Dari bahasa asing ke bahasa kedua
Saat ini, bahasa Inggris masih dianggap sebagai bahasa asing dalam sistem pendidikan umum. Siswa dari sekolah dasar hingga menengah atas mempelajari bahasa Inggris dalam kurikulum utama, rata-rata 3-4 jam pelajaran per minggu. Selain itu, banyak sekolah menyelenggarakan kursus tambahan, klub, atau program pengayaan, tetapi semuanya masih dalam lingkup "satu mata pelajaran", tidak diakui sebagai bahasa kedua.
Menurut Bapak Jonny Western, Kepala Program Inisiatif Baru, Universitas RMIT Vietnam, hanya sedikit sekolah internasional, bilingual, atau afiliasi asing yang menerapkan pengajaran berbahasa Inggris (EMI). Namun, skala ini masih terlalu kecil dibandingkan dengan permintaan nasional. Hal ini menunjukkan bahwa peralihan dari "bahasa asing" ke "bahasa kedua" akan menjadi titik balik yang besar bagi pendidikan Vietnam.
Bapak Jonny Western yakin bahwa pilihan Pemerintah untuk menetapkan tahun 2035 sebagai tanggal implementasi adalah wajar. Waktu tersebut cukup lama untuk melatih dan meningkatkan standar guru, sekaligus mempersempit kesenjangan kondisi pengajaran dan pembelajaran antara wilayah perkotaan dan pedesaan. "Vietnam tidak dapat bertransformasi dalam semalam, tetapi membutuhkan peta jalan setidaknya satu dekade untuk memastikan kualitas," tegas Bapak Jonny Western.
Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, Vietnam tertinggal tetapi masih berada di jalur integrasi. Singapura telah menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa utama dalam pendidikan selama beberapa dekade. Malaysia telah menerapkan EMI secara luas dalam mata pelajaran sains dan teknik. Filipina menganggap bahasa Inggris sebagai bahasa resmi, menciptakan keuntungan besar di pasar tenaga kerja internasional. Bagi Vietnam, bahasa Inggris sebagai bahasa kedua tidak hanya akan memperluas kesempatan belajar tetapi juga meningkatkan daya saing sumber daya manusia.
Namun, banyak pakar pendidikan berpendapat bahwa transisi ini tidaklah mudah. Ketika Bahasa Inggris hanya menjadi bahasa asing, tujuan utamanya adalah melatih keterampilan komunikasi. Namun, setelah menjadi bahasa kedua, Bahasa Inggris akan berperan dalam pengajaran berbagai mata pelajaran lain, mulai dari ilmu pengetahuan alam, ekonomi, hingga ilmu sosial. Perubahan tersebut membutuhkan reformasi menyeluruh terhadap kurikulum, materi pembelajaran, metode pengajaran, dan yang terpenting, kapasitas staf pengajar.
Tantangan transformasi dari staf pengajar
Menurut Dr. Jennifer Howard, Kepala Program Persiapan Universitas, Sekolah Bahasa Inggris dan Jalur Universitas, Universitas RMIT Vietnam, staf pengajar merupakan faktor kunci dalam keberhasilan penerapan Bahasa Inggris sebagai Pendidikan Menengah (EMI).
Ibu Jennifer Howard menganalisis bahwa seorang guru EMI tidak hanya harus fasih berbahasa Inggris, tetapi juga harus memiliki keahlian yang solid dan keterampilan pedagogis modern. Khususnya, kemampuan untuk membedakan konten dianggap sebagai faktor vital. Di kelas dengan kemampuan bahasa Inggris yang tidak merata, guru harus tahu cara menyesuaikan materi dan metode agar siswa yang lemah dapat mengikuti, sementara siswa yang baik dapat memaksimalkan kemampuan mereka.
Ibu Jennifer Howard juga mencatat bahwa Bahasa Inggris di EMI bukan lagi tujuan akhir, melainkan hanya alat untuk menyampaikan pengetahuan khusus. Oleh karena itu, guru perlu cukup percaya diri untuk mengajar dalam Bahasa Inggris akademis, menjelaskan konsep yang kompleks, dan menangani situasi kelas dengan baik. "Jika guru hanya berhenti pada keterampilan komunikasi, siswa akan kesulitan mengakses pengetahuan secara akurat dan komprehensif," ujar Ibu Jennifer Howard.
Selain pandangan Dr. Howard, banyak pakar pendidikan domestik juga berpendapat bahwa, untuk menerapkan EMI secara luas, Vietnam perlu menetapkan standar kemahiran berbahasa yang jelas bagi para guru. Standar ini dapat setara dengan level C1 dalam Kerangka Acuan Umum Eropa (CEFR) atau IELTS 7.0 atau lebih tinggi, untuk memastikan bahwa guru mampu menggunakan bahasa Inggris akademis dalam mengajar. Persyaratan ini tidak mudah dicapai, tetapi penting untuk menjaga kualitas.
Pertanyaan besar lainnya adalah apakah akan mengandalkan guru penutur asli atau mengembangkan guru bahasa Vietnam? Para pakar internasional sepakat bahwa guru penutur asli memiliki keunggulan dalam fonetik dan budaya bahasa, tetapi jumlah mereka yang terbatas dan biaya yang tinggi menyulitkan pengembangannya.
Sementara itu, generasi muda Vietnam semakin mahir berbahasa Inggris. Banyak lulusan SMA yang mencapai IELTS 7.0-8.0, atau bahkan lebih tinggi. Jika dilatih dengan baik dalam pedagogi dan metode pengajaran modern, generasi ini pasti dapat menjadi inti EMI pada tahun 2035.
Namun, transisi ini juga memiliki banyak potensi risiko. Beberapa peneliti memperingatkan bahwa ekspansi besar-besaran EMI dapat memberikan tekanan finansial yang besar bagi orang tua dan sekolah. Risiko komersialisasi pelatihan, terutama dalam program internasional yang "dilabeli" sebagai EMI, dapat menyebabkan ketimpangan kesempatan belajar antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Jika tidak dipantau secara ketat, kualitas pelatihan juga dapat berfluktuasi secara signifikan, yang menyebabkan hilangnya kepercayaan sosial.
Untuk menghindari skenario ini, banyak ahli menyarankan bahwa, bersamaan dengan pelatihan guru, perlu dibangun sistem jaminan mutu yang ketat, termasuk standar yang jelas tentang kemahiran berbahasa, persyaratan profesional, dan efektivitas pedagogis; mekanisme penilaian berkala, dan umpan balik bagi guru untuk terus meningkatkan keterampilan mereka.
Selain itu, membangun lingkungan akademis yang mendorong penggunaan bahasa Inggris dalam kegiatan penelitian dan profesional juga dianggap sebagai faktor penting, membantu guru mempertahankan kebiasaan mempraktikkan bahasa tersebut sehari-hari.
Sumber: https://baotintuc.vn/ban-tron-giao-duc/chuan-bi-nguon-luc-giao-vien-de-dua-tieng-anh-tro-thanh-ngon-ngu-thu-hai-20250915164211776.htm
Komentar (0)