
Siswa sekolah Lang Luong (kota Da Nang ) membawa nasi tabung bambu untuk diberikan kepada guru mereka pada pagi hari tanggal 20 November - Foto: TRA THI THU
Saya menemukan momen yang membuat saya berhenti sejenak: seorang guru berdiri di depan gerbang sekolah, membungkuk untuk mengikat tali sepatu seorang murid, lalu berkata dengan lembut: "Sudah selesai, lanjut ke kelas."
Guru dan kekhawatiran tidak pada jadwal
Gambaran itu mengingatkan saya pada hal-hal biasa dan tenang yang tidak termasuk dalam ringkasan yang disampaikan banyak guru setiap hari. Namun, tindakan-tindakan itu cukup bagi kita untuk memahami lebih dalam tiga kata "membina manusia".
Bila kita mengenang guru-guru kita, yang terlintas di pikiran seringkali bukan ceramah di buku pelajaran, tetapi momen-momen kecil seperti gambaran guru dan murid yang saya temui di atas.
Itulah anak-anak perempuan yang diam-diam menaruh kantong kue di laci meja ketika mereka tahu kami sedang terburu-buru ke sekolah pagi ini; atau jas hujan pemberian guru yang disuruh "pakai atau kamu akan masuk angin". Itulah sore-sore ketika guru berdiri di pintu kelas dan menunggu beberapa menit lagi hanya untuk bertanya, "Kamu baik-baik saja hari ini?".
Hal-hal kecil itu tidak dicatat dalam laporan apa pun, tidak ada yang memberi skor atau penghargaan, tetapi hal-hal itu tersimpan dalam ingatan siswa untuk waktu yang lama.
Kisah terkini di Tuyen Quang membuat saya semakin menyadarinya.
Ketika seorang siswa berniat berhenti sekolah untuk membantu keluarganya, sang guru mengarungi sungai, melewati jalur pegunungan, dan menempuh lebih dari 7 km di hutan untuk menemukan rumah siswa tersebut dan membujuknya kembali ke kelas. Tindakan diam-diam tersebut merupakan bukti dedikasi dan kegigihan para guru di dataran tinggi khususnya, dan mereka yang bekerja dalam profesi penyebaran ilmu pengetahuan pada umumnya.
Orang luar sering kali melihat profesi guru melalui jadwal mengajar, ceramah, dan hasil ujian.
Namun jauh di dalam dirinya terdapat bagian yang tak bernama: guru menjadi orang pertama yang menyadari ketika seorang anak berubah - menjadi lebih pendiam, lebih mudah tersinggung, duduk diam di belakang kelas, atau tiba-tiba tidak masuk kelas selama beberapa hari berturut-turut.
Ketika sekolah tidak memiliki psikolog, guru menjadi "penjaga emosi", orang-orang yang mendengarkan pengakuan yang menggetarkan, orang-orang yang menghalangi benih-benih depresi, kekerasan atau pikiran-pikiran negatif yang tidak dapat dilihat oleh masyarakat.
Dalam peran yang sunyi ini, guru berada di bawah tekanan lebih besar dari yang kita duga.
Di luar jam pelajaran, ada banyak dokumen, kegiatan, rapat, dan pesan larut malam dari orang tua. Guru mengkhawatirkan hal-hal yang bukan tanggung jawab mereka: masalah keluarga, perceraian orang tua, perundungan. Guru membawa pulang kekhawatiran yang tidak ada dalam jadwal mereka.
Namun jarang ada yang bertanya: "Siapa yang menjaga kesehatan mental guru?".
Beban bertambah, tapi pemahaman berkurang
Kita sering berpikir bahwa guru harus memenuhi semua harapan orang tua: mengajar dengan baik, melatih dengan baik, membimbing dengan baik, menyelesaikan konflik, dan memastikan pencapaian. Namun, ketika segala sesuatunya tidak berjalan sesuai rencana, orang-orang bertanya, "Apa yang dilakukan sekolah?", "Bagaimana cara Anda mengajar?", tetapi jarang bertanya, "Apa yang Anda dapatkan dari guru-guru Anda selain nilai?".
Standar itu membuat peran guru makin berat, sedangkan pemahamannya makin menurun.
Kualitas pendidikan tidak akan baik jika guru kelelahan. Guru perlu dibebaskan dari pekerjaan administratif agar mereka punya waktu untuk mengamati, mendengarkan, berbicara, dan memberikan dukungan.
Sekolah membutuhkan psikolog untuk membantu meringankan beban emosional yang ditanggung guru. Orang tua perlu memandang guru sebagai pendamping, bukan penyedia layanan yang harus selalu "dipuaskan".
Rasa hormat terhadap profesi guru bukan terletak pada karangan bunga pada tanggal 20 November, tetapi pada cara kita berbicara tentang guru kepada anak-anak kita, pada ketenangan kita saat menyelesaikan konflik, dalam mendampingi mereka saat mereka melakukan hal yang benar.
Satu ucapan yang ceroboh dan tidak dipikirkan dengan matang dapat menghapus usaha guru selama bertahun-tahun.
Citra guru di atas semuanya memiliki satu kesamaan: melakukan segala yang mungkin untuk membantu seorang anak maju. Dan hal-hal yang tampak kecil inilah yang menciptakan status quo yang tak tergoyahkan dari profesi guru.
Siswa akan tumbuh dewasa dan melupakan banyak ujian mereka, tetapi akan sulit melupakan apa yang telah dilakukan guru mereka untuk mereka. Hal-hal tersebut tidak tercantum dalam rencana pembelajaran mereka, tetapi tersimpan dalam ingatan orang-orang yang telah disayangi dan dirawat oleh guru mereka.
Jika Anda pernah memiliki guru dalam hidup Anda yang membuat Anda menjadi orang yang lebih baik, kirimkan mereka satu baris - hanya satu baris: "Saya masih merindukanmu, guru!"
Sumber: https://tuoitre.vn/nhung-viec-khong-co-ten-trong-giao-an-cua-thay-co-giao-20251120160610155.htm






Komentar (0)