Sebuah universitas di Kota Ho Chi Minh baru-baru ini mengeluarkan peringatan setelah menemukan bahwa banyak mahasiswa baru pada tahun 2007 menggunakan foto potret yang diedit dengan kecerdasan buatan untuk diserahkan sebagai kartu identitas mahasiswa selama proses penerimaan.
Khususnya, halaman penggemar komunitas siswa sekolah tersebut mengunggah sebuah artikel yang mengingatkan siswa untuk berhenti menggunakan foto AI untuk dikirim ke sekolah dengan isi: "Sekolah meminta siswa baru untuk tidak lagi mengirimkan foto dengan wajah hasil suntingan AI untuk membuat kartu. Wajah asli yang berbeda dari gambar kartu akan dilarang memasuki ruang ujian."
Pengingat yang disertakan meminta agar foto asli dikirimkan ulang jika foto hasil editan digunakan dan memperingatkan konsekuensi jika tidak dipatuhi.
Informasi tersebut dengan cepat menarik perhatian, tidak hanya di dalam sekolah.
Foto identitas bukan sekedar gambar, tetapi alat identifikasi.
Dalam konteks digitalisasi yang pesat, foto potret bukan sekadar bentuk presentasi pribadi. Bagi mahasiswa, foto pada kartu tidak hanya untuk kecantikan, tetapi juga berfungsi sebagai verifikasi identitas dalam ujian, peminjaman dokumen, masuk dan keluar kampus, berpartisipasi dalam kegiatan akademik, dan sebagainya.

Foto ID yang dihasilkan AI (Foto ilustrasi).
Jadi, inti dari foto identitas adalah keaslian. Ketika foto dibuat dengan AI yang dapat mendistorsi wajah, mencerahkan kulit, mengubah latar belakang, dan bahkan mengubah struktur wajah, foto tersebut tidak lagi mencerminkan wajah asli pemiliknya dengan tepat.
Saat itu, kartu pelajar kehilangan fungsi identifikasinya. Hal ini bukan hanya kesalahan teknis, tetapi juga memengaruhi keadilan dan ketertiban di sekolah.
Secara hukum, kartu pelajar bukanlah dokumen identitas seperti CCCD atau paspor. Namun, jika seorang pelajar dengan sengaja mengirimkan foto palsu untuk keuntungan pribadi, ia tetap dapat diproses sesuai peraturan internal.
Berdasarkan Surat Edaran 10/2016/TT-BGDĐT, mahasiswa yang menggunakan dokumen atau dokumen palsu untuk mendapatkan keuntungan atau melakukan penipuan dapat dikenakan sanksi disiplin, mulai dari peringatan hingga pengusiran. Dalam kasus yang serius, mereka juga dapat dituntut berdasarkan Pasal 341 KUHP karena memalsukan dokumen instansi dan organisasi.
Namun, banyak ahli berpendapat bahwa kejadian di atas tidak termasuk "pemalsuan dokumen", tetapi merupakan konsekuensi tak terelakkan dari tren teknologi yang belum dikontrol dengan baik.
Tidak semua foto yang diedit itu palsu
Pakar penelitian dan penerapan AI, Nguyen Phong Anh, mengatakan bahwa dapat dimengerti jika siswa menggunakan foto yang diedit AI untuk membuat kartu dalam konteks teknologi yang semakin mudah diakses.
"Sekarang sudah banyak alat AI yang memungkinkan pengguna mengubah foto yang diambil dengan ponsel menjadi foto identitas hanya dalam hitungan menit. Aplikasi-aplikasi ini dapat menyesuaikan pencahayaan, latar belakang, pakaian, dan bahkan fitur wajah," ujar Bapak Phong Anh.
"Mudah untuk mendapatkan foto yang 'layak'. Namun, jika Anda menginginkan foto yang indah dan sesuai dengan kebutuhan Anda, Anda tetap perlu memiliki pemahaman dasar tentang cara menulis prompt dan mengontrol hasilnya."

Pakar Nguyen Phong Anh berbagi tentang penerapan AI dalam kehidupan dalam sebuah kuliah (Foto: NVCC).
Sebelum muncul pada foto kartu identitas pelajar, tren penggunaan AI untuk membuat gambar populer di jejaring sosial melalui tren seperti foto simulasi pernikahan.
Banyak anak muda, meski belum menikah atau bahkan punya kekasih, tetap mengunggah foto "pernikahan" yang gemerlap.
Serangkaian aplikasi seperti Remini, Meitu, Xingtu... dengan cepat menjadi alat populer, membantu pengguna "meremajakan", "mempercantik", "memvirtualisasikan" wajah mereka hingga tidak dapat dikenali.
Namun, menurut Bapak Phong Anh, perlu dibedakan secara jelas antara foto “palsu” dan foto “editan”.
Foto kartu identitas mahasiswa selalu diedit dengan Photoshop: mencerahkan kulit, mengganti latar belakang, bahkan mengganti pakaian. Alat-alat tersebut juga sudah dilengkapi AI, tidak hanya sekarang.
Masalahnya adalah bagaimana mengeditnya agar tetap mempertahankan ciri-ciri identitas penting dari orang yang mengambil foto tersebut. Jika Anda memencet wajah, memperbesar mata, menghilangkan tahi lalat... identitas tersebut akan berubah, meskipun pengguna mungkin tidak bermaksud demikian," ujarnya.
Oleh karena itu, ia yakin bahwa kita tidak boleh terburu-buru menyimpulkan bahwa siswa "memalsukan dokumen" dalam kasus di mana AI digunakan untuk mengganggu gambar.
"Saat ini, sekolah tidak memiliki standar khusus untuk foto 'asli' atau 'palsu'. Jika kita menginginkan manajemen yang lebih ketat, cara terbaik adalah mewajibkan foto diambil oleh sekolah atau unit yang memiliki reputasi baik," ujar Bapak Phong Anh.
Perlu meningkatkan kapasitas tata kelola AI

Tren pembuatan kotak mainan menggunakan AI sempat membuat heboh di media sosial (Foto ilustrasi).
Teknologi semacam itu baru permulaan, menurut para ahli AI. Dalam waktu dekat, kemampuan untuk menciptakan gambar dan video menggunakan AI akan berkembang lebih pesat dan canggih.
Kita akan terus melihat berbagai tren kreasi foto AI dengan beragam tema, mulai dari foto identitas, foto buku tahunan, hingga foto transformasi karakter. Setelah fase mengikuti tren, pengguna akan beralih ke pembuatan foto personalisasi sesuai preferensi mereka. Ini merupakan kebutuhan yang wajar akan kreativitas dan hiburan, dan pastinya akan ditanggapi secara luas oleh pengguna.
Penting untuk ditegaskan bahwa AI bukanlah penyebabnya. Teknologi, jika digunakan dengan benar, tetap merupakan alat yang ampuh dalam pembelajaran, administrasi, dan bahkan kreasi seni.
Masalahnya terletak pada bagaimana orang menggunakan AI. Ketika siswa menggunakan AI untuk membuat foto identitas, tujuan awalnya mungkin hanya "membuatnya terlihat sedikit lebih baik", tetapi konsekuensinya meliputi distorsi data, hilangnya keseragaman dalam manajemen, dan risiko penipuan.
Deteksi dan penanganan cepat oleh universitas terhadap insiden tersebut menunjukkan bahwa sekolah telah merespons secara tepat, cepat, dan dengan kehati-hatian yang tinggi.
Kisah foto AI ID bukan hanya tentang penyuntingan gambar, tetapi mencerminkan tantangan yang lebih luas dalam pengelolaan data dan identitas digital di era kecerdasan buatan.
Seiring AI semakin tertanam dalam kehidupan kita, bukan hanya tentang menciptakan citra yang lebih baik yang menjadi fokus, tetapi juga tentang memastikan keaslian, transparansi, dan keamanan dalam sistem. Memberdayakan pengguna untuk memahami dan menggunakan teknologi secara bertanggung jawab merupakan langkah penting untuk beradaptasi dengan lingkungan digital yang terus berubah.
Sumber: https://dantri.com.vn/cong-nghe/dung-ai-ghep-mat-lam-anh-the-gen-z-nhan-canh-bao-20250916082442929.htm
Komentar (0)