Ada hari-hari ketika saya tiba-tiba teringat suara kapur bergesekan dengan papan tulis. Suara yang samar namun mampu membangkitkan sejuta kenangan. Di ruang kelas yang kecil, di tengah kata-kata yang tak terhitung jumlahnya, guru bagaikan penjaga matahari. Mereka mengumpulkan setiap semburat sinar matahari dari mata siswa, dari bacaan yang keras, dari halaman-halaman buku yang terbentang seperti sayap, lalu memberi kita sedikit kehangatan untuk dibawa seumur hidup.
Saya masih ingat guru SD saya yang dulu berdiri di dekat jendela saat mengajar. Katanya, cahaya di sanalah yang paling indah. Ia bercerita tentang puisi, tentang rima selembut air. Mungkin sejak saat itu saya belajar menghargai keindahan hidup yang halus, hal-hal yang tak bergema keras namun terpatri kuat di hati manusia.
Ada guru yang bagaikan sungai yang tenang: tak mewah, tak cerewet, mengalir tanpa henti sepanjang hari. Seperti wali kelas SMA, yang tak pernah bicara tentang cinta, tetapi setiap tatapannya penuh perhatian untuk setiap murid. Ia mengajarkan kita satu hal sederhana: "Tak seorang pun bisa memilih di mana ia memulai, tetapi setiap orang bisa memilih bagaimana ia melanjutkan." Pepatah itulah yang menahan saya di saat-saat paling tak pasti ketika saya tersandung di ambang pintu: universitas.
Guru bukan sekadar pengajar, mereka adalah sosok-sosok bisu yang meniup debu kehidupan dari pakaianku, agar aku dapat melangkah ke dunia yang luas dengan hati yang penuh semangat. Merekalah yang melihat potensiku. Mereka sabar menghadapi kecanggungan dan kecerobohanku, bagaikan seseorang yang mengangkat tunas lemah tertiup angin.
November adalah bulan karangan bunga, ucapan selamat yang ditulis terburu-buru, dan penghormatan penuh rasa terima kasih. Terkadang saya bertanya-tanya: apa yang membuat para guru tetap setia di podium seumur hidup? Kebaikan? Semangat? Atau keyakinan bahwa setiap anak memiliki cahayanya sendiri, asalkan ada yang cukup sabar untuk menyalakannya? Jawabannya hanya bisa dijawab dengan hati.
Suatu hari, aku kembali ke sekolah lamaku di suatu sore yang tak berangin. Halaman sekolah terasa luas dan sunyi seolah sedang tertidur, tetapi di bawah sudut pohon beringin tua, tawa para siswa masih menggantung di udara. Aku berdiri di sana cukup lama, mendengar suara aneh di hatiku. Rasanya waktu telah berlalu begitu jauh, tetapi para guru masih berdiri di sana dalam setiap langkah pertumbuhanku, dan juga banyak orang lainnya.
Mungkin, jika kita mendefinisikan sebuah profesi yang memanfaatkan kaum muda untuk membangun masa depan bagi orang lain, profesi itu pastilah mengajar. Mereka setenang sungai, tetapi sungai yang tenang itulah yang menyuburkan seluruh ladang hijau.
Hari Guru Vietnam bukan hanya kesempatan untuk mengungkapkan rasa syukur, tetapi juga kesempatan bagi kita untuk merenungkan diri. Hal-hal baik dalam diri kita saat ini, sebagian besar ditaburkan oleh tangan mereka yang memilih untuk berdiri di tempat tertinggi dan paling sepi di dunia masa kanak-kanak: podium.
Asli
Sumber: https://baodongnai.com.vn/van-hoa/chao-nhe-yeu-thuong/202511/dau-nang-tren-buc-giang-a2313f0/






Komentar (0)