
Sesi mengajar bersama para guru di Sekolah Anak Disabilitas An Giang adalah tentang ketekunan, usaha, kasih sayang, dan berbagi dengan siswa-siswa istimewa mereka. Foto: PHUONG LAN
Simpati dan berbagi
Hampir 20 tahun bekerja di sekolah khusus ini telah menjadi rangkaian hari-hari yang dipenuhi kebingungan, tantangan, dan kasih sayang kepada Bapak Nguyen Van Dao (lahir tahun 1977). Bapak Dao adalah seorang guru Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), yang harus meninggalkan kampung halamannya untuk bekerja di sekolah tersebut sejak tahun 2006. Kebingungan itu kemudian dengan cepat tergantikan oleh rasa simpati dan rasa berbagi yang mendalam. Bapak Dao sendiri menderita cacat kaki akibat efek samping polio sejak usia 1 tahun. Hal ini telah menciptakan ikatan tak kasat mata antara beliau dan murid-muridnya.
Suasana istirahat di Sekolah untuk Anak Disabilitas An Giang terasa tenang, sangat berbeda dari hiruk pikuk yang sering terlihat di sekolah lain. Tidak ada sorak sorai atau suara lari, hanya sesekali terdengar siluet siswa yang berjalan perlahan di halaman. Keistimewaan tempat ini adalah mata dan kesabaran orang tua yang selalu mengawasi anak-anak mereka dari jauh.
Ketika bel berbunyi, mereka bergegas menghampiri anak-anak mereka, dengan penuh kasih sayang menyuapi mereka sarapan dengan penuh cinta. Namun, sebagian besar keluarga siswa miskin, dengan orang tua mereka bekerja serabutan. Beberapa anak yatim piatu harus tinggal bersama kakek-nenek mereka, sehingga sulit untuk membayar makanan.
Melihat saya terkejut dengan suasana istirahat yang istimewa, Pak Dao berkata bahwa orang tua di sini bukan hanya yang menjemput dan mengantar anak-anak, tetapi juga yang mendampingi mereka dengan setia. Mereka merawat dan menjaga anak-anak mereka sejak usia dini. Karena, bagi para ayah dan ibu ini, kebersamaan yang tak kenal lelah adalah cara yang tak ternilai untuk menebus kekurangan anak-anak mereka.
Pak Dao bercerita: “Tantangan terbesar di hari-hari pertama bukan hanya beradaptasi dengan lingkungan, tetapi juga belajar berkomunikasi dan mengajar. Saya harus belajar dan mengajar bahasa yang benar-benar baru, seperti Braille untuk siswa tunanetra dan bahasa isyarat untuk siswa tunarungu. Untuk bahasa isyarat, prosesnya sulit dan lucu. Terkadang ketika saya berekspresi (bahasa isyarat), siswa-siswa mengerti, tetapi terkadang ketika mereka berekspresi, saya tidak mengerti, dan kemudian mereka mengkritik saya karena kurang baik!”
Saat ini, kondisi sulit di sini semakin berlipat ganda ketika kelas harus menggabungkan siswa tunanetra dan tunarungu untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan. Hal ini mengharuskan guru untuk meneliti cara-cara menyampaikan pengetahuan kepada kedua kelompok secara bersamaan, berbicara agar tunanetra dapat mendengar dan menggunakan isyarat agar tunarungu dapat memahami. Dengan tanggung jawab dan kasih sayang, para guru telah mengubah tugas ganda ini menjadi "misi" untuk diselesaikan, menciptakan pembelajaran khusus dengan sepenuh hati.
Benang penghubung yang "tak terlihat"
Setelah bekerja di Sekolah untuk Anak-Anak Disabilitas An Giang selama 28 tahun, Ibu Vo Thi Kim Lien (lahir tahun 1977) tak dapat menyembunyikan harunya saat mengenang hari-hari pertama bekerja di sana. Ia bercerita bahwa saat itu, ia menutupi tubuhnya dengan selimut dan menangis karena merasa tugasnya terlalu berat dan berpikir: "Pada hari pertama sekolah, saya akan melihat bagaimana kinerja para siswa. Jika terlalu sulit, saya harus berhenti!"
Bagi Bu Lien, perjalanan ke sekolah ini terasa alami bagaikan takdir. Ia bercerita dengan penuh emosi: "Pertama kali saya mengikuti kelas ini, murid-murid tunanetra hanya mendekat dan memegang tangan saya sekali. Setelah itu, ketika mereka mendengar suara saya, mereka langsung ingat nama saya dan memanggil saya dengan benar."
Kepolosan, ketulusan, dan keyakinan itulah yang menyentuh hati guru muda itu. "Saat itu, saya merasakan kasih sayang yang aneh. Penyesalan awal berubah menjadi cinta, yang membantu saya bertahan di sekolah ini hingga hari ini," ujar Ibu Lien penuh emosi.
Selain tunanetra dan tunarungu, sekolah kini memiliki siswa dengan disabilitas intelektual seperti hiperaktif dan autisme, yang menciptakan situasi pedagogis yang tak terbayangkan. Guru Dao mengatakan bahwa siswa-siswa ini bisa impulsif, berlarian keluar, atau terkadang, saat belajar, mengumpulkan buku catatan siswa lain untuk disembunyikan atau dijadikan mainan. Untuk mengajar siswa-siswa istimewa ini, tujuan pembelajaran harus dikurangi dan guru harus belajar mengendalikan dan mengelola emosi mereka.
Ibu Lien berbagi tentang bagaimana ia membangun hubungan dengan murid-murid istimewanya: “Cara berkomunikasi dan membantu mereka terbuka adalah inisiatif dari guru. Guru secara proaktif berbicara dan bercerita seperti saudara laki-laki, saudara perempuan, atau ibu. Lambat laun, dengan ketulusan itu, para murid akan merasakan kasih sayang, secara otomatis berbagi dan menceritakan kisah bahagia dan sedih mereka, kesulitan belajar, maupun kesulitan dalam keluarga.”
Dengan cinta dan pengorbanan diam-diam, para guru di Sekolah An Giang untuk Anak-anak Penyandang Disabilitas merupakan pendukung yang kuat, menabur benih harapan untuk membantu siswa yang kurang beruntung tumbuh dan berintegrasi dalam kehidupan.
| Pada tahun ajaran 2024-2025, Sekolah An Giang untuk Anak-anak Penyandang Disabilitas terus menegaskan kualitas pendidikan khusus dengan 100% siswa sekolah dasar dan menengah menyelesaikan kurikulum, dan 100% anak-anak intervensi dini (sebelum masuk sekolah dasar) menyelesaikan rencana pendidikan individual mereka. Kualitas ini diperkuat oleh tim guru yang berdedikasi. |
PHUONG LAN
Sumber: https://baoangiang.com.vn/geo-chu-o-ngoi-truong-dac-biet-a467473.html






Komentar (0)