Sebelum badai tiba, pengeras suara di lingkungan itu meraung-raung tanpa henti, mengingatkan setiap keluarga untuk bersiap menghadapi badai. Orang dewasa dan anak-anak berlarian ke gang-gang dan halaman. Wajah semua orang cemas, tetapi mata mereka tetap memancarkan ketenangan, seolah mereka terbiasa dengan tantangan dunia dan langit. Para perempuan dan ibu-ibu sibuk mencuci beras, menata toples saus ikan, botol minyak, dan menata barang-barang penting di rumah. Para lelaki memanjat atap genteng, mengikat bambu erat-erat, memperkuat pagar, dan menambahkan panel-panel. Seluruh lingkungan tampak bernapas serempak, bersiap menghadapi "amarah" yang akan datang.
Rumahku pun sama. Seperti kebiasaan yang sudah mendarah daging, ibuku dengan cermat menutup jendela, mendorong meja dan kursi ke sudut, dan mengisi tempayan dengan air untuk berjaga-jaga jika listrik atau air padam. Wajahnya serius, gerakannya lambat namun tegas, layaknya seorang prajurit yang terbiasa bertempur. Aku tahu mengapa ibuku begitu berhati-hati, karena sering kali ia harus begadang semalaman, menyalakan lampu untuk berjaga-jaga terhadap setiap angin kencang. Aku hanya bisa duduk diam di sudut ruangan, memperhatikan sosoknya yang kurus di bawah lampu minyak kuning, hatiku dipenuhi emosi: cinta untuk ibuku, kekhawatiran, dan ketidakberdayaan karena aku tak mampu membantu. Ayahku sedang bekerja jauh di tempat dan jarang pulang. Maka di hari-hari badai, hanya aku dan ibuku yang saling bersandar untuk saling mendukung.
Ilustrasi: Le Ngoc Duy |
Kenangan malam-malam badai itu masih membekas. Angin menderu di luar, genteng-genteng berderak, dan seisi rumah bergetar seolah tubuhku yang lelah melawan kekuatan tak kasat mata. Di mata kekanak-kanakanku, bukan hanya angin dan hujan di luar, tetapi monster raksasa yang meraung dan menghancurkan segalanya. Aku meringkuk, menggigil, dan membenamkan wajahku di pelukan ibuku, seolah mencari tempat berlindung yang paling aman. Syukurlah, rumahku dibangun di atas gundukan tanah yang tinggi dan kokoh, jadi meskipun takut, aku merasa aman. Namun, saat itu, kecemasanku kembali muncul ketika teringat Thao, sahabatku di ujung desa, dekat tepi sungai besar. Setiap musim banjir, air sering menggenangi halamannya. Aku bertanya-tanya, apakah rumah kecil Thao cukup kuat untuk menahan angin kencang di luar. Apakah sahabatku meringkuk di pelukan ibunya, seaman aku sekarang, ataukah ia panik dan menatap air yang menunggu di luar gerbang?
Hujan turun deras, deras dan tak henti-hentinya, seolah ingin menyapu segalanya. Jalan desa yang familiar tiba-tiba berubah menjadi sungai berlumpur, airnya meluap melewati pagar, membawa dedaunan gugur dan ranting-ranting kering. Kebun tampak gersang, bergoyang tertiup angin. Namun, penduduk desaku tetap tak gentar. Di bawah cahaya lampu minyak yang berkelap-kelip, menebarkan bayangan di atap-atap yang basah, tangan-tangan kapalan dengan sabar mengikat setiap panel pagar bambu, menambal celah-celah yang membiarkan angin masuk.
Musim badai di kampung halaman saya bukan hanya soal kekhawatiran akan makanan dan sandang, perjuangan melawan alam, tetapi juga musim cinta antarmanusia. Ketika angin dan badai di luar menderu, di desa lampu-lampu minyak masih berkelap-kelip. Orang-orang saling mampir ke rumah, bertukar paket beras, butiran garam, beberapa botol air, atau sekadar berjabat tangan, sebuah kata penyemangat yang hangat. Di tengah kabut hujan dan angin, orang-orang masih melihat nyala api cinta, berbagi, dan kasih sayang Vietnam Tengah, yang sama abadinya dengan tanah ini.
Ibu saya sering berkata: "Badai datang dan pergi, tetapi cinta tetap ada." Sungguh, setelah setiap badai, ketika genteng-genteng masih berantakan dan kebun-kebun gundul, warga kota kelahiran saya membangun kembali kehidupan mereka bersama-sama. Suara sapu menyapu halaman, suara orang-orang saling memanggil, suara tawa bercampur kesulitan... semuanya berpadu menjadi lagu kebangkitan.
Aku mencintai penduduk Vietnam Tengah, tempat dengan tanah sempit, cuaca keras, tempat badai telah menjadi bagian dari kehidupan. Ada ombak yang ganas, tetapi juga hati yang besar, setangguh batu, sefleksibel pasir laut, cinta desa, ikatan yang kuat. Seperti atap kecil namun kokoh di tengah badai, penduduk kampung halamanku selalu berdiri teguh melawan segala badai kehidupan...
Linh Chau
Sumber: https://baoquangtri.vn/van-hoa/202510/mua-bao-dab07c2/
Komentar (0)