Rektor Universitas Sains dan Teknologi Hanoi, Jean Marc Lavet, menyampaikan pidato pembukaan seminar tersebut. (Foto: To Duyen) |
Yang hadir dalam acara tersebut adalah Bapak Olivier Brochet, Duta Besar Prancis untuk Vietnam; Bapak Jean Marc Lavet, Rektor Universitas Sains dan Teknologi Hanoi ; Ibu Claudie Haigneré, astronaut wanita Prancis pertama yang terbang ke luar angkasa; Bapak Jean-Pierre Haigneré, pilot Angkatan Udara Prancis dan mantan astronaut Pusat Studi Luar Angkasa Nasional Prancis (CNES) serta dosen dan mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Hanoi.
Dalam pidato pembukaannya, Rektor Universitas Sains dan Teknologi Hanoi, Jean Marc Lavet, menyampaikan kehormatannya menyambut tamu-tamu terhormat dari Prancis dan Vietnam. Beliau menekankan bahwa universitas merupakan pusat ilmu pengetahuan, "jantung" sains dan teknologi, sekaligus tempat untuk mendidik generasi muda dalam mengemban misi pembangunan. Universitas Sains dan Teknologi Hanoi merupakan bukti nyata kerja sama yang efektif antara Vietnam dan Prancis di bidang pendidikan dan kebudayaan.
Menurut Rektor Lavet, acara yang dihadiri oleh para ilmuwan, politisi, dan tokoh-tokoh berpengaruh internasional ini tidak hanya menghadirkan kisah-kisah inspiratif bagi mahasiswa, tetapi juga menegaskan pentingnya kerja sama internasional dalam memajukan ilmu pengetahuan dan kreativitas. Ia berharap mahasiswa dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk belajar, bertukar pikiran, mengembangkan aspirasi, dan berintegrasi secara global dengan percaya diri.
Ambil risiko, lampaui dirimu sendiri
Pada 16 Juli 1969, misi Apollo 11 NASA pertama kali mendaratkan manusia di Bulan, menandai "sebuah langkah kecil bagi manusia" tetapi "sebuah lompatan raksasa bagi umat manusia". Momen bersejarah itu memicu hasrat Claudie Haigneré terhadap fiksi ilmiah dan impiannya untuk menaklukkan luar angkasa. Ia memulai kariernya sebagai ahli reumatologi di Rumah Sakit Cochin (Paris), tetapi kemudian pada tahun 1985 ia direkrut oleh Pusat Penelitian Luar Angkasa Nasional Prancis. pemilihan astronot
Sebagai satu-satunya kandidat perempuan yang terpilih, Ibu Haigneré menjadi perempuan Prancis pertama yang terbang ke luar angkasa pada tahun 1996, membuka perjalanan komitmen terhadap penelitian ilmu luar angkasa.
Claudie Haigneré adalah astronaut perempuan Prancis pertama yang terbang ke luar angkasa. (Foto: To Duyen) |
Berbicara tentang proses partisipasi dalam proyek ini, Ibu Haigneré mengatakan bahwa para ilmuwan harus mempersiapkan diri dengan sangat cermat di Bumi, menyusun prosedur yang ketat, dan mensimulasikan berbagai situasi. Namun, dalam lingkungan tanpa gravitasi, persyaratannya jauh lebih ketat. Laboratorium harus mengandalkan orbit yang memungkinkan mereka untuk langsung melakukan berbagai penelitian yang sebelumnya hanya dapat dilakukan di Bumi, seperti kultur sel atau analisis data biologis. Ini merupakan langkah maju yang penting, membantu menghemat waktu dan meningkatkan akurasi.
Menurut astronaut perempuan tersebut, percobaan-percobaan ini telah memberikan sumbangan penting bagi ilmu pengetahuan, khususnya di bidang kedokteran dan biologi, membantu umat manusia lebih memahami perubahan tubuh manusia di lingkungan luar angkasa, sehingga membuka arah bagi pengembangan metode pengobatan baru, serta mempersiapkan misi-misi lain di masa mendatang.
Selain itu, Ibu Haigneré secara khusus menekankan peran generasi muda, terutama mahasiswi, dalam menumbuhkan minat terhadap sains dan berani memasuki bidang-bidang baru seperti kedirgantaraan. Sang ilmuwan mendorong kaum muda untuk tidak hanya berhenti bermimpi, tetapi juga secara proaktif mencari peluang, berpartisipasi dalam proyek penelitian, dan bergandengan tangan membangun inisiatif internasional. Pada saat yang sama, beliau berpesan kepada para mahasiswi: Percaya dirilah dalam menerima tantangan, karena tekad akan meneguhkan posisi Anda dalam komunitas ilmiah. Menurut beliau, keberagaman pendekatan dan kontribusi baik laki-laki maupun perempuan akan membuka banyak arah baru, menghadirkan solusi yang lebih kaya dan berkelanjutan bagi pembangunan manusia.
Dalam paparannya, Ibu Haigneré menekankan bahwa kaum muda tidak perlu mengikuti model ideal, melainkan harus mampu menemukan jalan mereka sendiri, memupuk impian mereka, dan berani mewujudkannya. Terkadang, yang berharga bukanlah tujuannya, melainkan perjalanan mengejar impian – tempat setiap orang mengumpulkan pengalaman, menjadi dewasa, dan memetik banyak pelajaran berharga. Astronot perempuan ini mendorong generasi muda untuk berfokus membangun hubungan yang dilandasi kepercayaan, pemahaman budaya, dan rasa hormat terhadap perbedaan, sehingga membuka pintu bagi kerja sama yang beragam dan berkelanjutan.
Claudie Haigneré pada penerbangan pertamanya ke luar angkasa pada tahun 1996. (Sumber: ESA) |
Khususnya, ketika ditanya tentang sumber motivasi yang membantunya mengatasi kesulitan, Ibu Haigneré bercerita bahwa ia selalu mengingat pepatah: "Berhati-hatilah dan luangkan waktu - Ketahui cara merawat diri sendiri, luangkan waktu untuk mempersiapkan diri, berani mengambil risiko, dan atasi diri sendiri. Kegagalan memang bisa terjadi, tetapi dari situlah kita belajar banyak hal."
Menurutnya, persiapan yang matang, kemampuan menangani situasi darurat secara mandiri, dan semangat yang teguhlah yang membantu para astronaut mengatasi tantangan. Saat ini, teknologi modern memang mendukung lebih banyak hal, tetapi kemauan dan keberanian manusia tetap menjadi faktor penentu untuk menaklukkan perjalanan di luar angkasa.
Selain itu, dalam wawancara dengan wartawan World and Vietnam Newspaper , Ibu Claudie Haigneré menekankan pentingnya kerja sama internasional di berbagai bidang, termasuk kedirgantaraan. Kerja sama ini akan menciptakan peluang bagi Vietnam untuk mengakses teknologi, pengalaman, dan perspektif multidimensi. Ilmuwan perempuan ini juga menekankan bahwa generasi muda merupakan faktor penting yang perlu difasilitasi dalam penelitian kreatif untuk menghasilkan banyak ide yang dapat berkontribusi pada pengembangan industri kedirgantaraan Vietnam.
Claudie Haigneré adalah seorang rheumatologist, peneliti dan astronaut, wanita Prancis pertama yang terbang ke luar angkasa (misi luar angkasa pada tahun 1996 dan 2001), dan wanita Eropa pertama yang menginjakkan kaki di Stasiun Luar Angkasa Internasional ISS. Ibu Haigneré menjabat sebagai Menteri Riset Prancis (2002-2004) dan Menteri Urusan Eropa (2004-2005). Beliau memimpin sistem Universcience dan dua pusat ilmiah afiliasinya (Discovery Power dan Science City) selama 6 tahun (2009-2015). Di Badan Antariksa Eropa (ESA), sebagai penasihat Direktur Jenderal, beliau berfokus pada kebijakan antariksa Eropa dan program eksplorasi bulan hingga tahun 2020. Sebagai anggota Institut Teknologi Prancis (Académie des Technologies), ia berkontribusi pada banyak kelompok kerja yang mengkhususkan diri dalam inovasi dan dianggap sebagai sosok inspiratif, terutama dalam mendorong kaum muda dan wanita untuk menekuni sains dan teknologi. |
Ringkasan diskusi. (Foto: To Duyen) |
Untuk lebih mencintai Bumi
Menemani istrinya dalam perjalanan menjelajahi luar angkasa, Bapak Jean-Pierre Haigneré, mantan astronaut CNES dan suami dari Ibu Claudie Haigneré, mengatakan bahwa bidang kedirgantaraan selalu penuh tantangan besar, yang membutuhkan persiapan matang dan semangat yang teguh. Mulai dari meneliti lingkungan tanpa gravitasi, mendaur ulang sumber air di pesawat ruang angkasa, hingga melindungi kesehatan astronaut dengan latihan khusus, semuanya merupakan bukti upaya manusia yang tak henti-hentinya dalam beradaptasi dengan kondisi keras di luar Bumi.
Bapak Jean-Pierre Haigneré, mantan astronaut CNES, menegaskan bahwa hubungan kerja sama Vietnam-Prancis semakin diperkuat dan diperluas, dengan bidang kedirgantaraan sebagai titik terang. (Foto: To Duyen) |
Eksperimen di luar angkasa, menurut mantan astronaut tersebut, tidak hanya membantu dunia kedokteran lebih memahami kemampuan tubuh manusia untuk beradaptasi dan berevolusi, tetapi juga membuka arah baru dalam memecahkan masalah global, mulai dari perawatan kesehatan hingga pengembangan teknologi. Selain itu, data satelit memainkan peran yang semakin penting, membantu memantau kenaikan muka air laut, mengamati perubahan iklim, dan memprediksi bencana alam. Pengalaman langsung dari orbit, menyaksikan polusi, penurunan hutan Amazon, atau perubahan atmosfer, telah membuat Bapak Haigneré semakin menyadari urgensi melindungi planet biru, satu-satunya rumah bagi umat manusia.
"Pada penerbangan kedua, kami melihat Afrika Selatan, melihat naiknya permukaan air laut, melihat kebakaran hutan di Amazon... Ini adalah hal-hal yang tidak dapat dilihat di darat," ujarnya.
Selain itu, Bapak Haigneré menekankan bahwa hubungan kerja sama Vietnam-Prancis semakin diperkuat dan diperluas, di mana bidang kedirgantaraan telah menjadi titik terang yang menunjukkan kedalaman kerja sama ilmiah dan diplomasi strategis antara kedua negara.
Selama bertahun-tahun, kedua belah pihak telah melaksanakan program kerja sama bersama, mulai dari penggunaan data satelit untuk memantau atmosfer dan memperkirakan perubahan iklim, hingga mengembangkan satelit kecil dan membangun pusat kendali di Vietnam.
Oleh karena itu, Prancis siap mendampingi Vietnam dalam pelatihan sumber daya manusia, transfer teknologi, dan perluasan kerja sama internasional. Hal ini bukan hanya dukungan ilmiah, tetapi juga menunjukkan komitmen diplomatik jangka panjang, yang meletakkan dasar bagi kedua negara untuk bersama-sama memajukan industri sains antariksa di masa kini dan masa depan.
Mantan astronaut itu juga menyinggung peran generasi muda Vietnam, dan menyatakan bahwa dinamisme, kreativitas, dan semangat progresif kaum muda akan menjadi kekuatan pendorong penting bagi negara Asia Tenggara itu untuk melangkah lebih jauh di bidang kedirgantaraan, sekaligus berkontribusi pada pembangunan bersama umat manusia.
Para delegasi berfoto kenang-kenangan bersama mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Hanoi. (Sumber: Kedutaan Besar Prancis di Vietnam) |
Selama kunjungan kerja Tuan dan Nyonya Haigneré ke Vietnam, Vietnam akan bergabung dengan proyek Observatorium Bumi SCO (SCO) melalui upacara penandatanganan Komitmen SCO oleh Akademi Sains dan Teknologi Vietnam. Setelah upacara penandatanganan ini, kursus musim panas kelima tentang Observasi Bumi akan diadakan dari tanggal 13-17 Oktober di Pusat Internasional untuk Sains dan Pendidikan Interdisipliner (Quy Nhon). Kursus ini merupakan salah satu kegiatan Tahun Inovasi Vietnam-Prancis, yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Prancis, dengan fokus pada observasi laut. Acara ini berkaitan dengan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Kelautan (UNOC-3) yang berlangsung di Nice (Prancis) pada Juni 2025, di mana delegasi Vietnam yang dipimpin oleh Perdana Menteri Pham Minh Chinh secara aktif berkontribusi pada keberhasilan keseluruhan. |
Sumber: https://baoquocte.vn/hop-tac-viet-phap-hanh-trinh-sang-tao-khoa-hoc-va-cham-toi-vu-tru-328716.html
Komentar (0)