Martinelli mencetak gol untuk membantu Arsenal menahan imbang Man City 1-1. |
Dengan investasi Arsenal lebih dari £250 juta di musim panas, yang menciptakan persaingan ketat untuk setiap posisi, Martinelli kehilangan tempatnya sebagai starter. Ia hanya menjadi starter dua kali dari enam pertandingan pertama musim ini, menyisakan ruang bagi Leandro Trossard atau Noni Madueke. Bagi banyak pemain lain, ini berarti frustrasi, bahkan pengunduran diri.
Namun Martinelli memilih respons yang berbeda: mengubah frustrasi menjadi motivasi, semacam “kemarahan terkendali” yang digambarkan oleh rekan setim seniornya Theo Walcott, mantan pemain Arsenal.
Kembalinya Seorang “Finisher”
Melawan Athletic Club di Fase Liga Champions, Martinelli masuk dari bangku cadangan dan langsung mencetak gol serta memberikan assist. Banyak yang yakin ia akan menjadi starter melawan Man City, tetapi Arteta memilih Trossard. Hal itu merupakan pukulan psikologis, tetapi striker Brasil itu tidak menyerah. Ia hanya membutuhkan 5 sentuhan di sepanjang pertandingan, tetapi salah satunya menjadi momen penentu, membantu Arsenal mempertahankan satu poin berharga.
Keistimewaan Martinelli adalah ia membawa Arsenal senjata yang hanya dimiliki sedikit rekan setimnya: kemampuan berlari cepat di belakang pertahanan. Dalam tim yang lebih mengutamakan penguasaan bola, lari tanpa bola seperti itu menjadi bagian strategis dari teka-teki, memaksa lawan untuk mundur lebih dalam dan membongkar pertahanan yang tampak solid.
Martinelli masuk dari bangku cadangan dan langsung bersinar. |
Arteta tahu betul kemampuan Martinelli, tetapi ia juga aktif mengujinya. Musim lalu, pemain berusia 24 tahun itu hampir tidak memiliki pesaing langsung. Musim ini, dengan Trossard, Eze, dan Madueke, Arsenal memaksanya beradaptasi dengan posisi baru: dari pemain inti menjadi "pemain cadangan".
Mantan pemain Arsenal, Theo Walcott, berkomentar dengan sangat tepat: "Para pelatih selalu ingin menguji pemain mereka. Arteta membuat Martinelli meledak karena ia harus membuktikan dirinya layak." Dan kenyataan telah membuktikan: alih-alih terjatuh, pemain Brasil itu justru bermain dengan lebih gigih.
Sementara itu, Declan Rice juga menegaskan: "Ada pemain yang akan frustrasi ketika dicadangkan. Tapi Martinelli berbeda, dia selalu siap menciptakan momen-momen penting."
Martinelli sendiri pernah mengakui: "Saya tidak ingin duduk di bangku cadangan. Saya ingin bermain 90 menit setiap pertandingan, tetapi pelatih punya alasan dan semua orang percaya padanya." Pernyataan itu sederhana, tetapi mencerminkan sifat aslinya: kesabaran dan tekad yang hidup berdampingan, menjadikannya tipe pemain yang langka - tidak acuh tak acuh tetapi selalu bersedia membantu tim berkembang.
Sikap inilah yang membuat gol ke gawang Man City semakin berharga. Gol itu tak hanya membawa satu poin, tetapi juga membuktikan kepada Arteta bahwa ia bisa mengandalkan Martinelli, baik di bangku cadangan maupun di starting line-up.
Masalah Arteta
Arsenal memiliki kedalaman skuad yang langka. Trio Martin Zubimendi - Declan Rice - Mikel Merino memegang kendali, tetapi babak pertama melawan Man City kurang menjanjikan. Pergantian pemain di babak pertama - ketika Bukayo Saka dan Eberechi Eze masuk - mengubah jalannya pertandingan. Martinelli menjadi penentu kemenangan terakhir dengan gol penyeimbang.
Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah Arteta terlalu konservatif dalam keyakinannya pada struktur yang solid alih-alih memainkan pemain menyerang sejak awal? Ia membantahnya, tetapi jelas bahwa para pemain "finisher" dari bangku cadangan telah membuat perbedaan.
Gol Martinelli menimbulkan masalah bagi Mikel Arteta tentang bagaimana memanfaatkannya. |
Mungkin Arteta sendiri sedang berhitung: menjaga Martinelli dalam kondisi "setengah menantang, setengah menerima" untuk memaksimalkan energi juangnya. Seorang pemain hanya benar-benar hebat ketika ia tahu bagaimana mengubah ketidakadilan menjadi motivasi, dan Martinelli sedang memasuki fase itu.
Sepak bola papan atas bukan hanya soal teknik dan taktik, tetapi juga psikologi. Martinelli membawa serta rasa frustrasi seorang bintang yang dulu tak tergantikan, kini hanya bisa pasrah menunggu kesempatan. Namun, alih-alih mengubahnya menjadi kepahitan, ia mengubahnya menjadi kecepatan, tekad, dan efisiensi.
Walcott menyebutnya "kemarahan yang terkendali". Rice melihat "hati dan hasrat". Arteta mungkin juga menikmati anugerah yang tak ternilai: seorang pemain yang tahu bagaimana menghadapi kesulitan agar bisa bersinar di waktu yang tepat.
Gol melawan Man City tidak serta merta menjadikan Martinelli pilar yang tak tersentuh, tetapi menegaskan satu hal: Arsenal tak bisa melaju jauh tanpanya. Di musim di mana "tim B" sama pentingnya dengan "tim A", Martinelli adalah simbol semangat kompetitif, ketangguhan mereka yang tertantang.
Bagi Arsenal, terkadang “kemarahan yang terkendali” adalah senjata paling tajam.
Sumber: https://znews.vn/martinelli-tro-thanh-ke-ket-lieu-bat-ngo-post1587256.html
Komentar (0)