AI menghadirkan tantangan bagi identitas profesional para pekerja.
Saat ini, kecerdasan buatan (AI) hadir di semua industri, membantu dokter dalam menafsirkan hasil pencitraan diagnostik, menyarankan profil untuk departemen sumber daya manusia, atau merekomendasikan nama produk kepada tim pemasaran.
Efektivitas AI telah banyak dibahas, tetapi menurut para ahli di Universitas RMIT, masih ada aspek penting yang tampaknya diabaikan: pengalaman emosional yang dialami manusia saat bekerja dengan teknologi cerdas ini.
Di balik berita sensasional dan gelombang antusiasme seputar AI, para pekerja bergulat dengan campuran emosi yang kompleks: rasa ingin tahu, kecemasan, kekaguman, dan terkadang frustrasi. Emosi-emosi ini sangat memengaruhi cara kita terlibat dengan pekerjaan, memandang diri sendiri, dan terhubung dengan kolega.
Untuk mengilustrasikan poin mereka, para ahli RMIT menganalisis: bayangkan seorang jurnalis veteran, yang dulunya bangga dengan kreativitasnya, kini merasa tersaingi oleh sistem AI yang dapat menghasilkan judul berita dalam sekejap mata, atau seorang perekrut yang selalu mempercayai intuisinya tetapi sekarang diragukan oleh sebuah algoritma.
“Situasi seperti ini semakin umum terjadi. AI sering kali menantang identitas profesional para pekerja, memaksa mereka untuk menghadapi pertanyaan mendasar: Nilai unik apa yang saya berikan pada pekerjaan ini yang tidak dapat ditiru oleh mesin? Ketegangan ini terwujud dalam cara yang halus namun mendalam,” kata Dr. Tony Nguyen, Pejabat Sementara Wakil Dekan program MBA di Universitas RMIT Vietnam.

Dr. Tony Nguyen menyatakan bahwa para pekerja mungkin merasa diremehkan, direduksi menjadi titik data yang tidak berarti, atau sekadar "manusia biasa" dibandingkan dengan mesin yang hampir sempurna. Bagi sebagian orang, AI adalah katalis untuk pengembangan diri, tetapi bagi yang lain, AI menabur rasa tidak aman yang terpendam.
Menurut Dr. Hoang Truong Giang, dosen senior Manajemen di Universitas RMIT, kepercayaan adalah topik penting dalam diskusi tentang AI. Karyawan sering bertanya-tanya apakah mereka dapat mempercayai keputusan yang dibuat oleh sistem AI dan apakah mereka merasa aman untuk mempertanyakan atau menolak keputusan tersebut. Kekhawatiran ini bahkan lebih besar ketika sistem AI digunakan untuk mengevaluasi kinerja pekerjaan.
Penelitian dari Universitas Missouri (AS) menunjukkan bahwa kepercayaan emosional tidak hanya bergantung pada keakuratan teknologi, tetapi juga pada bagaimana AI diterapkan, siapa yang mengendalikannya, dan apakah karyawan terlibat aktif dalam proses tersebut. Kepercayaan yang rendah mudah menyebabkan penolakan dan rasa tidak senang, sementara kepercayaan yang tinggi mendorong kerja sama dan inovasi.
Studi terbaru juga menyoroti fenomena yang dapat disebut "kelelahan perubahan akibat AI." Dalam lingkungan kerja yang sudah terus berkembang dengan perangkat lunak baru, perubahan peran, dan pelatihan ulang, munculnya AI hanya menambah daftar tersebut.
“Kelelahan emosional seringkali bermanifestasi sebagai apati, kelelahan, atau skeptisisme. Masalahnya bukan hanya apakah AI efektif, tetapi seberapa banyak perubahan yang dapat ditoleransi setiap individu sebelum emosi mereka 'runtuh'," jelas Dr. Hoang Truong Giang lebih lanjut.
Bagaimana kecerdasan emosional dan kecerdasan buatan dapat dimanfaatkan bersama?
Dua pakar dari Universitas RMIT mencatat bahwa banyak pertanyaan seputar unsur manusia masih belum terjawab dalam diskusi tentang penerapan AI: Bagaimana penghargaan AI atas wawasan penting akan memengaruhi motivasi kerja? Bagaimana interaksi tim akan berubah ketika beberapa anggota bergantung pada AI sementara yang lain menolak? Bagaimana kita dapat mendukung mereka yang kurang percaya diri dengan kemampuan mereka?

Memberikan rekomendasi kepada organisasi tentang apa yang perlu dilakukan untuk mendorong pengembangan gabungan kecerdasan emosional dan kecerdasan buatan, dua pakar dari Universitas RMIT, Tony Nguyen dan Hoang Truong Giang, mengusulkan arah utama.
Pertama dan terpenting, organisasi perlu mengakui realitas emosional dari integrasi AI, menyediakan pelatihan teknis, dan menciptakan ruang untuk refleksi, dialog terbuka, dan bahkan berbagi cerita pribadi.
Selanjutnya, penting untuk melibatkan karyawan dalam perjalanan adopsi AI. Ketika karyawan memiliki suara dalam membentuk bagaimana AI digunakan dan peran mereka berkembang seiring dengan AI, mereka akan lebih cenderung berpartisipasi secara aktif.
Pada akhirnya, untuk mendukung para pemimpin dalam mengembangkan kecerdasan emosional, para pemimpin perlu peka terhadap tanda-tanda awal keterasingan atau stres, dan memposisikan AI sebagai mitra yang perlu melengkapi penilaian, etika, dan kreativitas manusia, bukan sebagai alat pengganti.
Selain menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengambilan keputusan, kolaborasi, dan inovasi, AI juga muncul sebagai elemen emosional dalam kehidupan kerja sehari-hari. "Kita tidak perlu takut pada AI, tetapi kita harus belajar bagaimana mengelola respons emosional kita terhadap teknologi ini. Memahami bagaimana AI memengaruhi dunia batin kita bisa menjadi kunci yang hilang dalam menggunakan AI secara efektif di dunia nyata," kata Dr. Tony Nguyen.

Sumber: https://vietnamnet.vn/manh-ghep-giup-nguoi-lao-dong-su-dung-ai-hieu-qua-hon-2473351.html






Komentar (0)