Bapak Huynh Quang Huy - Ketua Asosiasi Perikanan Binh Thuan berbagi hasil partisipasi masyarakat dalam melindungi dan memulihkan sumber daya perairan setempat.
Ia mengatakan bahwa Binh Thuan dulunya memiliki sumber daya perairan yang besar dan juga merupakan salah satu dari tiga daerah penangkapan ikan utama di negara ini. Namun, pada suatu ketika, tidak ada yang tersisa di laut Binh Thuan. Survei selama 5 tahun, pengikisan 100 meter persegi tidak menghasilkan ikan atau udang.
"Para nelayan sangat kesal saat itu. Mereka bilang kalau laut dibiarkan seperti itu, anak-anak kita mau makan apa?" kenang Pak Huy. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh banyaknya kebijakan pengelolaan yang tidak efektif dan membebani.
Binh Thuan memiliki garis pantai sepanjang 172 km, tetapi hanya memiliki 3 kapal pengawas perikanan dengan kecepatan hanya 7 mil laut/jam, sementara kapal penangkap ikan dapat mencapai kecepatan hingga 14 mil laut/jam. "Tidak mungkin dikendalikan," ujarnya. Oleh karena itu, lahirlah model yang memungkinkan nelayan mengelola dan memulihkan sumber daya perairan.
“Awalnya, saya butuh 30 sesi ngopi untuk menemukan 5 nelayan yang mau bergabung dalam proyek perlindungan laut, lalu 10 orang lagi. Setelah itu, saya membentuk panitia untuk memobilisasi pembentukan komunitas perlindungan laut pada tahun 2013,” ungkap Bapak Huy.
Proses pembentukan komunitas ini membutuhkan 37 dokumen dan 4 putaran penolakan. Implementasi awal sangat sulit karena kurangnya sumber daya dan banyak nelayan yang tidak mempercayainya.
Namun, hanya dalam 2 tahun upaya, masyarakat telah menunjukkan hasilnya. Jumlah kapal keruk yang merambah telah berkurang hingga 90%. Sebelumnya, kapal keruk harus menggali laut, bahkan satu udang atau ikan pun tidak dapat ditangkap dalam 100m2.
Pada tahun 2015, saat disurvei, terdapat 426 spesies akuatik hanya dalam 1m2. Masyarakat memahami apa itu konservasi, apa dampaknya, dan bagaimana memulihkan sumber daya akuatik. Solusinya adalah membuat akar palem ( sejenis alat tangkap yang digunakan dalam penangkapan ikan di pesisir untuk menarik dan mengumpulkan gerombolan ikan ) dan melepaskannya ke laut agar udang dan ikan memiliki tempat untuk tumbuh.
Dengan dukungan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), Binh Thuan telah melaksanakan tiga proyek komunitas serupa, mengelola lahan seluas 43 kilometer persegi di sepanjang pesisir sebuah distrik. Sejak 2017, ketika dukungan UNDP berakhir, model-model tersebut terus beroperasi secara efektif, dengan semakin banyaknya partisipasi sukarela masyarakat dan bahkan perkembangan yang lebih pesat daripada sebelumnya.
Pada tahun 2015, ada malam-malam di mana nelayan tidak bisa mendapatkan 500.000 VND. Sekarang, ada malam-malam di mana mereka bisa mendapatkan hingga 10 juta VND dari melaut. Para nelayan mengatakan bahwa selama 40 tahun mereka belum pernah melihat musim melaut seperti ini, dengan banyak ikan dan cumi-cumi.
Patut dicatat, sejak tahun 1976 hingga sekarang, udang perak—jenis udang bernilai ekonomi tinggi—muncul kembali. "Dalam semalam saja, udang jenis ini bisa menghasilkan satu ton," ujar Bapak Huy.
Hal ini merupakan hasil dari partisipasi masyarakat dalam upaya perlindungan dan pemulihan sumber daya perairan, tegasnya, seraya menambahkan bahwa sebelum pelepasan pohon aren ke laut, mereka dianggap mengganggu lalu lintas laut. Kini, para nelayan meminta lebih banyak pohon aren, bahkan rela mengeluarkan uang sendiri untuk membeli dan melepaskannya ke laut karena melihat efektivitasnya dalam memulihkan sumber daya udang dan ikan.
Menurut Bapak Huy, untuk mengembangkan skala metode ini, sumber daya dari Dana Perlindungan Sumber Daya Perairan dapat dimobilisasi. Selain itu, untuk membangun mata pencaharian berkelanjutan bagi masyarakat, ekowisata dapat dikembangkan. Namun, diperlukan lebih banyak investasi dan partisipasi dari pelaku bisnis agar kegiatan ini efektif dan berkelanjutan.
Menurut Menteri Pertanian dan Pembangunan Pedesaan Le Minh Hoan, pendekatan berbasis komunitas merupakan salah satu arah dalam proses perubahan pola pikir dan tata kelola sosial. Komunitas sosial menyeimbangkan keterbatasan negara dan pasar, serta merupakan inti dari segitiga pembangunan negara-pasar-masyarakat.
Menteri mengatakan bahwa tidak memanfaatkan sumber daya dari masyarakat dapat menciptakan rasa harapan dan ketergantungan, yang melumpuhkan inisiatif, kreativitas, dan energi masyarakat. Oleh karena itu, perlu untuk mengaktifkan partisipasi masyarakat, seperti mendirikan balai-balai perkumpulan untuk mengaktifkan partisipasi, otonomi, dan kemandirian.
Ketenangan Pikiran
[iklan_2]
Sumber






Komentar (0)