Namun, pernahkah ada yang bertanya-tanya: Sepanjang sejarah, apa lagi yang tercermin dalam makanan dan minuman selain rasa dan identitas? Pertanyaan ini dijawab oleh penulis Erica J. Peters dalam buku "Pleasure and Desire or the Story of Food and Drink in the 19th Century Vietnam" (diterjemahkan oleh Trinh Ngoc Minh, Ho Chi Minh City General Publishing House, 2023) dengan menunjukkan bahwa makanan bukan hanya untuk makan dan minum, tetapi juga cermin yang mencerminkan kekuatan, status, dan aspirasi masyarakat Vietnam di masa sejarah yang penuh gejolak. Buku ini memenangkan hadiah C dari Penghargaan Buku Nasional ke-7, 2024.

Sampul buku.

Kembali ke masa lalu, penulis Erica J. Peters membawa pembaca kembali ke abad ke-19 ketika menempatkan makanan dalam kaitannya dengan politik dan sastra. Seperti di istana, masakan diangkat menjadi simbol kekuasaan melalui cara menyiapkan makanan yang lezat dan eksotis. Selama masa pemerintahan Raja Tu Duc, "setiap hidangan terdiri dari 50 hidangan, yang disiapkan oleh tim yang terdiri dari 50 koki. Bahan-bahan yang ditawarkan semuanya adalah produk terbaik Vietnam." Di balik pesta-pesta yang megah itu terdapat kemarahan ketika makanan khas disingkirkan dari pedesaan dan jatah makanan menjadi tanda ketidakadilan ketika kelaparan dan gagal panen masih sering terjadi. Atau Trinh Hoai Duc dalam "Gia Dinh Thanh Thong Chi" menggambarkan wilayah Selatan yang kaya dan beragam dalam makanan dan minuman untuk menyerukan reklamasi lahan dan mendorong migrasi. Dan dalam puisi Ho Xuan Huong, nangka, bola nasi ketan, dan kue terapung bukan sekadar makanan tetapi juga membangkitkan ketidaksetaraan gender dan keinginan untuk kebebasan. Oleh karena itu, masakan tidak hanya menyehatkan orang tetapi juga berpartisipasi dalam wacana sosial sebagai alat untuk membedakan kelas dan mengungkap ketidakadilan.

Salah satu hal yang menarik dari karya ini adalah cara penulis menggambarkan hubungan kuliner antara orang Prancis dan Vietnam selama masa penjajahan Prancis. Orang Prancis datang ke Vietnam dengan kekhawatiran tentang makanan lokal. Mereka memilih makanan kaleng dan mempertahankan cara pengolahan mereka sendiri bukan karena kenyamanan, tetapi terutama untuk menghindari rasa tidak aman. Namun, batasan itu tidak terlalu kuat, karena di dapur, orang Vietnam masih menjadi juru masak, asisten juru masak, dan pelayan langsung, yang secara bertahap membawa cita rasa lokal ke meja perjamuan Prancis. Di sisi lain, kelas menengah Vietnam mulai belajar cara makan makanan kaleng dan menikmati buah-buahan impor untuk memamerkan perbedaan mereka dan menegaskan status sosial mereka. Sejak saat itu, makanan menjadi alat untuk memasuki kelas atas, sebelum diubah menjadi senjata politik oleh gerakan nasional melalui perjuangan melawan monopoli alkohol, garam, dan saus ikan, membuka jalan untuk menghubungkan isu kuliner dengan pembebasan nasional dan kelas di kemudian hari.

Penulis Erica J. Peters melihat lebih jauh dari sekadar dapur, menempatkannya dalam hubungan yang lebih luas dengan kekuasaan, masyarakat, budaya, dan aspirasi manusia. Melalui beragam sumber seperti buku sejarah, surat, dan literatur, penulis menunjukkan bahwa makanan bukan hanya cerminan rasa, tetapi juga cerminan periode penuh gejolak dalam sejarah Vietnam.

Isi buku ini menunjukkan bahwa kuliner bukan sekadar tentang makan dan minum. Di balik sebutir nasi, sepotong kue, atau minuman terdapat tanda-tanda stratifikasi sosial, benturan budaya, dan perjalanan pencarian jati diri, yang meneguhkan hak hidup manusia, dan terlebih lagi hak hidup bangsa. Oleh karena itu, buku ini tidak hanya menarik minat pembaca yang tertarik pada kuliner, tetapi juga bagi mereka yang mencintai sejarah, budaya, dan politik karena setiap halamannya mengungkap kisah tentang manusia dan masa lalu.

    Sumber: https://www.qdnd.vn/van-hoa/sach/ket-noi-van-hoa-doc-ke-cau-chuyen-thoi-dai-qua-am-thuc-1007502