Di tengah Samudra Atlantik, terdapat sebuah kepulauan kecil yang harus diperbesar untuk dilihat di peta. Populasinya hanya lebih dari setengah juta jiwa, tanpa industri besar, dan tanpa kejuaraan yang gemilang. Namun ketika Tanjung Verde lolos ke Piala Dunia 2026, dunia tiba-tiba menoleh ke belakang – bukan hanya untuk keajaiban sepak bola, tetapi juga untuk bagaimana mereka mengubah kenangan, musik , dan nostalgia menjadi kekuatan.

Perjalanan ini adalah kisah tentang identitas: tentang pulau-pulau, tentang ekspatriat, tentang musik morna, dan kegembiraan jalanan. Sebuah negara kecil menceritakan kisahnya, dalam bahasa yang paling universal: sepak bola.

BAGIAN 3: TANJUNG VERDE - SEPAKBOLA, FESTIVAL, DAN DAMPAK PIALA DUNIA

Morna dan malam-malam tanpa tidur

Festival demi festival . Di Praia, malam tak pernah tidur. Saat peluit akhir dibunyikan dalam pertandingan kualifikasi terakhir Afrika untuk Piala Dunia 2026 , Pulau Santiago menyala bak morna (musik tradisional negara itu) yang mengubah iramanya – sedih menjadi cepat, lambat menjadi bergairah.

Orang-orang menari, berpelukan, dan bernyanyi di jalanan pesisir. Negeri yang dulunya terbiasa dengan keheningan kini menemukan suaranya, bergema melalui sepak bola.

FIFA - Piala Dunia Tanjung Verde 5.jpg
Tanjung Verde menciptakan keajaiban. Foto: FIFA

Tanjung Verde memang tak pernah ramai. Mereka punya morna – musik sedih; coladeira – musik riang; dan funaná – musik ladang dan festival. Ketiganya berpadu menjadi satu malam itu.

Para pengeras suara tua memainkan lagu Sodade karya Cesaria Evora yang legendaris, lalu beralih mengikuti irama drum funaná. Setiap lingkungan menjadi panggung dadakan. Anak-anak melukis bendera biru di pipi mereka; para tetua menuangkan minuman keras ke jalan untuk dibagikan.

Di tengah Praia, orang-orang menyalakan suar; di Mindelo, para nelayan menyalakan lampu di perahu mereka dan berteriak di laut.

Laporan Bank Dunia mencatat bahwa hampir 1,18 juta wisatawan berkunjung setiap tahun. Untuk pertama kalinya, Tanjung Verde disebut dengan nama aslinya, bukan "surga sinar matahari" yang anonim. Pariwisata diperkirakan akan semakin berkembang. Semua berkat Piala Dunia.

Tidak seorang pun menyangka sebuah tim kecil mampu menciptakan keajaiban seperti itu – sebuah festival eksistensi.

Karena Piala Dunia, bagi Tanjung Verde, lebih dari sekadar olahraga . Piala Dunia adalah cara bagi seluruh bangsa untuk menegaskan bahwa mereka memiliki tempatnya sendiri, suaranya sendiri, dan musiknya sendiri dalam simfoni global.

Sepak bola di Tanjung Verde dulunya miskin dan spontan. Namun, orang-orang di sini selalu hidup dengan ritme. Para pemain bermain seolah bernyanyi, para penonton bersorak seolah menari.

Ketika Ryan Mendes, pemegang rekor penampilan dan gol internasional, memimpin timnya melewati babak kualifikasi, komentator radio itu menangis: "Dulu kita adalah pulau, tetapi hari ini, kita tidak lagi terpisah."

Frasa tersebut menjadi viral di media sosial dan hampir menjadi slogan tidak resmi untuk Piala Dunia pertama Tanjung Verde.

Nilai sepak bola

Selain musik, yang selalu dikenang orang adalah kegembiraan sederhana. Tak ada alun-alun besar, tak ada kembang api mahal, hanya tarian, melodi yang dimainkan dari tutup panci, botol air, dan hati.

Di negara di mana angin dan ombak adalah dua instrumen terhebat, musik lahir dari alam, sebagaimana sepak bola lahir dari keinginan untuk hidup.

Pada hari-hari berikutnya, pers Afrika menjuluki Tanjung Verde sebagai "pulau impian" . Lagu "Um Mar de Azul" – "Laut Biru" – terus diputar.

Lagu tersebut menyebar dengan cepat di berbagai platform, melodinya seringan napas, liriknya bercerita tentang sebuah negara "sekecil sebutir pasir, tetapi membawa lautan di dalam hatinya" .

FIFA - Piala Dunia Tanjung Verde 7.jpg
Tiket Piala Dunia 2026 akan berdampak besar pada pariwisata dan perekonomian Tanjung Verde. Foto: FIFA

Di Lisbon, komunitas Tanjung Verde juga mengadakan festivalnya sendiri, membawa bendera biru di jalanan, menabuh drum, menari, dan menangis. Seseorang berkata kepada pers: "Kami menang bukan untuk diakui. Kami menang untuk merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar – tanah air kami."

Mungkin itulah inti dari sepak bola: koneksi. Ketika pulau-pulau kecil berdetak menyatu dengan jutaan orang yang jauh di sana, ketika musik menyentuh olahraga, dan ketika mimpi kolektif melampaui batas, kita melihat kekuatan emosi yang lembut.

Jadi, Piala Dunia 2026—bagaimana pun hasilnya—akan menjadi kemenangan bagi Tanjung Verde. Kemenangan ini bukan diukur dari skornya, melainkan dari bagaimana ia membuat seluruh dunia memandang pulau-pulau kecil di peta.

Malam itu, Praia bernyanyi. Morna berpadu dengan tabuhan drum funaná, bagai deburan ombak. Seorang anak duduk di bahu ayahnya, mengibarkan bendera biru-kuning-putih, berteriak kepada kerumunan: "Kami Tanjung Verde! Kami di sini!"

Pada saat itu, di bawah langit yang cerah, pulau-pulau itu tidak lagi berjauhan.

Seluruh negeri – dari yang di dalam negeri hingga yang di luar negeri – tiba-tiba menjadi sebidang tanah, terbentang oleh musik, sepak bola, dan keyakinan bahwa bahkan di tengah lautan luas, sebuah negara kecil dapat menyanyikan lagunya sendiri.

Sumber: https://vietnamnet.vn/cape-verde-du-world-cup-2026-bong-da-le-hoi-giua-dai-duong-2453781.html