu suka makan beras palsu berkelebat di benak saya bagai kilatan petir. Seandainya itu terjadi, baju yang biasa dikenakan adik perempuan saya waktu itu tidak akan selalu basah di punggungnya setiap kali ia menggiling beras, dan saya mungkin tidak akan tahu tentang "kipas angin langit-langit" yang terbuat dari sebatang alang-alang besar yang tergantung di balok dapur berasap itu. Setiap kali orang tua atau saudara kandung saya menggiling beras, saya menggunakan tali yang diikatkan pada alang-alang untuk menariknya maju mundur. Gerakan alang-alang itu menciptakan angin yang membawa partikel jelaga hitam.
"Kipas" raksasa itu membuatku berkhayal, andai saja keluargaku punya kincir angin seperti yang dilawan Don Quixote dari La Mancha dalam buku cerita yang sering kubaca. Dengan begitu, dapur akan selalu sejuk dan orang tua serta saudara-saudaraku tak perlu lagi "menggiling beras menjadi dedak" tetapi tetap punya cukup beras putih untuk dimakan seluruh keluarga.
Semangkuk nasi putih bagai kapas telah menjadi impian banyak keluarga selama bertahun-tahun, termasuk keluarga saya. Masa-masa itu kembali menghantui saya dengan dengungan penggilingan padi yang pelan, melelahkan, dan sabar di dapur kecil. Jika suara tumbukan padi terdengar jauh di rumah tetangga, suara penggilingan padi hanya terdengar ketika kita sampai di sana.
Biasanya, saya lebih suka menumbuk beras daripada menggiling beras karena menumbuk beras tidak membutuhkan fleksibilitas dan ketangkasan yang sama seperti penggilingan padi. Sejujurnya, tubuh saya yang kurus tidak cukup kuat untuk menggerakkan penggilingan sesuai keinginan saya.
Saat itu, desa saya sama miskinnya dengan banyak desa lain. Sudah lama sejak munculnya penggilingan padi bertenaga minyak. Setiap kali beroperasi, asap hitam pekat selalu mengepul. Sebuah keluarga harus "sangat kaya" untuk memiliki penggilingan padi. Benda-benda ini melambangkan kemakmuran sebuah rumah tangga. Mungkin karena membutuhkan tabungan yang cukup besar, sementara hidup sebagai petani adalah perjuangan sehari-hari, bukan sesuatu yang bisa diperoleh dalam satu atau dua hari.
Kami cukup bangga saat itu karena keluarga kami tidak perlu pergi ke tetangga untuk membantu menggiling padi. Kalau tidak salah ingat, sejak kecil hingga dewasa, yaitu ketika desa tetangga punya penggilingan padi, keluarga kami hanya menggunakan satu penggilingan padi. Setiap kali penggilingan rusak atau aus, orang tua saya hanya berani menyewa tukang reparasi untuk memperbaikinya. Tidak ada uang untuk membeli penggilingan baru.
Kala itu, di luar musim panen, desa saya sering diserukan, "Siapa yang mau bikin adukan semen...", menggema di gang-gang kecil. "Tukang adukan semen" yang terampil selalu dicari, terkadang sebelum satu rumah selesai, rumah lain sudah meminta mereka datang dan bekerja.
Peralatan yang dibawanya adalah dua panci besar berisi serpihan kayu seukuran jari yang disatukan. Saya ingat di dalamnya terdapat palu tanah yang sangat besar untuk memecah tanah liat dan mengaduknya hingga menjadi massa yang halus dan lentur. Palu yang sedikit lebih kecil akan digunakan oleh deputi untuk menjepit serpihan kayu ke dalam adukan tanah liat. Serpihan kayu tersebut dijepit dalam barisan tertentu, yang akan dengan terampil membantu mengubah padi menjadi butiran beras.
Kami menikmati menyaksikan wakil tukang mortir bekerja, tetapi kami sangat waspada terhadap dua pot besar yang selalu dibawanya.
Teman saya bercerita bahwa keranjang itu pernah berisi seorang anak yang selalu menangis dan merajuk. Karena dianggap nakal, anak itu digendong dan dijual. Memikirkan keranjang yang menyeramkan itu, saya tiba-tiba berhenti bersikap keras kepala dan adik perempuan saya pun berhenti merundung saya.
Di lingkungan saya waktu itu, jika ada yang membuat adukan baru, seluruh lingkungan akan tahu. Hari untuk membuat adukan haruslah hari yang "baik", dengan cuaca cerah dan terutama pada "hari kedelapan bulan ketiga" ketika pertanian sedang libur, dan pekerjaan pertanian yang sibuk telah dikesampingkan. Akan beruntung jika bertemu dengan pekerja yang terampil dan teliti, adukan yang sudah jadi akan berputar dengan halus, ringan, dan lembut, butiran beras tidak akan "mentah" atau "pecah" - inilah yang diinginkan oleh pemilik dan pekerja. Hari ketika adukan selesai juga tidak kalah penting, banyak keluarga akan menyembelih ayam, membuat nasi ketan, membaginya dengan tetangga mereka, dan kemudian dengan hormat membayar asisten tukang adukan. Adukan dianggap sebagai anggota resmi keluarga, dan setiap kali selesai, adukan dibersihkan dengan hati-hati untuk mencegah tikus dan kecoak merayap masuk dan mengotori adukan.
Namun, setelah lama digunakan, penggilingan akan mengalami beberapa masalah. Porosnya mungkin aus, talenannya mungkin patah, bajinya mungkin terlepas, atau penutup penggilingnya mungkin terlepas. Pada saat itu, seluruh keluarga akan lebih menunggu tukang giling daripada Ibu pulang dari pasar. Jika kami melihatnya di jalan, kami akan segera membawanya pulang agar orang tua kami bisa memintanya untuk memperbaikinya.
Hingga dewasa, saya tak pernah bisa memindahkan penggilingan padi tanpa bantuan siapa pun, hanya karena terlalu berat. Kemudian, ketika di kampung halaman saya ada keluarga yang menggunakan mesin untuk menggiling padi, penggiling dan penumbuk padi menyelesaikan tugasnya dan beristirahat di dapur yang berasap.
Kisah tak terduga pagi ini membuatku mencari-cari dalam ingatanku, teriakan yang kini telah hilang: "Siapa yang mau menggiling..." dari deputi penggilingan tua itu. Suara gemuruh penggilingan yang berat, yang dipenuhi dengan kepayahan di malam hari atau siang hari yang panas, kini telah lenyap tak berbekas.
[iklan_2]
Sumber: https://daidoanket.vn/ru-ri-coi-xay-lua-10280858.html
Komentar (0)