
Tujuan dekarbonisasi global, digitalisasi, dan pertumbuhan ekonomi mendorong permintaan mineral dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam konteks ini, negara-negara Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Vietnam, berpotensi memperluas peran mereka sebagai produsen dan pengolah sumber daya utama, sementara Singapura dapat menjadi pusat keuangan, investasi, dan perdagangan mineral regional terkemuka.
Namun, di sisi lain, Asia Tenggara menghadapi banyak tantangan dalam proses membuka peluang akibat kurangnya infrastruktur, regulasi lingkungan yang tidak merata, tekanan perubahan iklim, dan ketergantungan yang tinggi pada Tiongkok. Untuk mengatasi tantangan ini, kerja sama dengan Australia akan menjadi pilihan yang tepat karena negara Oseania ini memiliki basis sumber daya yang solid, potensi pertambangan yang luas, dan kepatuhan yang ketat terhadap standar Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (ESG). Berkat keunggulan ini, Canberra dapat mendukung Asia Tenggara untuk mengatasi hambatan dan membantu kawasan ini menjadi "bagian" penting dalam peta geopolitik mineral baru.
Belakangan ini, Australia juga berfokus pada peningkatan kemitraan dengan sejumlah negara Asia Tenggara untuk mengembangkan rantai pasokan yang terintegrasi secara vertikal. Khususnya, negara ini telah menandatangani perjanjian dengan Indonesia pada tahun 2023 dan 2024 untuk menggabungkan nikel olahan Indonesia dan litium Australia dalam produksi baterai kendaraan listrik, sekaligus mendorong sistem regulasi dan pemantauan yang sinkron. Selain itu, cabang Lynas Rare Earths (Australia) di Malaysia telah berhasil memproduksi disprosium oksida pertama dari lini produk logam tanah jarang yang baru dioperasikan. Langkah ini membantu Malaysia meningkatkan posisinya dan menjadi sumber pasokan baru di bidang produksi magnet berkinerja tinggi untuk kendaraan listrik serta perangkat elektronik canggih.
Khususnya, Australia telah meningkatkan hubungan bilateralnya menjadi Kemitraan Strategis Komprehensif dengan Vietnam, dan meluncurkan Dialog Mineral Kritis tahunan untuk meningkatkan diversifikasi rantai pasokan.
Sementara itu, Perjanjian Ekonomi Hijau yang bersejarah antara Australia dan Singapura, yang ditandatangani pada tahun 2022, menetapkan pilar baru dalam Kemitraan Strategis Komprehensif antara kedua negara. Pilar ini bertujuan untuk mendorong kerja sama bilateral dalam rantai pasokan energi bersih dan mineral penting guna mendorong diversifikasi perdagangan, ketahanan energi regional, dan transisi menuju emisi nol bersih. Kerja sama dalam eksploitasi mineral penting semakin terintegrasi ke dalam kerangka kerja sama energi bersih yang lebih luas.
Menurut peneliti Alice Wai, di masa mendatang, Asia Tenggara perlu berfokus pada pembangunan dan pemosisian citra kawasan sebagai pemasok yang andal. Melalui perjanjian kerja sama yang ekstensif, Australia dapat mendukung negara-negara Asia Tenggara untuk mempromosikan proyek eksplorasi, melaksanakan kegiatan penambangan dan pemrosesan; sekaligus, berbagi keahlian teknis dan meningkatkan kapasitas kawasan untuk berpartisipasi dalam rantai pasokan yang lebih bersih dan efisien. Kerja sama Australia-Asia Tenggara diharapkan dapat menciptakan banyak peluang untuk menarik investasi dan memberikan posisi yang layak bagi kawasan ini dalam transisi energi bersih global.
Sumber: https://baotintuc.vn/kinh-te/australia-co-the-dong-vai-tro-then-chot-ho-tro-nganh-khai-khoang-tai-dong-nam-a-20251113165928852.htm






Komentar (0)