
Foto ilustrasi (AI)
Setelah berhari-hari diguyur hujan dan banjir, hati setiap orang dipenuhi kegembiraan menanti matahari kembali. Cahaya matahari yang tipis, keemasan, dan ramping di penghujung musim gugur, menyinari atap-atap rumah, memantulkan hamparan ladang murbei. Warna sinar matahari setelah hujan selalu memancarkan kehangatan yang familiar di hati setiap orang. Setiap semburat sinar matahari bergoyang di sepanjang dedaunan, seolah diam-diam mengirimkan pesan bahwa badai telah berlalu, dan semua harapan serta impian yang berharga bersinar terang di mata setiap orang. Seseorang memandang ke luar jendela, sejenak pilu ketika melihat seluruh dunia bersukacita dalam cahaya matahari yang lembut. Dari lubuk hati, sebuah gejolak yang tak terlukiskan tiba-tiba bergema.
Aku suka menyaksikan momen ketika matahari bersinar menembus atap genteng yang telah lapuk lumut. Deretan genteng tua berwarna abu-abu keperakan tiba-tiba menebarkan rona keemasan. Saat itu, seolah di depan mataku terbentang gambaran pedesaan sederhana yang berisi seluruh langit yang kucintai. Sinar matahari yang miring mewarnai sayap kawanan burung pipit yang bersahutan di atap genteng dengan warna keemasan. Sinar matahari mengeringkan lumut tua, setiap helainya terjalin di dinding bata belang-belang di depan beranda. Sinar matahari terbenam di antara jambu biji musim gugur yang ranum, memenuhi kantong angin dengan aroma pedesaan, dan menuangkan gelombang berkilauan di dalam kendi berisi air yang diselimuti kelopak jambu biji putih bersih. Setiap jendela terbuka membiarkan sinar matahari menyinari sudut-sudut rumah, mengusir segala kelembapan dan kegelapan yang tersisa dari hari hujan. Dapur seseorang perlahan mengepulkan asap kayu bakar, bagai puisi tentang sore musim gugur di pedesaan.
Rasanya aku kembali menyusuri jalan yang telah digariskan oleh kenangan. Kembali ke masa ketika aku berusia sepuluh tahun, berharap menjadi awan yang melayang di langit tanah airku, sekuntum bunga harum yang jatuh di tanah air. Aku menyadari bahwa entah aku berusia dua puluhan atau rambutku telah memutih, berlabuh di tempat berlabuh, atau rindu mencari cakrawala baru, pada akhirnya, aku hanya merasa paling damai dan bahagia di bawah langit yang menyelimuti tanah airku. Duduk di samping ibuku di dapur yang berkilauan dengan sinar matahari yang tipis, mendengarkan gemerincing api kenangan dan cinta.
Di hari-hari cerah, saya selalu ingat ibu saya mengenakan topi kerucut saat kembali dari ladang yang jauh. Di belakangnya, matahari bersinar terang di antara daun-daun pisang yang menutupi pagar hijau. Saya duduk di depan gerbang dan memandang ke luar, melihat ibu saya membawa sinar matahari kembali untuk mewarnai teras rumah dengan warna kuning keemasan di pagi hari. Kemudian, memanfaatkan hari-hari cerah di akhir musim gugur, ibu saya mencuci selimut dan menjemurnya di halaman bata. Musim dingin yang berangin semakin dekat, dan selimut ibu saya masih menyimpan aroma harum matahari. Baru-baru ini, di hari-hari yang cerah dan hangat itu, ibu saya sering mencuci rambut nenek saya di sumur tua di belakang rumah. Saya ingat nenek saya sering mengenakan kemeja cokelat, ibu saya duduk di belakang, setiap gerakan penuh perhatian dan perhatian di tengah kabut yang larut dalam sinar matahari. Saya tidak tahu apa yang dipikirkan ibu dan nenek saya di saat-saat hening itu, saya hanya menyadari kehangatan sejati yang lembut merayap ke dalam jiwa saya, dan semuanya tampak tenang di bawah langit cinta yang mendalam.
Nenekku telah pergi jauh. Sumur di belakang rumah ditumbuhi pakis dan lumut. Ibuku duduk di rumahnya, memandang ke halaman yang tertutup dedaunan kering yang berguguran. Sebagaimana nenekku sering duduk di atas hammock yang tergantung di dekat jendela, memandang ke ladang yang dipenuhi sinar matahari yang berasap. Aku menyadari bahwa baik ibu maupun nenekku, perempuan desa yang menghabiskan seluruh hidup mereka mengayunkan hammock mereka ke sudut rumah, selalu memiliki secercah sinar matahari di hati mereka. Sinar matahari itu menyinari mimpiku untuk jauh dari rumah, mengusir badai yang bergolak di hatiku. Agar aku dapat menemukan jalan cinta, agar kakiku yang telah menjelajah ke seluruh dunia pada akhirnya akan kembali ke tempat lahirnya tanah kelahiran ibuku.
Pagi ini, aku ingin kembali dan duduk di dekat jendela, di samping sosok ibuku yang sedang menyisir rambutnya. Betapa aku mencintai warna sinar matahari setelah hujan, berkilau dengan begitu banyak penantian, begitu banyak kesedihan dan kegembiraan, sejelas ketika hatiku belum mengenal kesedihan. Kini, di tengah sudut jalan yang sepi, aku tiba-tiba bertanya-tanya: Di kampung halamanku, setelah hujan dan angin yang tak henti-hentinya, apakah atap rumah-rumah sudah menguning karena sinar matahari?
Tran Van Thien
Sumber: https://baolongan.vn/nang-soi-bong-me-hien-nha-a205569.html

![[Foto] Perdana Menteri Pham Minh Chinh menghadiri Upacara Penghargaan Pers Nasional ke-5 tentang pencegahan dan pemberantasan korupsi, pemborosan, dan negativitas](https://vphoto.vietnam.vn/thumb/1200x675/vietnam/resource/IMAGE/2025/10/31/1761881588160_dsc-8359-jpg.webp)


![[Foto] Da Nang: Air berangsur surut, pemerintah daerah memanfaatkan pembersihan](https://vphoto.vietnam.vn/thumb/1200x675/vietnam/resource/IMAGE/2025/10/31/1761897188943_ndo_tr_2-jpg.webp)





![[E - Magazine]: Mungkin setiap orang punya musim dingin yang ingin diingat.](https://vphoto.vietnam.vn/thumb/402x226/vietnam/resource/IMAGE/2025/10/31/1761917296095_e-magazine-co-l-w1200t0-di2543d199d5162334t11922l1-claccmmddn-137.webp)
































































Komentar (0)