
Rumah saya terletak di sebuah lembah, tempat badai tak pernah reda. Mengetahui hal ini, sekitar awal Maret, ayah saya mulai menanam ubi putih, yang menjadi penyelamat saat makanan langka dan penduduk desa terisolasi. Ubi mudah diolah, jadi nenek saya selalu berkata, "masak ubi untuk membantu yang ceroboh." Seolah membalas budi pemilik rumah, rumpun-rumpun besar umbi saling berpelukan dan tergeletak di bawah tanah, menunggu orang-orang menggalinya. Karena mengerti, para penggali juga harus berhati-hati agar tidak menggores ubi.
Kupas kentang, cuci bersih, dan potong-potong seukuran jari. Panaskan wajan berisi minyak kacang di atas kompor, goreng talas hingga berwarna cokelat keemasan, lalu masukkan kentang dan tumis. Kemudian, tambahkan sedikit air, tutup panci, dan didihkan selama kurang lebih 10 menit. Pada titik ini, setiap irisan kentang mulai hancur, menjadi montok, dan mendidih. Saat itu, seluruh ruangan dipenuhi aroma harum minyak kacang, kunyit, dan talas yang bercampur dengan rasa khas talas, menyebar ke mana-mana.
Mengambil panci sup dari kompor, ibu mengaduknya hingga rata, menuangkannya ke dalam mangkuk, menaburkan segenggam daun kucai cincang, daun kunyit, peterseli, atau daun jahe, lalu berkumpul untuk menikmatinya dalam kebahagiaan yang manis.
Sebagai kebiasaan, pada hari-hari musim dingin, ayah saya akan pergi ke ladang untuk memasang perangkap ikan guna meningkatkan kualitas makanan keluarga. Ikan gabus berukuran sebesar ibu jari tetapi sangat kuat. Dagingnya padat, harum, kenyal, dan sangat manis.
Buang sisik ikan, cuci bersih, dan tiriskan. Agar ikan lebih beraroma, bumbui dengan sedikit garam halus dan bumbu lainnya, lalu remas-remas dengan tangan. Selanjutnya, ambil tusukan bambu runcing secara horizontal ke ikan, lalu bakar di atas bara api.

Memanggang ikan juga dilakukan dengan sangat teliti. Arang harus sangat panas agar ikan matang sempurna dari dalam ke luar, tanpa gosong. Menyaksikan ikan menggulung perlahan saat dipanggang dan aroma harum yang tercium membuat putra saya yang berusia 5 tahun gelisah.
Setelah ikannya renyah, mereka dipisahkan dari panggangan dan kemudian dimarinasi dengan saus ikan Nyonya Mai di Pasar Thom, tiada duanya. Pengunjung tidak hanya menikmati cita rasa yang lembut dan seimbang, tetapi juga merasakan aroma jerami dan asap dari pedesaan.
Semasa hidupnya, kakek saya juga membagi lahan untuk menanam teh. Mengikuti tradisi keluarga, pagi-pagi sekali saya berjalan ke kebun untuk memetik daun teh dan menyeduhnya dengan air, lalu menambahkan beberapa iris jahe segar untuk menikmati minuman lezat yang masih mempertahankan aromanya yang unik.
Adakah yang lebih membahagiakan daripada hari-hari dingin di musim dingin, di dapur, seluruh keluarga berkumpul di sekeliling hidangan hangat, seteko teh hijau, dan menggubah puisi: "Ikan dimakan hujan/ Memanggil mereka yang jauh untuk segera kembali/ Menepati sumpah dengan sepenuh hati/ Tanah air dan akarnya sukar untuk pudar".
Sumber: https://baodanang.vn/thom-ngon-vi-que-3311007.html






Komentar (0)