Ibu mencuci beras di panci besi tua, airnya tumpah, membuat tanganku dingin. Makan malam malam ini tidak banyak: semangkuk garam wijen dan sepanci sup sayur campur. Kami miskin, jadi kami sangat berhemat setiap kali badai datang. Ibu menyimpan beras dari panen sebelumnya, dan garam wijen yang dihaluskan dalam toples, mengeluarkan bau gosong yang samar. Aku duduk di dekat tungku, memperhatikan api yang lemah menyentuh kayu yang basah, asapnya menyengat mataku. Ibu meringkuk erat, tangannya melindunginya dari angin.
Nasinya matang dan harum. Ibu membuka tutup panci, uap mengepul, bercampur aroma wijen sangrai. Beberapa butir nasi menempel di sumpit, putih dan lengket. Ibu menuangkannya ke dalam empat mangkuk dan menaburkan garam wijen. Aku mengaduknya rata, biji wijen menempel di nasi, harum dan asin. Di luar, angin bertiup kencang, tikar bambu berderit seolah akan roboh, tetapi di dapur kecil, ada cahaya api dan aroma nasi panas—itu sudah cukup untuk menghangatkan kami.
Waktu kecil dulu, saya mengira garam wijen adalah hidangan untuk hari hujan. Setiap kali mendengar badai, ibu saya akan mengambil biji wijen untuk disangrai, mengaduknya rata di wajan, dengan api kecil yang kecil dan stabil. Aroma biji wijen sangrai tercium hingga ke teras, bercampur dengan aroma hujan, tanah lembap, dan jerami basah. Rumah kecil itu pun dipenuhi aroma harum itu. Saat itu, saya sering duduk di dekat pintu, mendengarkan angin yang bertiup melalui celah-celah atap dan mendengar perut saya yang lapar keroncongan ketika ibu saya menuangkan biji wijen ke dalam lumpang. Alu kayu itu ditabuh dengan mantap, dalam seperti lagu pengantar tidur di musim badai. Hidangan di hari badai pun tak banyak menawarkan hidangan. Beberapa sendok nasi panas, semangkuk garam wijen yang dihaluskan, terkadang sedikit acar terong, atau di hari-hari yang beruntung, sepiring ikan asin kering. Hujan di luar deras, angin menderu seakan mengoyak ruang.
Nasi dengan garam wijen di hari yang berangin, kupikir itu sulit, tetapi justru saat itulah aku melihat wujud cinta yang paling jelas. Ibu tak berkata apa-apa, hanya duduk diam di dekat nampan, tangannya menuangkan sesendok wijen untukku, matanya menatap lampu minyak yang hendak padam. Bayangannya jatuh di dinding, bergetar setiap kali tertiup angin. Saat itu, aku hanya tahu cara makan cepat agar bisa tidur, tak mengerti mengapa Ibu selalu duduk lama di akhir makan. Ketika aku dewasa, aku tahu Ibu berlama-lama mendengarkan, entah atap bocor, pintu bergetar, atau pohon jeruk bali di halaman patah tertiup angin. Lalu Ibu diam-diam membuka toples nasi, menyinarinya dengan cahaya, dan menghitung sisa makanannya. Kebiasaan itu telah menjadi kebiasaan seumur hidup: kekhawatiran selalu diukur dari setiap kaleng nasi, setiap biji wijen, setiap suara angin malam.
Keesokan paginya, badai telah berlalu. Langit cerah seolah baru saja disapu bersih oleh baskom besar berisi air hujan. Udara tercium aroma tanah lembap dan dedaunan busuk, aroma pengap yang anehnya menyenangkan. Atap genteng basah kuyup, menetes ke beranda. Halaman penuh dengan daun-daun berguguran, batang pisang patah, dan ranting-ranting jeruk bali yang terkulai. Ayam jantan berkokok serak seperti orang yang baru sembuh dari demam. Pohon-pohon pepaya bergoyang seolah-olah berjuang melawan kelelahan malam yang panjang. Ibu mengeluarkan alas bambu untuk dikeringkan, menggelar tikar, dan meletakkan panci berisi nasi dingin di atas kompor agar tetap hangat. Aku menaburkan sedikit garam wijen, mencelupkan ujung jariku ke dalamnya, dan mencicipinya. Rasanya masih asin, seperti kacang, dan harum seperti kemarin.
Bertahun-tahun kemudian, di tengah kota yang dipenuhi lampu dan klakson mobil, saya masih ingat aroma wijen yang terbakar di dapur tua. Suatu ketika, di tengah hujan deras, saya membeli kacang tanah kering dan garam, lalu memanggangnya sendiri di atas kompor gas. Asap mengepul, aroma terbakar menyesakkan tenggorokan saya. Ternyata, beberapa kenangan tak perlu utuh, aroma yang familiar saja sudah cukup untuk membuat orang pusing...
Sumber: https://baodaklak.vn/van-hoa-du-lich-van-hoc-nghe-thuat/van-hoc-nghe-thuat/202510/com-muoi-vung-ngay-bao-86d07d6/






Komentar (0)