![]() |
Amorim terlalu kaku dan tidak fleksibel. |
Dengan tambahan satu pemain sejak menit ke-13, dan menghadapi tim Everton yang tampak hanya tahu cara bertahan dan menerima serangan, "Setan Merah" masih belum berdaya menembus pertahanan lawan. Kekalahan 0-1 dari lawan bukan hanya karena kualitas pemain, tetapi juga mencerminkan konservatisme Amorim dalam taktik, yang berulang kali membuatnya menjadi sasaran kritik.
Kartu merah Idrissa Gueye setelah menampar wajah rekan setimnya, Michael Keane, membuka peluang besar bagi MU. Seisi Old Trafford menunggu tim tuan rumah menghancurkan lawan mereka. Namun, penantian itu berlangsung lebih dari satu jam tanpa titik balik.
Amorim tidak mengubah sistem tiga bek tengah, meskipun MU hampir bermain di separuh lapangan. Kegigihan itu membuat tim tuan rumah kekurangan pemain penyerang, kecepatan, dan keberanian untuk menciptakan terobosan.
Di media sosial, para penggemar tercengang. "Kenapa tidak mengganti bek tengah?", "Kenapa tidak Lacey?"... pertanyaan-pertanyaan ini terus diulang setiap kali MU menguasai bola dalam situasi buntu. Leny Yoro menjadi simbol pemborosan tenaga: saat itu adalah waktu yang ideal untuk mengganti bek tengah, menambah striker, atau penyerang muda. Namun Amorim tetap berdiri di pinggir lapangan, teguh pada skema awalnya.
![]() |
MU kehilangan muka di kandang sendiri. |
Memang benar United kehilangan Matheus Cunha dan Benjamin Sesko karena cedera, yang membatasi pilihan mereka di lini depan. Namun Amorim memanggil Shea Lacey, permata akademi, ke tim utama, bahkan memasukkannya ke dalam skuad. Namun, pemain muda itu hanya bermain lebih dari 90 menit di bangku cadangan. Bagi tim yang sedang kehabisan ide, keputusan itu sama saja dengan mengunci harapan terakhir mereka.
Pelatih yang baik tidak hanya tahu cara membangun sistem, tetapi yang lebih penting, tahu cara menghancurkannya di waktu yang tepat. Amorim justru sebaliknya. Ia begitu teguh pendiriannya sehingga menjadi kaku.
Dengan MU tertinggal, Everton menempel ketat, dan waktu semakin menipis, pelatih asal Portugal itu terus memainkan bola dengan gerakan-gerakan yang sudah dikenalnya, sambil berharap keajaiban dari Joshua Zirkzee, yang punya beberapa gerakan brilian tetapi tidak cukup untuk membalikkan keadaan.
Dalam sejarah MU, momen-momen berani selalu menciptakan titik balik. Sir Alex Ferguson pernah memasukkan Federico Macheda, nama yang belum dikenal, ke lapangan ketika tim sedang berada dalam situasi sulit. Hasilnya adalah gol-gol yang tak terhitung jumlahnya sepanjang karier, membuka babak baru dalam perjalanan menuju kejuaraan. Catatan-catatan itu bukan sekadar keberuntungan, tetapi bukti semangat untuk berani mencoba, berani menaruh kepercayaan pada orang-orang baru.
![]() |
MU tumbang di tangan Everton. |
Sebaliknya, Amorim melewatkan waktu yang tepat untuk memberi Shea Lacey kesempatan. Tidak ada yang yakin bahwa pemain berusia 18 tahun itu dapat menciptakan keajaiban, tetapi jelas bahwa MU perlu bereksperimen, terutama ketika sistem lama sudah benar-benar macet.
Tim besar tidak bisa selamanya bergantung pada kembalinya Sesko atau performa gemilang Zirkzee. Mereka butuh udara segar, dan itu hanya bisa terjadi jika sang pelatih bersedia mendobrak batasannya sendiri.
Kekalahan MU dari Everton bukanlah bencana dalam hal poin, melainkan peringatan keras bagi manajemen taktis Amorim. Ketika kekakuan menjadi kebiasaan, kegagalan tak terelakkan.
Jika mereka tidak berubah, jika mereka tidak membuka diri terhadap pilihan-pilihan muda seperti Lacey, United akan terus terjebak dalam masalah yang sama. Dan kemudian, krisis bukan lagi terletak pada para pemain, melainkan pada filosofi sang pemimpin.
Sumber: https://znews.vn/su-cung-nhac-cua-amorim-lam-hai-mu-post1605641.html









Komentar (0)