Menggunakan telepon dan mainan untuk menenangkan anak agar mau makan dengan benar.
Ibu H., 32 tahun, adalah ibu dari B. (26 bulan). B. lahir cukup bulan, dengan berat 3,2 kg saat lahir, dan berkembang normal selama tahun pertamanya. Sejak disapih dari ASI pada usia 18 bulan, B. menjadi pemilih makanan, hanya ingin minum susu dan makan makanan lunak dan manis seperti bubur encer, biskuit, atau yogurt. Selama 6-7 bulan terakhir, B. hampir sepenuhnya menolak makan, lari setiap kali melihat ibunya membawa semangkuk nasi. Setiap makan berlangsung 1-1,5 jam, dan Ibu H. seringkali harus membiarkan B. menonton TV atau menggunakan telepon agar ia mau menelan, atau mengejarnya untuk memaksanya makan sesendok demi sesendok. Baru-baru ini, B. menunjukkan tanda-tanda muntah, menangis, dan menolak membuka mulutnya untuk makan.
Khawatir anaknya kekurangan gizi, Ibu H. sering memasak bubur yang sangat kental, menambahkan banyak daging dan minyak, dan mencoba segala cara agar anaknya mau memakan semua makanan yang telah disiapkannya. Namun, anak itu makan semakin sedikit, dan secara bertahap menolak semua makanan yang ditawarkannya.
Anak tersebut hampir tidak mengalami kenaikan berat badan dalam 3-4 bulan terakhir, apalagi terus menurun setelah setiap kali sakit. Sang ibu sangat khawatir dan membawa anaknya ke Institut Gizi untuk meminta bantuan.
Ini adalah situasi "sehari-hari" yang sering dihadapi dokter di Institut Nutrisi. "Pemberian makan paksa" terjadi ketika orang tua atau pengasuh memaksa anak untuk makan meskipun anak tersebut tidak mau. Hal ini sering kali berakar dari kasih sayang dan kecemasan orang tua atau pengasuh yang takut anak mereka kekurangan nutrisi atau tumbuh lambat, sehingga mereka mencoba memberi makan anak mereka "sebanyak mungkin." Untuk mencapai tujuan ini, orang tua/pengasuh saat ini sering membujuk anak-anak dengan telepon, mainan, atau menjanjikan hadiah jika mereka makan; mereka memohon, memarahi, atau menyuapi meskipun anak tersebut menolak. Biasanya, anak-anak dipaksa makan selama lebih dari 30 menit untuk "menghabiskan porsi mereka." Tetapi pernahkah Anda "mendengarkan" apa yang dikatakan tubuh anak Anda?
Bagi anak-anak, makan adalah proses belajar dan pengalaman. Ketika dipaksa makan, makanan/hidangan bukan lagi sebuah kegembiraan, melainkan menjadi "pertempuran" antara orang tua dan anak. Orang tua mencurahkan seluruh kasih sayang mereka, dengan hati-hati memilih dan menyiapkan makanan bergizi untuk anak-anak mereka, berharap mereka akan makan semuanya dan tumbuh besar. Anak-anak menghindari makanan yang dikeluarkan orang tua mereka, bahkan menolak hanya dengan mendengar kata "makan." Banyak anak bereaksi dengan mengertakkan gigi, muntah, berpura-pura sakit perut, berpura-pura kenyang, diam-diam memuntahkan makanan, atau melakukan mogok makan sebagai bentuk perlawanan. Anak-anak tidak "berpura-pura"; tubuh mereka sedang mengalami serangkaian reaksi psikologis, fisiologis, dan endokrin yang nyata.
Reaksi psikologis berupa "ketakutan dan perlawanan": Ketika orang tua memaksa makan, memarahi, atau menggunakan nada tegang, anak-anak memicu refleks takut alami. Ketika rasa takut ini berulang kali terjadi, waktu makan menjadi sinyal negatif di otak. Saat waktu makan, anak-anak menjadi stres bahkan sebelum melihat makanan, jantung mereka berdebar kencang, tangan mereka berkeringat, dan mereka mungkin menangis, menghindari makanan, atau muntah secara refleks. Seiring waktu, anak-anak mengembangkan keengganan terhadap makanan, tidak lagi menemukan kegembiraan dalam makan, yang menyebabkan gangguan makan (anoreksia psikologis, makan selektif, atau takut menelan), yang meletakkan dasar bagi gangguan makan di masa remaja atau dewasa di kemudian hari.

Gambar ilustrasi
Respons hormonal: Tubuh "beralih ke mode pertahanan." Anak-anak memiliki sistem hormonal kompleks yang mengatur perilaku makan, termasuk ghrelin (hormon perangsang nafsu makan), leptin (hormon pengatur rasa kenyang), dan hormon pencernaan (CCK dan peptida YY). Ketika anak-anak dipaksa makan, seluruh sistem ini terganggu. Stres akibat pemberian makan paksa menyebabkan otak melepaskan hormon stres kortisol dan adrenalin. Hormon-hormon ini meningkatkan detak jantung, menyempitkan pembuluh darah, dan meningkatkan kewaspadaan (refleks naluriah yang membantu tubuh "bersiap untuk melawan bahaya"). Pada saat yang sama, tubuh menghambat aktivitas pencernaan dengan mengurangi sekresi air liur, cairan lambung, dan enzim pencernaan. Akibatnya, meskipun anak menelan makanan, lambung tidak mencernanya dengan benar, yang menyebabkan kembung, ketidaknyamanan, muntah, atau sembelit. Semakin takut dan stres anak saat makan, semakin tinggi kadar kortisol, dan semakin sistem pencernaan "mogok kerja." Itulah mengapa banyak orang tua melihat anak-anak mereka tidak bertambah berat badan meskipun mencoba memaksa mereka makan. Itu karena tubuh sedang "melawan" makanan tersebut.
Respons fisiologis: Tubuh kehilangan sinyal lapar-kenyang alaminya. Anak-anak dilahirkan dengan kemampuan untuk mengatur asupan makanan mereka sesuai dengan kebutuhan energi tubuh mereka. Ini adalah mekanisme fisiologis alami. Namun, ketika dipaksa makan dalam waktu lama, sinyal ini terganggu, dan otak tidak lagi secara akurat mengenali kapan ia kenyang karena anak dipaksa makan meskipun perutnya sudah penuh atau hampir penuh. Sebaliknya, perasaan lapar juga secara bertahap berkurang karena tubuh "terbiasa" dipaksa makan daripada bebas memilih kapan harus makan. Akibatnya, anak-anak makan semakin sedikit, atau makan tanpa merasakan apa pun, hanya menelan atas perintah. Seiring bertambahnya usia, anak-anak semakin sulit mengendalikan perasaan lapar-kenyang mereka, yang dengan mudah menyebabkan gangguan makan atau obesitas di masa depan.
Dampak jangka panjang pada perilaku dan emosi: Anak yang dipaksa makan seringkali mengembangkan sikap defensif terhadap orang yang memberi makan mereka (takut pada ibu, guru, atau meja makan) atau merasa bersalah ketika menolak makanan, dicap sebagai "anak nakal, ibu tidak penyayang" atau "membuang makanan adalah dosa." Anak tersebut kehilangan kepercayaan pada kemampuannya untuk mendengarkan tubuhnya sendiri. Pengalaman ini tidak hanya memengaruhi status gizi tetapi juga berdampak negatif pada perkembangan emosional dan kepercayaan diri anak. Seiring waktu, mereka mungkin kehilangan kemampuan untuk mengenali "sinyal peringatan" tubuh mereka, yang berpotensi membahayakan mereka tanpa menyadarinya.
Memaksa anak untuk makan tidak hanya membuat mereka "tidak ingin makan," tetapi juga menyebabkan otak, hormon, dan sistem pencernaan mereka bereaksi negatif. Begitu siklus buruk rasa takut – stres – gangguan pencernaan terbentuk, akan membutuhkan waktu jauh lebih lama untuk memperbaikinya daripada jika pemberian makan dilakukan dengan benar sejak awal. Oleh karena itu, alih-alih memaksa anak Anda untuk makan beberapa sendok lagi, bantulah mereka belajar mendengarkan tubuh mereka, merasakan kegembiraan makan, dan menyukai makan bersama keluarga. Itulah fondasi kesehatan fisik dan mental anak.
Departemen Komunikasi - Pendidikan Kesehatan (Sumber: Institut Gizi)
Sumber: https://yte.nghean.gov.vn/tin-hoat-dong/co-the-con-noi-gi-khi-bi-ep-an-987853






Komentar (0)