Dalam konteks kecerdasan buatan yang merevolusi industri musik global, pertanyaan "apakah sebuah lagu diciptakan oleh manusia atau oleh AI?" bukan lagi sekadar masalah akademis, tetapi telah menjadi isu hukum, ekonomi , dan etika.
Berbicara kepada wartawan internasional di acara Global Media Meet-up baru-baru ini di Seoul, Korea Selatan, perusahaan rintisan teknologi Korea Selatan MIPPIA memperkenalkan solusi inovatif: platform AI yang mendeteksi plagiarisme dan mengidentifikasi musik yang dihasilkan AI dengan tingkat akurasi lebih dari 98%.
Krisis hak cipta di era AI.
Menurut MIPPIA, industri musik global sedang menghadapi "krisis senyap." Gugatan terkait plagiarisme meningkat, melibatkan artis internasional seperti Ed Sheeran dan Mariah Carey, serta grup K-pop.
Diperkirakan industri ini dapat kehilangan lebih dari 1 miliar euro pada tahun 2028 karena sengketa hak cipta, sementara sekitar 30 juta musisi menghadapi risiko hukum terkait plagiarisme.
Ledakan perangkat lunak pembuatan musik berbasis AI seperti Suno dan Udio semakin memperumit masalah ini. Banyak label rekaman besar, seperti Sony Music, Universal Music, dan Warner Music, telah menggugat perusahaan AI atas pelanggaran hak cipta. Sebaliknya, beberapa otoritas hak cipta mulai mewajibkan artis untuk membuktikan bahwa lagu-lagu mereka tidak dibuat oleh AI.
“Industri musik kekurangan standar teknis yang jelas untuk membedakan antara karya manusia dan produk AI. Itulah celah yang ingin diisi oleh MIPPIA,” ujar Go Seonghyeon, CTO MIPPIA.
Analisis musik sebagai… musik
Berbeda dengan banyak solusi yang ada saat ini yang menganalisis suara pada tingkat sinyal audio, MIPPIA mendekati musik sebagai konstruksi artistik yang utuh.
Platform ini menganalisis lagu berdasarkan komponen-komponennya seperti bait, pra-refrain, refrain, progresi akord, melodi, dan struktur keseluruhan—bahkan jika lagu tersebut telah di-remix, tempo diubah, atau kunci diubah.
Teknologi inti MIPPIA didasarkan pada model "transkripsi segmen", yang mengubah audio mentah menjadi data musik (nada, akord, struktur), kemudian membandingkannya dengan basis data besar melalui model pembelajaran mesin yang memantau diri sendiri. Hasilnya, sistem ini tidak hanya menyimpulkan "apakah" sebuah karya musik serupa atau tidak, tetapi juga menjelaskan mengapa dua lagu dianggap serupa, atau mengapa sebuah karya musik tertentu menunjukkan tanda-tanda dihasilkan oleh AI.
"Kami tidak hanya mengatakan satu lagu mirip dengan lagu lainnya, tetapi kami juga menunjukkan bagian mana yang mirip, sejauh mana kemiripannya, dan secara musikal. Ini sangat penting dalam sengketa hukum," tegas Go.
Pertumbuhan global dan model bisnis yang gesit
Hanya satu tahun setelah diluncurkan, MIPPIA telah menarik sekitar 45.000 musisi di 149 negara, dengan tingkat pertumbuhan pengguna bulanan sekitar 30%. Platform ini saat ini melayani lebih dari 30.000 musisi reguler dan mendekati 50.000 pengguna.
MIPPIA mengimplementasikan berbagai model bisnis secara bersamaan:
B2C: Paket gratis untuk pengujian dasar, beserta paket berbayar untuk musisi profesional.
B2B: Layanan penyaringan risiko album pra-rilis, dukungan pengambilan keputusan label rekaman, dan pemantauan plagiarisme pasca-rilis.
API: Memungkinkan platform musik dan perusahaan teknologi untuk secara langsung mengintegrasikan deteksi plagiarisme dan kemampuan musik yang dihasilkan oleh AI.
MIPPIA telah bermitra dengan banyak pihak di Korea Selatan dan Jepang, dan sedang bekerja sama dengan distributor dan platform musik di Amerika Serikat. Jepang dianggap sebagai "gerbang strategis" karena pasar musiknya bernilai sekitar $12 miliar dan budaya perlindungan kekayaan intelektualnya yang kuat.
Visi jangka panjang: Standar baru untuk hak cipta musik.
Di luar alat deteksi yang dimilikinya, MIPPIA bertujuan untuk membangun standar baru untuk pendaftaran dan pengelolaan hak cipta musik di era AI. Perusahaan ini berupaya untuk berkolaborasi dengan organisasi internasional seperti CISAC, mengembangkan sistem pendaftaran musik berbasis AI dan mekanisme transparan untuk perizinan data kekayaan intelektual musik.
"AI bukanlah musuh kreativitas. Tetapi agar AI dapat berkembang secara berkelanjutan, kita membutuhkan alat yang menjamin keadilan bagi para kreator," tegas Go.
Dalam konteks pasar negara berkembang seperti Vietnam yang menyaksikan ledakan komunitas kreatif di platform digital, solusi seperti MIPPIA dapat menjadi infrastruktur penting, membantu melindungi hak-hak artis dan membangun ekosistem musik yang lebih transparan di era kecerdasan buatan.
Sumber: https://www.vietnamplus.vn/mippia-khi-tri-tue-nhan-tao-tro-thanh-la-chan-bao-ve-ban-quyen-am-nhac-toan-cau-post1083126.vnp






Komentar (0)