Guru itu duduk di kursi sambil memberikan ceramah.
Tongkat kayu diletakkan di samping meja
Dimana kaki?
Kami tidak tahu.
Setiap pagi bom Amerika jatuh
Pohon royal poinciana tumbang dan genteng-genteng sekolah tercabut.
Permukaan papan tulis penuh dengan bom.
Guru itu mengambil pistolnya dan pergi.
Latihan membaca mengajarkan kita hal-hal yang belum selesai
Royal poinciana
Bunga royal poinciana membakar sudut langit bagai api.
Tahun ini guru kembali
Senyumnya masih utuh seperti sebelumnya
Namun satu kakinya hilang.
Oh kaki
Dicetak di gerbang sekolah pada sore yang dingin
Dicetak di gerbang sekolah pada malam hujan
Bekas kruk di kedua sisi tampak seperti dua baris lubang.
Kami mengenali kaki guru itu.
Seperti menyadari ketidaksempurnaan
dari hidupku
Kaki gurunya tertinggal di Khe Sanh.
Or Tay Ninh, Dong Thap ?
Kaki menginjak kepala musuh
Untuk alasan hidup sebagai manusia.
Saya mendengarkan setiap perkataan guru itu.
Menggetarkan banyak pikiran
Dengarkan gema langkah kaki yang dalam yang berperang melawan Amerika
Dengarkan gema panggilan pertempuran.
Aku melewati panjangnya cinta
Kedalaman negara
Mengikuti jejak guru tahun lalu
Dan kaki guru, kaki yang hilang
Tetap menuntun kita menjalani hidup.
" Kaki Guru" tak hanya menggambarkan sosok guru—seseorang yang menyebarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga melambangkan seorang prajurit—seseorang yang melindungi negara. Melalui gambaran "kaki guru", penyair Tran Dang Khoa menulis puisi yang tenang namun menyentuh, penuh rasa syukur bagi generasi guru dan bagi rakyat Vietnam yang telah berkorban demi Tanah Air.
Puisi ini dibuka dengan adegan yang familiar di ruang kelas desa, sederhana namun hangat: Sang guru duduk di kursi memberi kuliah/Sepasang kruk kayu diletakkan di samping meja/Di mana salah satu kakinya/Kita tak tahu. "Sang guru duduk memberi kuliah", masih guru lama yang sama yang berbakti kepada murid-muridnya, tetapi di sampingnya ada "sepasang kruk kayu" - sisa-sisa perang. Pertanyaan "di mana salah satu kakinya" bukan hanya kepolosan para siswa, tetapi juga keterkejutan dan emosi seluruh generasi ketika mereka menyadari: orang yang menabur kata-kata hari ini adalah orang yang mengangkat senjata untuk melindungi negara kemarin.
Bait berikutnya adalah transisi emosional penyair untuk menggambarkan momen ketika sang guru meninggalkan podium untuk pergi ke medan perang. Penyair menggunakan serangkaian gambaran yang tercantum untuk menggeneralisasi kenyataan pahit hari itu: "bom Amerika", "atap sekolah berubin", "papan tulis penuh lubang bom". Gambaran puitis yang unik ini tidak hanya menggambarkan kebrutalan perang, tetapi juga menunjukkan bahwa sekolah—tempat ilmu pengetahuan ditaburkan—juga merupakan garda terdepan patriotisme. Gambaran "latihan membaca yang belum selesai" memiliki banyak lapisan makna: pelajaran yang belum selesai, mimpi yang belum selesai, masa kecil yang belum selesai, dan juga sebuah kelanjutan karena "pelajaran" itu mengikuti sang guru ke medan perang, berubah menjadi pelajaran tentang menjadi manusia. Bait "Bunga poinciana kerajaan membakar sudut langit bagai api" bersifat realistis sekaligus metaforis: warna merah poinciana kerajaan berpadu dengan warna darah, warna cita-cita, warna pemuda yang siap berkorban.
Betapa mengharukannya, ketika perang usai, sang guru kembali: Tahun ini sang guru kembali/Senyumnya masih utuh seperti sebelumnya/Namun satu kaki telah hilang. Hanya dengan tiga baris puisi, sang penulis membuat pembaca terdiam. "Senyum yang utuh" melambangkan semangat optimis dan gigih sang prajurit. "Satu kaki telah hilang" - bukan ratapan, melainkan tanda waktu, darah dan tulang yang ditinggalkan sang guru untuk negara. Kehilangan sang guru adalah agar para siswa masih dapat duduk di sekolah yang damai hari ini.
Namun mungkin bagian tengah puisi adalah bagian yang paling emosional, di mana "kaki guru" menjadi simbol pengorbanan dan ketangguhan, menggerakkan dan menggugah hati pembaca: Oh kaki/Tercetak di gerbang sekolah pada sore yang dingin/Tercetak di gerbang sekolah pada malam-malam yang hujan/Bekas kruk di kedua sisinya seperti dua baris lubang/Kita mengenali kaki guru/Seperti mengenali ketidaksempurnaan/hidup kita. "Ketidaksempurnaan hidup kita" adalah penemuan yang sangat manusiawi, karena "ketidaksempurnaan" itu adalah kesempurnaan kepribadian, luka yang berubah menjadi martabat. Guru tidak mengeluh, tidak bersembunyi, tetap pergi, tetap mengajar, tetap menabur kata-kata dengan kakinya yang tersisa; dan itulah sebabnya puisi itu mengangkat guru ke tingkat simbol dedikasi diam.
Lagipula, keindahan puisi ini terletak pada kenyataan bahwa penyair tidak memisahkan guru dari prajurit, melainkan membiarkan kedua citra itu menyatu, keduanya berawal dari cita-cita hidup untuk rakyat, untuk Tanah Air. Berkat itu, citra guru tampak sederhana sekaligus agung, penuh kualitas epik. "Kaki guru" bukan hanya luka, tetapi juga "kaki yang menginjak kepala musuh", jejak seorang pahlawan yang berjuang demi "alasan untuk hidup sebagai manusia". Dalam alur puisi, "kaki" perlahan-lahan melampaui makna sebenarnya, menjadi simbol semangat juang dan kebanggaan nasional.
Bait terakhir mengangkat "kaki guru" ke tingkat umum, menjadi sebuah gambaran simbolis. Dari "panjangnya cinta" hingga "dalamnya negeri", terdapat dua sumbu ruang dan waktu dalam puisi tersebut. "Kaki guru"—meskipun "hilang"—tetap "menuntun kita menjalani hidup": sebuah gambaran yang menyentuh. Di sini, "kaki guru" telah melampaui segala keterbatasan fisik untuk menjadi tanda cita-cita, dedikasi, dan keyakinan yang tak pernah pudar.
Nilai utama puisi ini terletak pada nadanya yang alami, penuh perasaan, namun kaya akan resonansi. Struktur dan alur emosionalnya dikembangkan dalam kilas balik: dari masa kini ("sang guru duduk di kursi memberi kuliah") ke masa lalu perang ("sang guru mengangkat senjatanya dan pergi"), lalu kembali ke masa kini yang damai ("tahun ini sang guru kembali") dan ditutup dengan refleksi filosofis ("kaki yang hilang/masih menuntun kita menjalani hidup"). Struktur itulah yang menjadikan puisi ini seperti film kenangan, dengan pembukaan, penutupan, klimaks, dan akhir yang emosional; bahasa puitisnya sederhana, sedekat percakapan, tetapi mengandung penggambaran yang mendalam. Khususnya, pengulangan kata "kaki guru" di sepanjang puisi berfungsi untuk menekankan sekaligus menciptakan ritme yang stabil seperti langkah kaki yang tak henti-hentinya – langkah kaki sang guru, sang prajurit, dan juga sejarah bangsa yang terus bergerak maju.
Karya ini mengingatkan kita bahwa perdamaian hari ini dibeli dengan darah dan air mata manusia yang tak terhitung jumlahnya. Karya ini juga membangkitkan rasa hormat pembaca terhadap profesi guru—profesi yang menabur benih jiwa, sekaligus berkontribusi dalam melestarikan semangat suci bangsa.
Sumber: https://baodaklak.vn/van-hoa-du-lich-van-hoc-nghe-thuat/van-hoc-nghe-thuat/202511/goi-khac-dau-chan-nguoi-gioi-gioi-va-giu-nuoc-a201785/






Komentar (0)