Kementerian Keuangan menyebutkan, saat ini jumlah kelompok barang dan jasa yang tidak dikenakan pajak sebanyak 26 dan PPN masukan tidak dapat dikurangkan, sehingga mengakibatkan peningkatan biaya produksi badan usaha dan kenaikan harga jual, sehingga berdampak pada badan usaha yang ada dalam rantai pasok.
Penerapan tarif pajak saat ini yang terdiri dari 3 tingkatan: 0%, 5% dan 10% terhadap kelompok barang masih belum sesuai.
Masih banyak subjek pajak PPN dengan tarif pajak 5%, hingga 14 kelompok barang dan jasa, yang tidak konsisten dengan arah reformasi sistem perpajakan, yang bergerak ke arah penerapan tarif pajak tunggal.
Penentuan tarif pajak untuk beberapa barang berdasarkan tujuan penggunaannya menyebabkan kebingungan bagi otoritas pajak dan pembayar pajak.
Terhadap penghasilan penjualan barang dan jasa yang tidak terutang PPN dengan tingkat 100 juta VND atau kurang/tahun, perlu dilakukan pengkajian dan penyesuaian terhadap fluktuasi harga dan beberapa faktor lain sesuai dengan konteks sosial ekonomi .
Selain itu, peraturan tentang harga perhitungan PPN untuk kegiatan usaha properti juga dipahami secara berbeda oleh wajib pajak dan otoritas pajak. Di saat yang sama, peraturan tentang pengurangan PPN masukan perlu diperketat untuk membantu mencegah penipuan dalam pemotongan dan restitusi PPN, serta mencegah hilangnya pendapatan anggaran.
Kementerian Keuangan juga berpendapat bahwa perlu dilakukan pengkajian dan penyempurnaan ketentuan tentang restitusi PPN bagi badan usaha yang melakukan produksi dan penyerahan barang dan jasa yang dikenakan PPN sebesar 5%, yang inputnya sebagian besar dikenakan tarif pajak sebesar 10%; pengkajian dan penyempurnaan ketentuan tentang restitusi pajak untuk proyek penanaman modal, dalam rangka menanggulangi permasalahan yang timbul dalam praktik dan menciptakan kondisi yang mendorong badan usaha untuk melakukan investasi dan melakukan inovasi teknologi, sehingga dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan daya saing badan usaha.
Oleh karena itu, Kementerian Keuangan berpendapat bahwa perlu segera diundangkan Undang-Undang PPN (perubahan) untuk menyempurnakan ketentuan kebijakan PPN agar dapat mencakup seluruh sumber penerimaan, memperluas basis penerimaan; menjamin adanya transparansi, kemudahan pemahaman, dan kemudahan pelaksanaan Undang-Undang untuk memberikan kontribusi pada peningkatan kapasitas dan efektivitas kegiatan pengelolaan perpajakan dalam mencegah dan memberantas penghindaran pajak, kerugian pajak, dan utang pajak; menjamin terselenggaranya pemungutan yang benar dan cukup terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara, serta menjamin kestabilan sumber penerimaan anggaran pendapatan dan belanja negara.
Pada saat yang sama, atasi kesulitan yang timbul dalam implementasi Undang-Undang PPN belakangan ini; hilangkan kekurangan dan tumpang tindih dalam sistem hukum PPN, serta pastikan konsistensi dan sinkronisasi dengan undang-undang terkait; pastikan kelayakan, transparansi, dan kemudahan implementasi, bebaskan dan tingkatkan sumber daya untuk pembangunan sosial-ekonomi. Amandemen dan lengkapi peraturan agar sesuai dengan tren reformasi perpajakan internasional.
Menurut statistik Kementerian Keuangan, sejak tahun 2013 hingga 2022, meskipun perekonomian dalam negeri menghadapi banyak kesulitan dan tantangan akibat dampak perekonomian dunia , penerimaan PPN tetap terjamin, tumbuh secara stabil dari tahun ke tahun, dan menstabilkan proporsi penerimaan PPN dalam total penerimaan anggaran negara.
Di samping itu, penerimaan PPN senantiasa menempati porsi yang tinggi terhadap total penerimaan APBN, sekaligus porsi yang tinggi terhadap total penerimaan perpajakan, yakni: Tahun 2014 sekitar 26,9%, Tahun 2019 sekitar 23,3%, Tahun 2020 sekitar 22,7%, Tahun 2021 sekitar 23,6% (Tahun 2020, 2021 terdampak pandemi COVID-19), dan Tahun 2022 sekitar 24,5%.
[iklan_2]
Sumber
Komentar (0)