Meskipun diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran dan pengelolaan kelas, model ini menghadapi banyak masalah mengenai sumber daya manusia dan kelayakannya.
Menurut rencana Kementerian Pendidikan Malaysia, model “co-teaching” dengan dua guru yang bertanggung jawab atas kelas yang sama akan diterapkan di sekolah-sekolah negeri mulai tahun 2027. Tujuan yang dinyatakan oleh Kementerian tersebut adalah untuk meningkatkan daya tarik pelajaran, mempersonalisasi pengajaran, dan memastikan bahwa setiap siswa menerima perhatian yang diperlukan.
Menurut pengumuman resmi yang diunggah Kementerian di Facebook pada 6 November, inisiatif ini awalnya akan berlaku untuk siswa kelas 1-3. Komunitas pengajar telah memberikan beragam perspektif mengenai rencana ini. Serikat Guru Nasional (NUT) menilai hal ini sebagai sinyal positif, menunjukkan bahwa Kementerian telah memperhatikan kebutuhan akan asisten pengajar di kelas.
Namun, kekhawatiran terbesar adalah sekolah-sekolah di Malaysia tidak memiliki cukup guru untuk menerapkan model tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah guru di Malaysia menunjukkan tren penurunan yang signifikan. Banyak anak muda enggan mengikuti ujian keguruan, sementara banyak guru yang berhenti mengajar atau pensiun dini. Oleh karena itu, memenuhi permintaan dua guru yang mengajar secara bersamaan menimbulkan masalah besar terkait sumber daya manusia.
"Kekurangan guru sudah berlangsung bertahun-tahun. Sekitar 10 tahun yang lalu, banyak sekolah terpaksa merekrut guru tanpa kualifikasi mengajar untuk bekerja sebagai guru sementara," kata Koay Joo Bee, seorang orang tua murid, yang mengelola tiga kelompok pendukung pendidikan dengan sekitar 60.000 anggota.
Dari perspektif manajemen pendidikan, Bapak Mah Hang Soon, Wakil Presiden Asosiasi Tionghoa Malaysia (MCA), mencatat: “Kementerian Pendidikan melaporkan di Parlemen pada bulan Agustus bahwa lebih dari 19.000 guru sekolah dasar dan menengah memilih pensiun dini, dengan hampir 70% di antaranya menyebutkan hilangnya minat terhadap profesi tersebut sebagai alasannya. Dengan banyaknya guru yang meninggalkan profesinya, mempertahankan kecukupan staf untuk memastikan dua guru per kelas akan menjadi tantangan besar.”
Selain itu, kualitas guru juga menjadi perhatian. Setiap guru akan memiliki metode mengajar yang berbeda, sehingga pertanyaan tentang bagaimana dua orang dapat berkoordinasi dengan lancar untuk mengembangkan pembelajaran juga menjadi pertanyaan besar. Guru masa kini perlu dilatih untuk mengelola model-model di atas.
Menghadapi kontroversi ini, banyak pakar dan perwakilan masyarakat mendesak Kementerian Pendidikan untuk lebih transparan dalam peta jalan implementasinya. Misalnya, perlu ada uji coba yang terkendali, serangkaian indikator keberhasilan, rencana pelatihan dan perekrutan asisten pengajar, serta mekanisme alokasi anggaran yang jelas. Tanpa persiapan yang matang, ide yang baik dapat menjadi beban bagi sistem pendidikan yang sudah menghadapi banyak tekanan.
"Memiliki dua guru di kelas yang sama dapat membantu siswa berkonsentrasi lebih baik dan tidak selalu mengharuskan penambahan staf. Namun, model ini akan membutuhkan penyesuaian dalam pembagian kerja, pelatihan ulang yang tepat, dan dapat meningkatkan jumlah persiapan pelajaran karena kedua guru harus berkoordinasi dengan baik," komentar Bapak Fouzi Singon - Sekretaris Jenderal NUT.
Sumber: https://giaoducthoidai.vn/mo-hinh-dong-giang-day-ganh-nang-cho-giao-duc-malaysia-post756446.html






Komentar (0)